People We Love

Innosanto Nagara Kenalkan Aktivisme Lewat Buku Anak

Penulis dan ilustrator buku "A is for Activist" ingin anak-anak berdaya dan peduli lingkungan sejak dini.

Avatar
  • August 3, 2018
  • 7 min read
  • 356 Views
Innosanto Nagara Kenalkan Aktivisme Lewat Buku Anak

Penulis dan desainer grafis Innosanto Nagara meminta maaf kepada hadirin yang datang ke diskusi “Buku dan Aktivisme” di Jakarta Selatan beberapa waktu lalu bila bahasa Indonesianya terdengar ganjil.
 
“Maklum, sudah 30 tahun tidak tinggal di Indonesia,” ujarnya sebelum acara yang diinisiasi  Cholil Mahmud dari band Efek Rumah Kaca itu dimulai.
 
Bahasa Indonesianya ternyata masih sangat baik dan lancar, tidak banyak diselipi kata-kata bahasa Inggris, paling ada satu dua kata yang ia terjemahkan secara literal. Berbasis di Oakland, California, pria berusia 48 tahun itu tidak memiliki aksen Amerika ketika bicara bahasa garis ayah, bahkan masih ada sisa logat anak Jakarta padanya.  

Nama Innosanto mungkin masih asing bagi di telinga publik Indonesia, tidak seperti ayahnya, Ikranagara, aktor senior yang dihormati, terutama karena aktingnya yang brilian dalam salah satu film Indonesia terbaik sepanjang masa, Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986).
 
Namun Innosanto cukup dikenal di Amerika Serikat, berkat A is for Activist (2012), buku anak-anak yang memperkenalkan aktivisme dan keadilan sosial lewat abjad. Aktivis sosial dan penulis Naomi Klein memuji buku itu “full of wit, beauty and fun.” Media penyiaran radio di AS, NPR, menyebutnya “summer reading for your woke kid” dan membuat anak-anak tertarik dengan perubahan sosial. Tom Morello dari band Rage Against the Machine melakukan pembacaan buku itu yang direkam lewat video.
 
Rima dan aliterasi yang ditulis Innosanto untuk setiap abjad cerdas dan mengalir, serta lucu dan lugas. Ilustrasi yang dibuatnya berwarna dan menggugah, dengan sedikit gaya stensilan khas poster-poster pergerakan. Topik bahasannya mungkin belum dapat dipahami oleh anak laki-laki saya yang berusia 2,5 tahun, tapi ia bersemangat mencari gambar kucing hitam yang dengan strategis dan cerdik disisipkan Innosanto di setiap halaman.
 
A is for Activist telah terjual 200.000 eksemplar, dan kesuksesan itu melahirkan tiga buku anak-anak lain dengan tema serupa: Counting on Community (kali ini ada bebek di hampir setiap halaman), My Night in the Planetarium, dan The Wedding Portrait.
 

 

 

A is for Activist.
Advocate. Abolitionist. Ally.
Actively Answering  call to Action. 
Are you An Activist?

 
Innosanto lahir dari orang tua aktivis. Selain aktor, Ikranagara adalah sastrawan dan, seperti dikisahkan dalam My Night in the Planetarium, sempat dikejar-kejar pihak berwajib karena naskah teaternya yang menyindir rezim Soeharto. Sementara itu, sang ibu, Kay Ikranagara, adalah akademisi dan aktivis bidang pendidikan.
 
Lahir dan tumbuh besar di Jakarta, Innosanto pindah ke AS pada 1988 untuk belajar zoologi di University of California, Davis. Ia kemudian memilih berkarier sebagai desainer grafis dan menjadi salah satu pendiri Design Action Collective, sebuah koperasi studio desain di Oakland yang membuat desain untuk kelompok-kelompok aktivis.
 
Innosanto terlibat dalam sejumlah aktivisme sejak di kampus UC Davis. Di sana juga ia bertemu pertama kali dengan sang istri, Kristi Laughlin, dalam bus berisi para demonstran antiperang. Bahkan upacara pernikahan mereka kemudian berlangsung di tengah protes antinuklir di Oakland. Peristiwa ini kemudian menjadi latar buku The Wedding Portrait.
 
Namun Innosanto tidak berpikir untuk menulis buku anak sampai putra mereka, Arief, lahir pada 2010.
 
“Saya dan keluarga tinggal di sebuah komunitas perumahan di North Oakland, ada lima keluarga. Saya sering membacakan buku untuk anak-anak komunitas ini. Waktu anak sendiri lahir, sulit mencari buku anak yang sesuai, yang merefleksikan nilai-nilai saya tapi juga asyik dibaca,” ujarnya dalam diskusi.
 
Muncullah ide untuk menulis A is for Activist untuk putranya. Ia lalu mengumpulkan teman-teman dari Design Action Collective untuk membantu membuat daftar tema yang penting untuk dimasukkan ke dalam buku.
 
“Saya beruntung bisa menulis dan desain, jadi bikin buku gampang. Dari segi konten, tentunya kita harus menyederhanakan isu karena ini buku anak-anak. Tapi saya coba jelaskan serealistis mungkin,” ujarnya.
 

Innosanto Nagara diapit Cholil Mahmud dari band Efek Rumah Kaca (kiri) dan pengamat komik Hikmat Darmawan. (Foto: Irma Hidayana)

Awalnya ia sama sekali tidak berpikir untuk memasarkan buku itu, namun teman-temannya memintanya untuk mencetak buku itu untuk mereka. Ternyata untuk buku berkarton tebal (book board) seperti yang ia inginkan, ada persyaratan pencetakan minimal 1.000 buah. Ia kemudian melakukan penggalangan dana lewat laman Kickstarter.
 
