Jalan Panjang Mengupayakan Hak Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan
Walaupun hukum telah menjamin hak mengakses aborsi aman bagi korban pemerkosaan, masih banyak kendala dalam implementasinya.
Pada 2018, seorang remaja putri 15 tahun berinisial WA divonis enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi. WA dipidana karena melakukan aborsi setelah diperkosa oleh abang kandungnya dan kemudian hamil. Dengan bantuan sang ibu, WA melakukan tindakan aborsi tersebut dan mayat bayinya ditemukan oleh warga sekitar.
Banyak pihak yang menilai WA mengalami ketidakadilan mengingat posisinya sebagai korban pemerkosaan. Aksi solidaritas untuk membela WA pun sempat digelar di sekitar Bundaran HI, Jakarta. Sementara itu, tim pengacara WA berusaha mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jambi agar WA terbebas dari pidana dan memperoleh haknya sebagai korban pemerkosaan.
WA merupakan satu dari sederet korban pemerkosaan yang menghadapi jalan terjal mencari keadilan di Indonesia. Pilihan untuk menghentikan kehamilan di negara konservatif ini masih menjadi isu kontroversial, sekalipun sang perempuan adalah korban kekerasan seksual.
Padahal, ada konsekuensi jangka panjang dan sangat berat bila mereka harus meneruskan kehamilan dan akhirnya mengurus anak hasil pemerkosaan tersebut. Country Director IPAS Indonesia, lembaga yang berfokus pada isu kesehatan reproduksi dan hak-hak anak perempuan dan perempuan, Marcia Soumokil mengatakan, ada dampak fisik dan psikis yang akan dialami korban pemerkosaan bila mereka tidak dapat mengakses aborsi aman.
Ia menjelaskan, dalam konteks perempuan bukan korban saja, kehamilan dan persalinan berisiko tinggi bisa dihadapi oleh perempuan remaja atau berusia di bawah 19 tahun. Pasalnya, organ reproduksi mereka belum matang walaupun sudah berfungsi. Dalam banyak studi pun dikatakan bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah sering kali ditemukan dalam persalinan ibu usia remaja.
Baca juga: Mengapa Korban Inses Sulit Melapor dan Keluar dari Tindak Kekerasan
“Selain itu, kondisi emosional remaja yang belum stabil dan kita tidak tahu apakah dia siap menjadi ibu dan mengurus bayinya nanti,” kata dokter dan pakar kesehatan masyarakat tersebut.
Kehamilan dan persalinan akan menjadi proses yang semakin berat dijalani perempuan ketika ia menjadi korban pemerkosaan karena ia harus berurusan dengan trauma berkepanjangan. Sementara, seorang ibu hamil diharapkan mampu menjaga kondisi psikologis yang positif demi kesehatan diri dan janinnya.
“Ini berpengaruh terhadap perkembangan janin. Yang paling ditakutkan dari implikasi psikis, nantinya ia sangat mungkin mengalami depresi dan baby blues. Perempuan bukan korban saja banyak yang mengalami ini karena perubahan hormonal yang menyebabkan ketika hamil, mereka cenderung mengalami low mood,” jabar Marcia.
Saat bayi hasil pemerkosaan lahir, pengalaman sang ibu ketika mengasuhnya akan menjadi semacam siksaan panjang, apalagi bila sang ibu tidak mendapat dukungan yang baik untuk mengatasi traumanya.
“Korban pemerkosaan seakan ditinggali ‘kenang-kenangan’ yang harus ada di tubuhnya selama sembilan bulan, lalu harus dia hadapi setiap hari setelah lahir. Ini juga bisa berdampak buruk terhadap relasi dia dengan sang anak nantinya,” kata Marcia.
Regulasi yang menjamin hak korban
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), segala tindakan aborsi merupakan tindakan ilegal dan perempuan yang melakukannya diancam penjara empat tahun. Namun sejak 2009, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Kesehatan No. 36/2009 yang di dalamnya mengatur pengecualian tindakan aborsi untuk tiga kondisi: Ada indikasi gawat darurat medis bagi ibu, masalah perkembangan janin, dan bagi korban pemerkosaan.
Baca juga: Nasib di Ujung Tanduk Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
Marcia menilai, adanya pengecualian aborsi dalam UU Kesehatan merupakan terobosan yang sangat baik dan memihak bagi korban pemerkosaan. Dengan adanya aturan tersebut, korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan bisa mencegah dampak-dampak buruk jangka panjangnya.
Selain UU Kesehatan, ada pula Peraturan Pemerintah (PP) No. 61/2014 yang juga menyinggung soal pengecualian sanksi tindakan aborsi bagi korban pemerkosaan (Bab IV). Jika di UU Kesehatan dikatakan jangka waktu maksimal tindakan aborsi bagi korban pemerkosaan adalah enam minggu, di PP 61/2014 dinyatakan maksimal 40 hari.
“Lalu ada lagi turunan regulasi untuk aborsi legal yaitu Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3/2016. Permenkes ini membahas tentang pelatihan dan penyelenggaraan layanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan,” ujar Marcia.
Dalam semua regulasi ini, dinyatakan bahwa tindakan aborsi legal dalam tiga kondisi yang dikecualikan tadi hanya bisa dilakukan oleh tenaga medis dan konselor yang berwenang. Kewenangan ini diberikan setelah mereka mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak Kementerian Kesehatan dan tersertifikasi.
Banyak batu sandungan
Walaupun telah ada seperangkat aturan yang memberikan hak bagi korban pemerkosaan untuk menghentikan kehamilannya, penerapannya masih terkendala banyak hal.
