Politics & Society

Islam dan Aku

Aku butuh melihat melampaui doktrin, simbol, dan norma yang sejujurnya tak kusetujui.

Avatar
  • September 7, 2017
  • 11 min read
  • 622 Views
Islam dan Aku

TUHANTU

Aku tak pernah takut gelap. Sejak balita aku tidur di kamar sendiri mengamati ranting-ranting pohon di luar jendela, mengarang cerita tentang nenek sihir dengan cakar bengkok mengetuk-ngetuk kaca.

Ketika kamu merasa takut, ingatlah Tuhan, pesan orang tua. Tuhan selalu mengawasimu, walaupun kamu tak dapat melihat-Nya.

 

 

Seperti hantu, pikirku.

Di pohon kulihat seekor burung hantu biru, bertanduk dan bermata emas, mengawasiku.

Pelangi pelangi ciptaan Tuhan, anak-anak bernyanyi.

Pelangi pelangi ciptaan Tuhantu, aku bernyanyi.

“Tuhan!” koreksi Mama.

“Tuhantu!” aku bersikeras.

Manakala kumemikirkan Tuhan, muncullah si burung hantu biruku, mengedipkan matanya.

ANAK MANIS

Sepanjang malam para malaikat mengutuk perempuan yang menolak ajakan bergaul suaminya, kata guru agamaku waktu SD dulu.

Kemarin malam istri Bapak menolak ajakan Bapak ya? Aku sungguh ingin bertanya.

Tapi anak manis tidak menantang guru. Anak manis melakukan sesuai perintah orang yang lebih tua. Anak manis salat lima kali sehari dan rajin membaca al-Quran.

Eliza anak yang manis sekali. Eliza cucu kesayangan kami. Eliza keponakan kesayangan kami.

MATEMATIKA

Ketika remaja tokoh panutanku adalah Tante T. Dia satu-satunya perempuan dari 10 bersaudara yang meraih gelar sarjana, menyetir mobil sendiri, dan mencapai cita-citanya menjadi diplomat, kemudian duta besar. Terlebih lagi, tidak seperti ayahku yang mengamuk dan mengumpat ketika terjebak di kemacetan, Tante T bercanda, mendongeng, dan membuat jalanan yang mati tersumbat terasa menyenangkan. Aku ingin tumbuh besar menjadi seperti dia.

Setelah ia kembali dari Paris, aku menginap di rumahnya. Di kamar tidurnya terpajang lukisan perempuan telanjang berbaring di sofa merah jambu.

Lukisan telanjang itu dosa, aku sering dengar.

Aku tidak tahu bagaimana memberitahunya. Aku tidak ingin ia masuk neraka.

Kalau kamu bersembahyang menggunakan sajadah orang lain, kamu memberi orang itu pahala sekian banyak.

Kepalaku yang baru berusia 11 tahun langsung berhitung—seberapa sering aku mesti salat menggunakan sajadah Tante untuk menghapus dosanya memiliki lukisan tadi. Mulai saat itu tiap akhir pekan aku akan menginap di rumahnya. Aku akan membaca al-Quran miliknya. Aku akan salat berjamaah dengannya sesering mungkin, melipatgandakan pahalanya 27 kali lipat setiap kali.

Seraya berbaring untuk tidur, mata perempuan telanjang tadi bersinar keemasan bagai burung hantu biruku.

IBU DAN PUTRI

Aku bertanya kepada Mama mengapa seorang tante mengenakan jilbab.

“Ia percaya rambut termasuk aurat,” kata Mama.

“Kita tidak?”

“Kita tidak.”

Aku bertanya kepada Mama mengapa istri seorang paman terus saja hamil bahkan setelah memiliki empat anak perempuan.

“Ia ingin anak laki-laki dan tidak percaya KB itu hukumnya baik.”

“Kalau kita?”

“Kita bisa hidup lumayan enak seperti ini karena KB.”

Dari Mama aku belajar bahwa dalam keluarga kita sendiri saja ada beragam cara untuk mempraktikkan agama, dan kami terus rukun; bahwa tidak apa-apa memiliki sahabat yang beragama lain; bahwa kami tidak semestinya menilai orang berdasarkan agama atau pakaiannya. Aku meresapi nilai-nilai ini bahkan sebelum aku dapat memahami makna doa atau ayat al-Quran.

Lantas mengapa kita menganggap segala kebaikan dalam diri kita berasal dari agama?

YANG KAULAHIRKAN DAN YANG KAUSEMBUNYIKAN

Guruku bercerita: Laut Merah menyatu kembali, dan seraya Firaun tenggelam, ia menyadari kebenaran Tuhannya Musa dan berupaya sekuat tenaga mengucapkan kalimat syahadat yang akan membolehkannya masuk surga: La ilaha illallah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Tetapi Tuhan tidak membiarkannya lolos semudah itu. Dikirimnya ombak mengempas Firaun tiap kali ia mencoba mengucap syahadat, sehingga kata-kata yang keluar hanyalah La illah. Tidak ada Tuhan. Firaun tenggelam dan jiwanya dirantai ke neraka.

Sungguh tak adil, pikirku, tapi mungkin Tuhan tahu Firaun tidak sungguh-sungguh menyesal dan hanya ingin menyelamatkan diri. Bagaimana pula dengan kita yang melakukan perintah agama bukan karena ingin melakukan apa yang baik, tapi hanya karena ingin masuk surga?

Memangnya Tuhan tidak tahu?

BHINNEKA TUNGGAL IKA

Dengan rahmat Allah yang Maha Kuasa …, kami rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Tiap Senin saat upacara bendera, siswa-siswi bergiliran membacakan Pembukaan UUD 1945 di hadapan seisi sekolah. Ketika tugas itu jatuh pada siswa Muslim, tak ada masalah. Ketika tugas itu jatuh pada siswa Kristen, juga tidak ada masalah, mereka hanya melafalkan nama itu dengan cara berbeda dengan siswa Muslim. Ketika tugas itu jatuh pada siswa Hindu atau Buddha, selalu ada jeda tak nyaman. Mereka membisikkan saja nama itu lalu lanjut, berharap tak ada yang memperhatikan. Seorang anak mengganti nama itu dengan kata “Tuhan” yang lebih netral.

Dalam pandanganku ia anak paling berani di seantero sekolah.

BABI DAN SAPI

Suatu ketika, nun dekat di sini, hiduplah tiga anak perempuan: Eliza, Desi, dan Olive. Eliza dibesarkan dalam keluarga Islam, Desi Hindu, dan Olive Katolik. Mereka sahabat baik.

Suatu hari Eliza mengolok-olok Desi karena tak pernah makan daging sapi. “Enak lho! Yakin enggak mau coba?”

Kobar amarah bergolak di matanya, Desi menjawab, “Kamu belum pernah makan babi, kan? Enak lho!”

Olive beranjak ke sisi Desi. “Yakin enggak mau coba?”

Karena Eliza bagian dari mayoritas di negerinya, ia tidak menyadari hingga saat itu bahwa, dalam perspektif Desi, ia adalah yang ‘tidak normal’, ia juga kehilangan sesuatu karena tidak pernah mencicipi daging babi. Hari itu Eliza belajar tentang kebutaan yang dapat timbul akibat menjadi bagian dari mayoritas. Ia tak pernah lagi mengejek Desi karena praktik agamanya, dan mereka bertiga kembali bersahabat dan berbahagia.  

LINGKARAN SETAN

Ketika SMA, saat pemilihan ketua OSIS yang baru, di masjid sekolah ketua OSIS yang lama berkhutbah tentang mengapa kita sebaiknya tak mencoblos calon yang tak seagama dengan kita. Percayalah, mereka pun menasihati hal yang sama di gereja atau kuil, katanya. Terkutuklah bangsa yang memilih seorang kafir, atau perempuan, sebagai pemimpin.