Dana yang terkumpul ternyata bisa dipakai untuk mencetak 3.000 buku, yang kemudian laris dijual dalam dua bulan lewat internet. Selanjutnya, Innosanto pun berpikir untuk mencari penerbit, namun ternyata tidak ada yang mau menerbitkan buku itu karena isu yang diangkat dianggap tabu untuk anak-anak.
 
“Saya kemudian dikenalkan dengan Seven Stories Press, sebuah penerbitan independen progresif, yang kemudian juga mencetak buku-buku saya yang lain,” ujar Innosanto.
 
Penerimaan pasar terbagi dua, tentu ada yang suka ada yang tidak.
 
“Ada orang-orang yang bilang tema buku saya berat, saya rasa tidak, karena ada konteks. Anak-anak juga sudah melihat isu-isu aktivisme ini di TV, media. Buku ini berlaku sebagai conversation starter untuk anak-anak dengan para guru dan orang tua,” ujarnya.
 
Pendapat anak-anak selalu menarik, tambahnya, karena mereka selalu muncul dengan pertanyaan yang “aneh-aneh” dan di luar dugaan.
 
“Intinya bukan informasinya, tapi perasaan atau idenya. Bahwa kalau ada yang salah bisa ditentang, dan ada jalur untuk perubahan. Setelah membaca buku jadi ada rasa empowerment,” katanya.
 
Meski sebelumnya para penerbit menolak karena menganggap isu-isunya tabu untuk anak-anak, ternyata hampir tidak ada protes yang muncul setelah beredar di pasaran.
 
“Yang protes hanya kelompok vegetarian, karena saya memasukkan kata hot dogs,” ujar Innosanto, tertawa.
 

H is for Healthy food—a Human right.
Honeydew, jicama, nature’s delight.
Hummus. Hot dogs, Havarti cheese.
Hot dogs!?! Yes! Healthy Hot dogs please! (And pizza)

 
Situasi penerbitan di Amerika Serikat saat ini telah berubah, menurut Innosanto, dengan adanya beberapa komunitas yang mengeluarkan buku-buku progresif untuk anak-anak. Beberapa judul bahkan masuk daftar The New York Times Best Sellers, seperti serial Rad Women.
 
A is for Activist sendiri telah diterjemahkan dalam bahasa Spanyol dan Swedia. “Waktu dibuat untuk bahasa Spanyol, saya minta agar musisi yang menerjemahkannya, karena mereka memiliki seni membuat lirik,” kata Innosanto.
 
Untuk Indonesia, yang sedang dijangkiti sikap antikeberagaman, penerjemahan dan penerbitan buku tersebut mungkin sulit dilakukan karena untuk huruf L adalah “L-G-B-T-Q! Love who you choose”.
 
Sekarang Innosanto mulai memikirkan pasar karena bukan hanya ia dan teman-temannya yang membaca buku karyanya. Namun proses kreatifnya masih sama, yakni ingin menulis cerita-cerita untuk anaknya.
 
“(Kecanduan) gadget pada anak masih jadi masalah di mana saja. Tujuan komunitas saya adalah memberi alternatif, tidak hanya mediumnya tapi juga ceritanya. Buku pun belum tentu bagus, ‘kan. Kerjaan bikin buku anak ini adalah sejenis aktivisme,” ujarnya.
 
Aktivisme menjadi lebih penting lagi di AS dalam era Presiden Donald Trump sekarang ini, dan lebih banyak orang Amerika terjun dalam gerakan dan demonstrasi melawan kebijakan pemerintah.
 
“Sejak Trump naik, rasialisme seperti mendapat panggung lagi. Orang-orang sayap kanan lagi cari berantem,” ujarnya.
 
“Sekarang memang jadi lebih banyak kesempatan untuk edukasi. Tapi sudah dua tahun (Trump) masih enggak turun-turun. Mungkin ada kesalahan dalam theory of change saya. Sudah ada isu imigran, demonstrasi besar, ada kesempatan, tapi gagal terus (menurunkan Trump). Terus terang saya agak pesimistis.”
 
Menurut Innosanto, Amerika Serikat seharusnya melihat ke Indonesia dalam soal demokrasi. Itu sebabnya ia membahas sejarah demokrasi di Indonesia dalam My Night in the Planetarium, agar anaknya tahu tentang kolonialisme dan mengubah dunia.
 
“Saya ingin orang-orang Amerika belajar dari Indonesia yang pernah sukses menggulingkan presiden. (Prinsip) American exceptionalism dan perilaku-perilaku seperti itu bisa ditelanjangi dan ditumbangkan sedikit. Supaya ada demokrasi dari bawah. Demokrasi harus dari bawah dan setiap hari. Di Amerika yang ikut pemilihan paling banter 50 persen,” katanya. 
 
Bagi dirinya pribadi, yang terpenting adalah “I wanna be on the right side of history.”
 
Sementara itu, dari hanya mencari-cari kucing atau bebek ketika dibacakan buku Innosanto, anak saya tiba-tiba berseru dengan suara cadel:
 

Pea-Pea-Peace march!
Pro-Pro-Protest!
Pow-Pow-Power to the Pee-Pee-PEOPLE!
Ya!

Baca tentang Madame Asterix, penerjemah buku andal yang memasukkan humor lokal.


*Ilustrasi oleh Sarah Arifin


Avatar
About Author

Hera Diani

Hera Diani, like many Indonesians, has two names and she relishes the fact that Indonesian women do not have to take the surname of their fathers and husbands. Pop culture is her guru, but she is critical of the terrible aspects of it, such as the contents with messages of misoginy and rape culture, and The Kardashians.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *