‘Monster Parents’: Intervensi Orang Tua Siswa yang Bikin Guru Merana
Kasus bunuh diri guru SD di Korea Selatan menyorot kembali paktik intervensi berlebihan orang tua (monster parents).
Peringatan pemicu: Artikel mengandung gambaran kasus bunuh diri
Pada (19/7) lalu, “Lee Min-soo”, guru perempuan di Seoul, Korea Selatan ditemukan meninggal dunia di ruang kelas. Perempuan yang baru saja memulai kariernya ini, mengajar dan menjadi wali kelas untuk murid kelas satu.
Berdasarkan laporan dari The Korea Times, media berita Korea Selatan, ia diduga bunuh diri karena tertekan dan stres akibat keluhan-keluhan yang dilayangkan oleh salah satu orang tua murid. Menurut penelusuran aparat, muridnya melukai kepala anak lain dengan pensil. Karena insiden itu pula, Min-soo menerima sejumlah panggilan telepon tengah malam dan pesan bernada marah dari wali murid.
Dalam buku diari yang ditemukan di apartemennya, Min-soo menulis, “Dada saya terasa sangat sesak. Saya seperti tidak tahu sedang dimana.”
Di bagian lain, mendiang guru itu mengungkapkan betapa kewalahannya dengan pekerjaan sebagai guru, hingga ingin mundur.
Kasus Lee Min-soo bukan satu-satunya. Setelah peristiwa ini mencuat, muncul kasus baru lagi pada (7/9). Guru SD berusia sekitar 40 tahun di Daejeon, Korea Selatan mengakhiri hidupnya. Ia juga diduga tertekan karena keluhan menyakitkan dari orang tua murid.
Guru ini telah mengalami masa-masa sulit dan mendapat perawatan psikiatris karena dituduh melakukan kekerasan pada siswa. Padahal setelah beberapa kali dilakukan penyelidikan, tuduhan itu tak pernah terbukti kebenarannya. Namun orang tua murid tak berhenti untuk melaporkan guru SD ini.
Akibat dari banyaknya kasus bunuh diri guru di Korea Selatan, 300 ribu guru dari seluruh daerah di Korea berdemo untuk menuntut keadilan. Korea Herald, media dari Korea Selatan juga mengabarkan ribuan guru dari 9.996 melakukan mogok mengajar terkait hal tersebut.
Salah satu alasan demo para guru ini, karena menganggap orang tua terlalu menyalahgunakan Undang-undang Kesejahteraan Anak yang disahkan di Korea Selatan pada 2014. Jika guru dianggap melakukan kekerasan pada anak dan tidak mematuhi UU itu, maka mereka akan terancam diskors hingga dikeluarkan dari sekolah.
Kasus demi kasus yang terjadi ini pun semakin memperlihatkan betapa kerapnya intervensi yang dilakukan oleh orang tua murid. Beberapa komentar netizen Korea Selatan di komunitas daring besar seperti Pann by Naver dan media sosial menyebut hal ini disebabkan oleh monster parents. Istilah yang menggambarkan betapa orang tua yang terlalu ikut campur urusan anaknya di sekolah.
Baca juga: Jalan Terjal Jadi Kepala Sekolah Perempuan di Indonesia
Apa itu Monster Parents dan Penyebabnya?
Istilah monster parents sendiri diciptakan oleh pendidik Jepang Yoichi Mukoyama pada 2007. Diambil dari laman resmi milik Mukoyama, mukoyamayoichi.com, monster parents dikaitkan dengan orang tua yang selalu ikut campur tangan dalam urusan sekolah dan cara mengajar guru-guru. Mereka ajeg mengajukan keluhan yang berlebihan dan tuntutan tak masuk akal kepada kepala sekolah maupun sekolah. Akibatnya kadang guru-guru sering merasa stres dan tertekan.
The Korea Bizwire, media Korea Selatan membagikan 11 daftar pernyataan yang beredar di komunitas daring dan media sosial. Tujuannya, yakni untuk mengidentifikasikan apa yang disebut orang tua monster.
Poin-poin pernyataan itu seperti, “Seorang guru yang tidak membagikan informasi kontak pribadinya dianggap tak memiliki rasa cinta terhadap siswa”, atau “menelepon guru larut malam dianggap dapat diterima jika mendesak”.
Ada juga, “Guru muda harus muda dan cantik”, “guru yang belum memiliki anak tak dapat memahami perasaan orang tua”, “guru perempuan muda kesulitan dalam pendidikan karena siswa tak takut pada mereka”, dan “siswa tak menyukai guru tua karena mereka tegas”.
Terkait dengan siswa sendiri, pon-poin ini meliputi, “Perlu kesabaran menghadapi anak saya karena dia keras kepala”, “anak saya sensitif, tetapi dia mengerti jika diajak bicara dengan baik”, “meskipun memukul itu buruk, itu dipandang lebih baik daripada dipukul”, dan “anak saya mungkin melakukan kesalahan, tapi pasti ada alasan di baliknya”.
Selain itu ada kutipan paling umum yang sering monster parents berikan, yakni “Anak-anak saya tak melakukan hal itu di rumah” dan “mereka baik-baik saja tahun lalu”. Kata-kata andalan ini secara halus menyiratkan jika kesalahan selalu ditujukan kepada guru atau wali kelas murid.
Menurut BBC, bahkan guru pernah mendapat kecaman karena menolak permintaan orang tua untuk membangunkan anaknya setiap pagi.
Pertanyaannya, apa yang membuat maraknya monster parents di Korea Selatan? Salah satu di antaranya adalah persaingan di bidang akademik yang sangat kompetitif di Korea Selatan. Para orang tua murid rela melakukan apa saja untuk membuat sang anak berhasil dan sukses dalam pendidikannya.
Para siswa sekolah di Korea Selatan selalu bersaing ketat dalam hal pendidikan sejak usia belia. Mereka diharuskan belajar dengan ketat untuk memperoleh nilai yang baik untuk masuk ke perguruan tinggi ternama dan terbaik.
Siswa-siswi pun diwajibkan untuk mengikuti self-study di sekolah selepas jam belajar biasa. Biasanya dari pukul setengah delapan malam hingga sepuluh malam. Orang tua juga sering memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan di luar sekolah (hagwon). Tujuannya lagi-lagi untuk menunjang nilai agar lebih baik lagi.
Baca juga: Guru Honorer: Jasanya Dibutuhkan tapi Haknya Diabaikan
Terjadi juga di Indonesia
Tak hanya di negara lain seperti Korea Selatan, guru-guru sekolah di Indonesia juga mengalami hal yang sama terkait maraknya monster parents. Bahkan tak jarang dari mereka memilih untuk berhenti dari sekolah karena tak tahan dengan intervensi wali murid.
“Avi”, guru SD berusia 50-an tahun bercerita, intervensi wali murid juga terjadi di sekolahnya. Saat itu salah seorang anak di-bully oleh empat siswa lain di kelasnya. Tak terima karena anaknya sudah dirundung, wali murid protes ke Avi. Sebagai wali kelas, Avi pun berusaha untuk mencari tahu duduk permasalahan dan akan segera menyelesaikannya.
Namun sebelum tahu permasalahannya seperti apa, orang tua murid lalu langsung melempar masalah ini kepada kepala sekolah. Wali murid ini menginginkan agar keempat anak itu dikeluarkan dari sekolah karena telah merundung sang anak.
“Sebenarnya masalah ini bisa diselesaikan dalam ruang lingkup sekolah, tapi karena wali murid tersebut sudah membuat jadi melebar kemana-mana, masalah jadi semakin besar,” ucap Avi.
