Intoleransi Sistematis Halangi Komunitas Sunda Wiwitan Jalankan Keyakinan
Masyarakat adat Sunda Wiwitan masih menghadapi diskriminasi dan intoleransi sistematis dalam menjalankan keyakinannya.
Djuwita Djatikusumah Putri cemas setiap kali membaca berita yang beredar perihal penyegelan bakal makam kedua orang tuanya, tokoh adat Sunda Wiwitan Pangeran Djatikusumah dan Ratu Emalia Wigarningsih. Kecemasan bertambah karena harus menenangkan sang ambu (ibu) yang selalu menangis ketakutan setelah melihat berita tentang demonstrasi yang mengawal penyegelan makam tersebut.
“Waktu itu melihat berita yang diunggah di Facebook, tentang demo massa sambil teriak-teriak. Ambu takut seandainya kasus ini belum selesai, jenazahnya akan ditolak dikuburkan,” ujar Djuwita, 50, kepada Magdalene akhir Juli lalu.
Ia mengatakan pembangunan makam tersebut merupakan permintaan dari ayahnya, dan prosesnya sudah dimulai sejak November 2019. Makam yang terdiri dari dua liang Lahat dengan batu berukuran besar berbentuk seperti tugu, atau disebut juga dengan satangtung, terletak di Desa Cisantana, Cigugur di Kuningan, Jawa Barat.
Pada 29 Juni, pihak keluarga mendapatkan surat teguran dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang menyatakan bahwa makam tersebut harus mengantongi izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal itu didasari pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Izin Mendirikan Bangunan, bahwa bangunan bukan gedung berupa konstruksi monumen, tugu patung, dan patung harus mengantongi IMB.
“Kami bingung kenapa mereka menyebutnya tugu, padahal kami mendirikan makam. Saya baca baik-baik perda tersebut, dan di dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan apa saja syarat untuk mengurus IMB pemakaman,” kata Djuwita.
Pada 1 Juli, pihak keluarganya kemudian memutuskan untuk mengurus IMB, namun surat teguran kedua tetap dilayangkan pada 6 Juli. Sambil menunggu surat jawaban dari Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Kuningan, pihak keluarga kemudian melakukan audiensi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada 8 Juli.
Baca juga: Diskriminasi Agama di Indonesia Salah Satu yang Tertinggi di Dunia Islam
“Di audiensi tersebut, pihak DPRD sudah memiliki frame tersendiri terhadap makam tersebut, bahwa makam itu adalah tugu dan meresahkan masyarakat. Hingga akhirnya mereka mengatakan ‘minoritas harus hormat dengan mayoritas. Mayoritas harus melindungi minoritas’,” kata Djuwita.
Dari pertemuan tersebut DPRD mengarahkan agar kedua belah pihak, yaitu keluarga dan pihak yang kontra terhadap pembangunan makam tersebut menenangkan diri, akan tetapi pada kenyataannya isu SARA dan rumor-rumor terus dihembuskan.
“Baru pada 14 Juli kami mendapatkan surat balasan dan mereka menyatakan tidak bisa mengabulkan permintaan surat IMB kamu, karena ada penolakan dari Majelis Ulama Indonesia Desa Cisantana, dengan alasan meresahkan warga,” ujar Djuwita.
Pada 20 Juli lalu, makam tersebut disegel oleh Satpol PP dengan alasan tidak memiliki surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan disebut membuat resah masyarakat akibat dari bentuk makam yang tidak lazim.
“Apa yang kami alami benar-benar berdampak secara psikis. Apalagi banyak pemberitaan yang memelintir cerita soal komunitas kami, padahal Iuka kami masih menganga dari kejadian-kejadian sebelumnya,” ujar Djuwita.
Diskriminasi sistematis
Sunda Wiwitan adalah salah satu agama asli Indonesia yang penganutnya kerap menghadapi diskriminasi dan pelanggaran hak untuk berkeyakinan. Belum ada data khusus mengenai diskriminasi terhadap agama asli, tapi berita di media dan data dari Setara Institute, lembaga kajian demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia, menunjukkan adanya pelanggaran-pelanggaran ini.
Baca juga: Jualan Sentimen Agama dan Ras dalam Bisnis Kamar Kos
Hasil riset pada pertengahan 2018 yang dilakukan oleh Setara Institute menunjukkan ada 109 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 136 tindakan. Dari jumlah tersebut terdapat 40 tindakan pelanggaran yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan beragama adalah polisi dengan 14 tindakan, disusul pemerintah daerah dengan 12 tindakan, dan institusi pendidikan sebanyak lima tindakan.
Menurut Djuwita, apa yang saat ini dialami oleh komunitas Sunda Wiwitan merupakan bentuk genosida kebudayaan yang dilakukan secara sistematis. Hal ini terlihat dari sulitnya komunitas tersebut dalam mengurus perizinan berkaitan dengan tanah dan pembangunan makam yang disyaratkan oleh pemerintah, ujarnya.
“Isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dibuat-buat saat ini hanya dalih untuk mengikis lahan hidup kami. Di satu sisi mereka menyuruh kami mengurus IMB, di sisi lain hal tersebut sulit diurus karena dianggap pembangunan makam ini meresahkan,” kata Djuwita.
Ia menambahkan bahwa isu pembangunan makam yang meresahkan baru muncul ketika Pemerintah Kabupaten Kuningan mengeluarkan surat jawaban berisi penolakan atas permohonan pengajuan Penetapan Masyarakat Adat (PMA) dari komunitas Sunda Wiwitan. Permohonan tersebut diajukan salah satunya untuk meminta perlindungan kepada pemerintah atas tanah-tanah adat yang dimiliki oleh Komunitas Adat Sunda Wiwitan.
“Dan di surat jawaban tersebut juga dituliskan bahwa sedang ada pembangunan pemakaman di daerah Curug Go’ong yang meresahkan warga. Padahal sebelum ini tidak ada keresahan di masyarakat, justru masyarakat desa Cisantana sudah terbiasa dengan keberagaman,” kata Djuwita.
Permainan politik
Pemimpin Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, Masriyah Amva, mengimbau kepada Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk melindungi hak-hak keberagaman masyarakatnya.
Menurutnya, keyakinan dan cara-cara ibadah semua penganut agama selayaknya dihargai dan dilindungi oleh pemerintah ataupun oleh sesama masyarakat demi kehidupan yang aman dan berkeadilan.
“Selama beberapa tahun terakhir isu intoleransi semakin meningkat karena dimanfaatkan oleh elite politik. Selain itu, mendadak banyak bermunculan ulama yang mengembuskan ajaran pemikiran intoleransi.”
“Masyarakat Sunda Wiwitan merupakan bagian dari kehidupan yang sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Islam masuk ke Indonesia. Siapa pun mereka, Tuhan selalu menyayangi semua hambanya,” ujar Masriyah kepada Magadelene (30/7).
Ia menambahkan bahwa selama beberapa tahun terakhir isu intoleransi semakin meningkat karena dimanfaatkan oleh elite politik. Selain itu, menurutnya, mendadak banyak bermunculan ulama yang mengembuskan ajaran pemikiran intoleransi.
Senada dengan Masriyah, Romo Johannes Hariyanto dari Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mengatakan bahwa selama kurang lebih 10 tahun belakangan ini, isu agama sering kali digunakan untuk kepentingan politik dan menimbulkan polarisasi di dalam masyarakat.
“Kita melihat penguasa-penguasa lokal itu ketika menjelang pemilu, memakai isu ini untuk mendapatkan suara kembali. Selalu menjadikan kelompok yang kecil sebagai korban, dengan memihak kelompok besar,” kata Johanes dalam konferensi pers daring “Sunda Wiwitan Merespons Penyegelan Bakal Makam Sesepuh”, yang diselenggarakan oleh Koalisi Dukung Adat Karuhun Urang (KARUHUN) Sunda Wiwitan (28/7).
“Perlu diingat juga dalam kasus di Kuningan ini baik juga diperhatikan kepentingan politik apa yang saat ini diperjuangkan di sana. Sering kali masalahnya bukan soal rumusan ajaran agama, tetapi lebih pada kepentingan kelompok, kepentingan wilayah, dan ini bisa berubah dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Baca juga: Dicari: Bahasa untuk Kesadaran Baru Kelompok Mayoritas di Indonesia
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, tindakan yang dilakukan oleh Pemkab Kuningan adalah pelanggaran hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan menyatakan, keterangan organisasi masyarakat itu tidak bisa dijadikan dasar hukum, ujarnya.
“Tetapi ini malah Bupati Kuningan dan jajarannya mengutip keterangan ormas dan bahkan membuat itu sebagai dasar hukum. Ini adalah sebuah kekeliruan,” ujar Isnur dalam konferensi pers yang sama.
Isnur menuntut pemerintah untuk melakukan tanggung jawabnya dalam melindungi warga negara dan menegakkan hak asasi manusia, seperti tercantum dalam Pasal 28i Undang-Undang Dasar 1945.
“Jika ada pihak ketiga yang ingin mengganggu AKUR (masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan), seharusnya bukan pihak AKUR-nya yang dihentikan, tetapi sebaliknya. Lah, ini malah selalu saja minoritas yang disuruh mengalah,” kata Isnur.
Menanggapi kasus yang terjadi, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama (Kemenag), Nifasri mengatakan, pihaknya sangat prihatin terhadap kasus yang terjadi dan telah berkoordinasi dengan PKUB Kemenag setempat.
“Dalam waktu dekat ini kami akan melakukan pertemuan dialog dengan tokoh lintas agama, tokoh masyarakat, dan ormas keagamaan untuk membahas isu kerukunan beragama khususnya di Kabupaten Kuningan,” ujar Nifasri kepada Magdalene (3/8).
Sayangnya, menurut Nifasri, pihak PKUB Kemenag tidak bisa melakukan intervensi karena aturan sudah jelas bahwa Sunda Wiwitan masuk dalam Aliran kepercayaan atau penghayat kepercayaan yang berada di bawah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kasus ini sesungguhnya substansinya lebih banyak menyangkut sengketa tanah dan kebijakan pembangunan wilayah Kuningan. Meskipun demikian, untuk menghindari potensi konflik intoleransi di masa depan, kami tetap berkoordinasi dengan Komunitas Sunda Wiwitan dan PKUB setempat,” tambah Nifasri.