Maka posisi ketua dan wakil ketua OSIS selalu dipegang siswa Muslim. Posisi ketiga dipegang siswi Muslim. Namun, lain lagi ceritanya di marching band.

Dirigen Utama secara turun-temurun dijabat oleh siswa Kristen—hingga R. yang berhasil meraih posisi itu. Ia dirisak hingga tak lagi dapat menangkap tongkat yang ia putar dan lempar, bahkan sekali pun. Penampilannya jadi luar biasa memalukan hingga Dirigen I, seorang siswa Kristen, mesti mengambil alih posisinya.

Marching band adalah satu-satunya ruang tempat siswa Kristen berjaya. Mengapa mereka mesti membaginya dengan siswa Muslim sementara siswa Muslim tak mau membuka ruang bagi mereka di kepengurusan OSIS dan bidang-bidang lainnya?

SAUDARA

Sebelum berangkat ke Amerika Serikat dengan beasiswa kuliah, aku pergi ke masjid dan merekam suara azan. Ternyata itu tak perlu. Universitasku sangat progresif, di sana ada perkumpulan mahasiswa Muslim dan seorang imam.

Aku menghadiri perayaan Idul Fitri di kampus, tapi kecewa ketika laki-laki dan perempuan diminta makan secara bergilir. Aku tidur dengan seorang siswa dari Pakistan dan terkejut ketika ia hanya mau berhubungan seks secara oral. Kemudian aku pecah berantakan ketika aku melihatnya salat—aku merasa sangat berdosa.

Di masjid dan pada jam pelajaran agama di Indonesia dulu, aku sering diwanti-wanti agar selalu berpihak kepada “saudara-saudara kita sesama Muslim”—tak peduli apa penyebab perang atau akar konflik, bersimpatilah senantiasa kepada “saudara-saudara kita”.

Pada masa kuliah, orang yang paling memahamiku, orang yang paling kuanggap “saudara”,  adalah penyanyi dan musisi Tori Amos. Akhirnya aku menemukan seseorang yang mengarungi badai serupa—betapa aku pun berpikir kitab suciku kehilangan beberapa halaman, dan betapa aku pun merasa telah hidup untuk memuaskan semua orang lain kecuali diriku sendiri. Ternyata represi yang kurasakan bukan hanya akibat dibesarkan di Indonesia dan dalam keluarga Muslim, ternyata Tori yang dibesarkan dalam keluarga Amerika dan Kristen pun merasakan hal yang sama.

Kubayangkan ia dan aku menonjok dan mengoyak kotak-kotak yang membelenggu kami. Berdua kami bangkit dan saling bergandeng tangan.

SEANDAINYA

Di sebuah dusun Perancis aku menghadiri pernikahan seorang kawan. Beberapa orang di sana mempermasalahkan mengapa aku menolak makan babi tapi tak menolak minum alkohol. “Bukankah itu sedikit munafik?” tanya mereka.

“Kamu memiliki anak tanpa menikah, dan kamu pergi ke gereja. Bukankah itu sedikit munafik?” Ah, seandainya aku berani berkata begitu saat itu.

Andai mereka menjawab, “Kami tidak serius beragama, hanya ke gereja untuk pernikahan dan ketika Natal,” aku akan membalas, “Tapi orang Islam tidak boleh tidak serius beragama?”

Andai mereka menjawab, “Itu sudah sangat biasa di Perancis,” aku akan membalas, “Kamu jarang bertemu orang Islam ya?”

Sayangnya, masih lama lagi sebelum engkau sering bertemu dan bercakap-cakap dengan orang Islam sebagai setara, sebelum engkau banyak membaca atau menonton representasi orang Islam sebagai manusia umumnya di buku-buku atau layar televisi dan film.

