Jaminan Kesehatan Minim Bagi Korban Kejahatan dan Kekerasan Seksual
BPJS Kesehatan ternyata tidak menanggung biaya pengobatan korban kejahatan dan kekerasan seksual.
Awal pekan ini, Arus Pelangi, organisasi nonprofit yang berfokus pada perlindungan komunitas LGBTQ , menyerukan penggalangan donasi untuk membantu Alin, seorang transpuan asal Aceh, yang ditusuk salah seorang pengunjung salonnya hari Minggu (12/7).
Penggalangan donasi di media sosial tersebut dilakukan karena Alin tidak dapat mengklaim BPJS Kesehatan untuk menutupi biaya pengobatannya. Padahal luka tusuk yang cukup parah membuat Alin harus segera dioperasi. Pihak BPJS Kesehatan mengatakan biaya pengobatan korban tindak kejahatan atau kriminal tidak termasuk yang dijamin oleh asuransi pemerintah tersebut.
Citra, dari tim advokasi yang menemani Alin, mengatakan sampai sekarang belum ada kejelasan dari pihak BPJS Kesehatan terkait status Alin. Ia masih dikategorikan sebagai pasien umum, bukan korban tindak pidana kejahatan sebagai mana mestinya. Hingga saat ini biaya pengobatan Alin mengandalkan donasi yang terkumpul sekitar Rp24.338.000.
“Korban punya BPJS tapi masih enggak jelas,” ujar Citra kepada Magdalene (15/7).
Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Iqbal Anas mengatakan, korban tindak kejahatan memang sudah tidak lagi ditanggung BPJS sejak 2018 lalu, mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Perpres tersebut menyatakan beberapa kasus tidak lagi dijamin BPJS, seperti gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa pandemi, pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan. Karenanya, kasus Alin yang termasuk dalam tindak kejahatan tidak bisa dijamin BPJS Kesehatan, ujar Iqbal.
“Jadi itu semua sudah diatur melalui Perpres itu ya kenapa BPJS enggak cover,” ujar Iqbal kepada Magdalene (13/7).
BPJS Kesehatan sendiri pada awalnya masih menjamin korban tindak kejahatan, mengacu pada Perpres No. 12/2013 dan Perpres No. 28/2016. Kedua Perpres tersebut masih mengatur tentang penjaminan korban tindak pidana kekerasan, terutama kasus-kasus darurat seperti pembegalan. Korban yang mengalami luka berat dan tentunya sangat membutuhkan perawatan tidak dikategorikan sebagai pasien umum.
Baca juga: Program JKN Belum Jangkau Transpuan
Namun setelah disahkannya Perpres No. 82/2018, BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung korban tindak kejahatan maupun korban kekerasan seksual. Semua kasus kejahatan ini kemudian anehnya dialihkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan kepada saksi dan korban.
Luputnya koordinasi dengan LPSK terkait Perpres
Anggota LPSK Livia Iskandar mengatakan, Pasal 52 Perpres No. 82/2018 yang disebut BPJS Kesehatan dibuat tanpa berkonsultasi dengan LPSK terlebih dahulu. Padahal LPSK mempunyai kriteria sendiri terkait dengan perlindungan korban, sehingga pembiayaan korban saat darurat tidak bisa langsung turun begitu saja, ujarnya.
“Ini menjadi masalah besar juga yang sedang jadi concern LPSK, karena tidak semua korban kekerasan bisa dilindungi LPSK. Di Pasal 28 UU No. 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, itu ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi, termasuk tingkat ancaman,” ujar Livia.
UU tersebut juga menyebutkan bahwa korban yang berhak mendapat perlindungan LPSK adalah korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat.
Para korban yang disebutkan berhak mendapat bantuan perlindungan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. LPSK sendiri sekarang ini memiliki lima program perlindungan, yaitu perlindungan fisik, perlindungan prosedural, perlindungan hukum bantuan medis, psikologis, dan psikososial. Namun masalahnya, menurut Livia, LPSK hanya bisa memberikan bantuan kepada korban jika ada ancaman, dan untuk kasus penganiayaan berat harus ada proses hukum sehingga korban bisa dilindungi oleh LPSK.
“Itu pun setelah kita telaah dan analisis kasusnya,” ujar Livia.
Sebagai lembaga bantuan, pembiayaan LPSK selama ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ,sehingga sangat bergantung pada kondisi keuangan negara. Hal ini berbeda dengan BPJS Kesehatan yang mendapatkan dana dari hasil iuran pemilik asuransi. Posisi LPSK tidak berfungsi sebagai lembaga penjamin seperti sistem yang berlaku di BPJS, ujar Livia. Semua korban yang dilindungi LPSK tidak dipungut biaya maupun premi ketika proses perlindungan berjalan, tambahnya.
“Nah, di sini masalah besarnya. Kalau memang ingin LPSK yang membiayai perlu ada dana khusus yang memang diperuntukkan untuk korban yang sesegera mungkin butuh biaya,” ujar Livia.
Selain itu, keterlibatan pemerintah daerah dalam membantu menangani korban kejahatan juga sangat krusial. Pemerintah DKI Jakarta misalnya, sudah mulai menanggung biaya pengobatan korban yang tidak bisa ditanggung BPJS Kesehatan dan LPSK. Sedangkan di provinsi lain penanganan korban belum dilihat secara serius.
“Pemerintah provinsi juga sudah seharusnya mulai memikirkan anggaran untuk hal-hal seperti ini, terutama pembiayaan korban kejahatan, biar sama-sama saling bantu dan enggak saling melimpahkan,” ujar Livia.