Dalam wawancara dengan Magdalene beberapa waktu lalu, anggota Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan Dian Puspitasari mengatakan, masih banyak dokter yang menolak melayani aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan walaupun sudah ada aturannya dalam hukum.
“Karena di UU Kesehatan sendiri agak multitafsir, kebanyakan dokter enggak mau [melakukan tindakan aborsi] karena ada masalah di pemahaman teknisnya. Siapa yang mengatakan kalau seorang perempuan adalah korban kekerasan seksual?” kata Dian.
Kehamilan dan persalinan akan menjadi proses yang semakin berat dijalani perempuan ketika ia menjadi korban pemerkosaan karena ia harus berurusan dengan trauma berkepanjangan.
Ia menambahkan, untuk dinyatakan sebagai korban pemerkosaan, biasanya perempuan mesti menjalani proses hukum yang memakan waktu panjang. Belum lagi korban tidak langsung mau bercerita dan melapor bahwa dirinya diperkosa. Sementara, usia kandungan terus bertambah dan dokter kebanyakan tidak mau melakukan aborsi terhadap janin di atas batas waktu yang ditentukan UU Kesehatan.
Perihal bukti bahwa seorang perempuan diperkosa sebagai syarat mengakses aborsi legal juga termaktub dalam Permenkes No. 3/2016. Dalam pasal 20 ayat 2 dinyatakan bahwa, “Pelayanan aborsi pada kehamilan akibat perkosaan dilakukan setelah korban perkosaan memiliki surat bukti kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (4) dan surat keterangan konseling”.
Marcia berpendapat, aturan dalam Permenkes tersebut mengenai bukti sebagai korban pemerkosaan masih kurang jelas.
“Di beberapa tempat, cukup melapor polisi saja boleh. Tapi syarat untuk membuktikan dia diperkosa lewat visum dan lain-lain, itu yang masih dalam debat. Apakah cukup dengan surat lapor ke polisi untuk dipakai mengakses layanan [aborsi legal], atau harus sampai ada visum dari petugas yang berwenang [dokter atau dokter forensik], atau harus lewat pengadilan dulu diputuskan benar terjadi perkosaan baru bisa mengaksesnya. Itu yang enggak jelas di Permenkes ini sehingga orang menginterpretasikan secara berbeda,” kata Marcia.
Di samping itu, Marcia menangkap ada kendala budaya dalam penerapan regulasi pengecualian aborsi bagi korban pemerkosaan. Mayoritas masyarakat masih punya stigma buruk dan ketakutan akan kata aborsi.
“Walau sudah ada aturannya, persepsi orang-orang dan kelompok-kelompok garis keras masih buruk soal aborsi. Itu membuat semua orang yang bertanggung jawab terhadap layanan ini menjadi khawatir, kalau benar diimplementasikan, apakah akan ada serangan terhadap mereka,” papar Marcia.
Baca juga: 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei
Selain kekhawatiran terhadap serangan kelompok garis keras, hal lain yang bisa menyandung korban pemerkosaan untuk mengakses aborsi legal adalah nilai yang dipegang tenaga medis tersebut. Sekalipun punya kompetensi dan berada dalam lindungan UU untuk melakukannya, tenaga medis yang konservatif akan cenderung memilih untuk tidak melakukan tindakan tersebut sehingga mempersulit korban dalam mengakses layanan aborsi legal.
Batas waktu 40 hari problematik?
Batas waktu maksimal dilakukannya tindakan aborsi legal sampai 40 hari merujuk pada rekomendasi Majelis Ulama Indonesia mengenai pemahaman kapan nyawa dimulai. Sementara menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), batas aman melakukan aborsi adalah sampai 9-11 minggu kehamilan.
Marcia menilai, kerangka moral yang berakar dari interpretasi agama ini tak pelak kerap mendatangkan masalah bagi korban pemerkosaan yang mau mengakses aborsi legal.
“Sebagai orang yang sering berkecimpung mendampingi korban, kita tahu ini sangat problematik. Nomor satu, enggak usah korban pemerkosaan. Perempuan di Indonesia biasanya menyadari kehamilannya setelah berminggu-minggu telat haid. Jarang yang masih satu dua minggu sadar, biasanya sampai hamil dua bulan baru sadar. Itu juga kalau haidnya teratur,” ujar Marcia.
“Lalu pada korban pemerkosaan, biasanya kejadian traumatis mengganggu sekali secara emosional. Yang saya ketahui, di awal-awal dia masih sibuk mengatasi traumanya. Menurut saya akan sangat kecil kemungkinan perempuan aware kalau dia belum haid dan menyadari ada perubahan di tubuhnya. Belum lagi dia harus urus laporan ke polisi, mengakses layanan P2TP2A. Waktu selama enam minggu setelah kejadian menjadi saat-saat genting untuk mengurus perkara.”
Di samping kemungkinan disibukkan oleh proses pengurusan kasus, korban pemerkosaan juga mesti diburu-buru dalam mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Kendati bisa mengakses konseling sebagai korban, belum tentu dalam waktu enam minggu ia bisa berpikiran jernih setelah berkonsultasi psikis dan mengambil keputusan untuk menghentikan atau meneruskan kehamilannya.
Butuh banyak pihak yang digerakkan dalam membantu pengurusan kasus pemerkosaan. Di samping itu, Marcia juga merasa tes kehamilan secara rutin penting dilakukan oleh korban selain mengakses kontrasepsi darurat, pemeriksaan infeksi menular seksual, dan konseling.