MAMA SAYANG

Menuliskan ini sungguh menyakitkan bagiku, tetapi harus kulakukan. Aku tahu aku mematahkan hatimu. Aku tahu kau terus berdoa kepada Tuhan agar aku kembali ke dalam cahaya-Nya. Aku tahu sanak-saudara kita menuduhmu menjadi ibu yang buruk karena membiarkan anakmu tersesat.

Engkau mungkin berpikir aku tersesat karena engkau membiarkanku belajar di Amerika, karena aku terlalu malas atau lemah untuk menolak godaan seperti seks dan alkohol. Apakah juga egois jika aku ingin engkau memahami alasan-alasanku? Mohon maafkan aku.

Beberapa tahun yang lalu, aku merasa amat sangat butuh memeriksa segala yang diajarkan kepadaku. Aku butuh melakukannya jika aku ingin menyelamatkan diriku dari perasaan terpuruk, dan jika aku ingin menjadi penulis. Semua itu sungguh sulit bagiku—seumur hidup aku diwejangi bahwa Tuhan pada akhirnya akan memaafkan semua dosa kecuali dosa meragukan-Nya. Selama berminggu-minggu aku hidup dengan teror pribadi, jangan-jangan aku takkan melihat apa-apa kecuali api neraka begitu aku melepas kacamata yang telah kugunakan untuk memandang dunia sejak sepanjang ingatanku.

Aku butuh melihat melampaui doktrin, simbol, dan norma yang sejujurnya tak kusetujui. Aku butuh membebaskan diri dari ketakutan berdosa ketika melakukannya. Setelah berhenti melihat dunia melalui kacamata agama, aku menilik kembali kisah Musa dan Firaun, dan berpikir wajar Firaun mengganggap dirinya tuhan. Ia, ayahnya dan leluhurnya, dibesarkan untuk berpikir ia memang keturunan dewata. Ia hanya produk budayanya. Tak pernah dalam kelas agama aku diminta berpikir secara realistis mengapa mereka yang disebut orang-orang kafir menjadi demikian—kami hanya didoktrin bahwa Firaun itu musuh karena ia tidak percaya kepada Allah. Ketika disebut bahwa Firaun memperbudak jutaan orang karena mereka berbeda ras dan agama, kejahatan itu dibingkai seolah berasal dari kejahatan yang lebih utama, yaitu tidak percaya kepada Tuhan kita.

Maka tidak mengejutkan bagiku ketika kini banyak orang memandang orang lain berdasarkan Tuhan mereka, bukan laku mereka; ketika kini banyak orang percaya perbuatan baik seseorang tidak berarti jika mereka tidak salat atau tidak percaya kepada Allah.

Apa engkau benar-benar menganggapku tersesat?

Ketika pesawatku lepas landas aku masih mengucap Bismillahir rahmanir rahim. Tapi iman itu laksana cermin, dan cerminku remuk ribuan keping.

BERKAH

Kenanganku akan Ramadan dan Lebaran senantiasa bahagia. Ketika kecil aku bersikeras ingin latihan puasa. Ketika usia sembilan aku puasa hingga jam 10 pagi, tahun berikutnya hingga tengah hari. Aku begitu bangga ketika berhasil berpuasa hingga magrib. Menjelang Lebaran orangtuaku selalu membelikanku baju baru, kami memasak ketupat, opor, dan sambal goreng.

Tahun ini sepanjang Ramadan aku membaca novel Taqwacore oleh Michael Muhammad Knight—sebuah novel tentang anak-anak punk yang beragama Islam. Kupikir, seandainya sejak dulu kutemukan buku ini, mungkin aku tak merasa perlu meninggalkan agama.

Di dalam novel itu kutemukan percakapan dan inovasi yang butuh kulihat terjadi di dalam Islam: perempuan memimpin salat Jumat, kisah tentang Aisyah yang berani mengkritik Muhammad, anak-anak muda mempertanyakan bermacam ajaran yang dianggap sakral—dan mereka semua dengan bangga menyebut diri Muslim.