Ia menambahkan, ini seperti mendikte apa yang seorang guru lakukan. Padahal bagi Avi, guru juga punya cara sendiri untuk menyelesaikannya. Jika terus-menerus didikte apa yang mesti mereka perbuat, guru akan kesulitan memperbaiki masalah di sekolah.
“Kita jadi bingung dan agak stres juga, kalau didesak terus-menerus,” ujar Avi pada Magdalene.
Tak hanya Avi, Henilia Yulita, mantan guru sekolah swasta internasional di Jakarta juga mengalami hal serupa. Ia bahkan memutuskan untuk keluar dari sekolah tersebut karena lelah dengan berbagai tekanan di sekolah. Namun karena passion-nya adalah mengajar, ia lalu melanjutkan sekolah lagi dan menjadi dosen.
Saat memutuskan untuk keluar, ia mengaku kerap menerima komplain yang dilakukan oleh para orang tua murid. Alasan paling jamak lantaran pihak orang tua sudah membayar sekolah mahal, sehingga bebas menuntut ke guru. Heni bercerita, ada guru yang keluar dari sekolah karena orang tua komplain soal metode mengajarnya.
“Semakin kecil muda usia murid, maka semakin besar intervensi guru. Sebab, para orang tua merasa anaknya belum mandiri. Makanya ketika anak kesenggol dikit atau digigit nyamuk misalnya, mereka akan mengirim komplain hingga ke kepala sekolah,” ujar Heni.
Apalagi, imbuhnya, dulu belum ada grup whatsapp (WA) seperti sekarang, dan masih menggunakan nomor telepon sekolah. Setiap hari telepon selalu berdering dari orang tua yang menyampaikan keluhan beruntun. Berbeda ketika anak sudah lebih besar usianya, biasanya orang tua cuma aktif bertanya dan sedikit melempar keluhan.
Baca juga: Curhat Guru di Pelosok: ‘Anak dari Keluarga Miskin Mungkin Akan Tetap Miskin’
Yang Perlu Dilakukan
Heni sendiri menyayangkan kasus bunuh diri yang terjadi pada guru SD karena tekanan dari orang tua murid. Menurut dia, guru yang berusia muda memang rentan sekali dalam menghadapi tekanan tersebut. Sebagai mantan kepala sekolah, ia melihat guru muda sering mengalami overthinking dan cenderung sulit mengungkapkan permasalahannya.
Karena itu jalan yang perlu diambil adalah support system dari orang-orang terdekat, termasuk pihak sekolah. Lebih lanjut, jika masalah berlarut-larut, perlu ada mediasi antara guru, pihak sekolah, dan orang tua murid. Sehingga, guru tak merasa berkewajiban menyelesaikan masalah sendirian.
“Saat kamu seorang guru mengalami stres, sebaiknya segera bilang ke pihak sekolah atau kepala sekolah. Tak perlu dipendam sendiri. Justru kalau terus kamu pendam, itu akan membuat kamu stres dan lelah menghadapinya,” kata Heni lagi.
Pemerintah juga harus membuat regulasi terkait intervensi orang tua murid ini. Namun, Heni menyadari, hal ini cukup sulit untuk dilakukan di Indonesia, apalagi untuk sekolah swasta. Ibaratnya sekolah swasta membutuhkan murid, sedangkan sekolah negeri, murid yang butuh mereka. Alasannya karena sekolah swasta mendapat dana dari murid-murid yang membayar untuk masuk ke sekolah mereka.
Kalau benar-benar ada peraturan daerah terkait masalah intervensi wali murid, di semua sekolah, Heni ingin agar terus didorong.
“Bagi kamu para guru yang tengah mengalami masalah sulit karena intervensi orang tua, tetap ikuti panggilan hatimu. Kalau memang passion-mu benar-benar mengajar, maka jalanilah dengan setulus hati. Tak semua orang punya passion atau bakat dalam mengajar. Jika kamu merasa tertekan, ungkapkanlah semua unek-unekmu, dan segera carilah bantuan,” pungkas Heni.