Sebelumya aku juga telah mengenal orang-orang seperti tokoh-tokoh novel itu, tapi kami merasa lebih rendah dibanding kawan-kawan yang lebih alim. Kami berjanji akan insyaf ketika tua. Kami merujuk kepada ulama konservatif untuk bimbingan rohani. Kini aku sudah kenal beberapa Muslim yang berani mengetengahkan interpretasi yang inklusif dan memberdayakan, tapi berapa banyak yang diakui sebagai pemimpin di komunitas Islam, bukan hanya di komunitas sekuler (semisal komunitas seni, sastra, feminis, progresif, dan sebagainya)?

Memang banyak penolakan terhadap inovasi dalam agama, tapi kita tidak menolong jika kita berpendapat kita ini lebih rendah atau tidak layak menjadi pemimpin dibanding kawan-kawan kita yang lebih konservatif. Kapan kita akan melampaui rasa rendah diri dan bangkit untuk memimpin?

MENGUCAP ATAU TIDAK MENGUCAP

Setelah nenekku meninggal, aku banyak memikirkan kematian.

Pada saat-saat penghabisan, kala ombak maut menjulang di hadapan, akankah aku tunduk pada ketakutan dan, demi aman, mengucap La ilaha illallah?

Mungkin Tuhan akan mencekikku sebelum aku selesai mengucap, sebagaimana ia mencekik Firaun. Mungkin Ia tahu aku hanya mengucapkannya demi asuransi, dan Ia  akan mengumpulkan abuku dari sanktuari lumba-lumba tempatnya ditaburkan, dan Ia akan tetap menyiksaku.

Ia akan menghapus segala pahala yang telah kuperoleh dari hidup sebaik keyakinanku, karena aku mengkhianati keyakinanku sendiri pada saat terakhir, atau karena aku lancang berpikir Tuhan dapat dengan begitu mudah dimanipulasi.

Aku bisa mengucap seribu La ilaha illallah dan itu tidak akan ada gunanya.

Atau, akankah Tuhan memahami kelemahan ciptaan-Nya dan mengampuniku?

AKHIRAT

Tiap tahun teknologi untuk menciptakan simulasi maju sedemikian pesatnya. Beberapa ilmuwan berpendapat peradaban akan maju hingga kita mampu menciptakan simulasi yang tiada berbeda dengan dunia ini, atau peradaban akan musnah karena bencana atau sebab lainnya. Satu peradaban maju dapat menciptakan miliaran simulasi, maka jauh lebih mungkin bahwa kita hidup dalam sebuah simulasi—sebuah mainan di komputer anak makhluk luar angkasa yang berbulu biru dan bermata emas.

Mungkin, setelah anak itu menyimulasikan kiamat, ia akan membangkitkan kita, membariskan kita, dan menghakimi kita. Ketika giliranku tiba, ia akan berkata, Kamu tidak mematuhiku.

Aku akan memandangnya dan serta-merta mengerti. Mengapa beberapa peraturannya tak masuk akal, mengapa kadang aku merasa semesta punya rencana buatku dan kadang aku merasa sepenuhnya sendirian. Maklumlah, ia cuma seorang anak.

Ia mengempasku ke sebuah simulasi baru—sebuah dunia merah dengan bukit-bukit merah berlipur kabut merah. Berdiri tegak seraya ombak api menjulang di hadapan, si perempuan teringat ia adalah aku di bumi dulu, tapi aku penasaran apakah di simulasi baru itu aku hidup lagi dalam perempuan itu?

~

Ingin berbagi pengalaman serupa untuk memperkaya narasi pribadi tentang bagaimana kita sehari-hari hidup dengan agama? Kirim melalui elizavitri.com/sapa-contact/.



#waveforequality


Avatar
About Author

Eliza Vitri Handayani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *