Indonesia Darurat Demokrasi, Jangan Gagal Fokus ke ‘Bau Keti’ Erina Gudono
Kita layak marah melihat Erina Gudono yang insensitif karena ‘flexing’ ke AS. Namun, menghina bau badannya bukan tindakan bijak.
Erina Gudono, istri Kaesang Pangarep mendadak viral berbarengan dengan tagar #KawalPutusanMK di X, (22/8). Menantu Presiden Jokowi itu tampak flexing gaya hidup mewah lewat Instagram Story pribadinya.
Dalam tangkapan layar yang dibagikan warganet, Erina diduga menikmati pemandangan dari dalam pesawat jet Gulfstream untuk melancong ke Amerika Serikat (AS). Gulfstream adalah pesawat carter yang bisa disewa untuk kebutuhan pribadi dengan ongkos relatif fantastis.
Mengutip dari laman Air Charter Advisors, untuk pesawat Gulfstream G280 yang berukuran sedang, biaya sewanya dipatok US$6.800 hingga US$8.000 atau setara Rp105,5 juta hingga Rp124,12 juta (kurs Rp15.515 per dolar AS) per jam. Sementara, untuk pesawat Gulfstream G-650 berukuran besar (large), harga sewanya dipatok US$17 ribu hingga US$19.750 atau sekitar Rp263,75 juta hingga Rp306,42 juta per jam. Tinggal kalikan saja berapa dengan durasi perjalanan Indonesia-AS.
Setibanya di Paman Sam bareng Kaesang, Erina pamer lagi tengah membeli satu kepal roti dengan harga Rp400 ribu. Oleh warganet, harga roti ini dibandingkan dengan gaji sejumlah guru honorer di Indonesia. Lalu Erina pamer belanja kereta bayi (baby stroller) seharga Rp21,5 juta hingga Rp23,1 jutaan. Ia juga tertangkap layar bersantai sambil mempelajari materi orientasi gelar magisternya tentang keadilan sosial, Master of Science School of Social Policy and Practice (SP2) University of Pennsylvania di balkon hotel mewah California.
Tanpa butuh waktu lama, unggahan-unggahan Erina panen kritik warganet. Lulusan Universitas Gadjah Mada itu dicap enggak peka pada isu sosial di sekitarnya. Terlebih apa yang ditampilkan Erina di Instagram, berbanding terbalik dengan kondisi mayoritas massa aksi yang menggeruduk Gedung DPR/ MPR RI kemarin. Mereka menderita dan semakin rentan akibat praktik dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Karena unggahan-unggahan itu pula, Erina disandingkan dengan Marie Antoinette, ratu terakhir Kerajaan Prancis. Mengutip Biography.com, Antoinette dikenal publik sebagai ratu yang suka foya-foya. Ia bahkan punya julukan “Madame Deficit” karena saat pemerintah Prancis sedang krisis keuangan dan banyak utang usai membantu Revolusi AS, Antoinette tetap bisa hidup bermewah-mewahan. Ia berpesta dan berjudi hampir tiap malam. Tubuhnya pun dililiti oleh pakaian-pakaian sutra mahal seharga miliaran rupiah.
Sebagai informasi, saat Erina dan suami tengah melancong ke AS, terjadi demo massa di berbagai kota di Indonesia. Di Jakarta, demo terbesar terjadi di depan DPR/MPR RI, berbarengan dengan agenda Rapat Paripurna yang urung digelar karena gagal kuorum, (22/8).
Rapat ini sendiri sedianya bakal mengesahkan revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Jika disahkan, kelak suami Erina yang belum genap 30 tahun itu bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Pilkada Jawa Tengah. UU itu sendiri mengembalikan aturan ambang batas perolehan minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah. Jika upaya ini gol sebelum masa pendaftaran calon kepala daerah, 27-29 Agustus 2024, kans Jokowi memperlebar dinasti politik akan semakin besar.
Baca juga: Sudah Demo dan Marah di Medsos: Apa yang Bisa Kita Lakukan Selanjutnya?
Salah Fokus Warganet
Sayang, kritik warganet soal ketidakpekaan Erina enggak berlangsung lama. Kini sambat warganet sudah bergeser soal bau ketiak dan kaki Erina. Dimulai dari cuitan warganet soal sahabatnya yang bilang Erina “bau keti” saat bertemu di beberapa pertemuan bisnis, warganet langsung ramai-ramai mengejek Erina.
Topik bau ketiak Erina bahkan jadi trending topic di berbagai platform media sosial. Apalagi sesama finalis Putri Indonesia ikut membenarkan cerita soal bau ketiak Erina. Walhasil, Erina dan bau ketiaknya masuk ke dalam perbincangan akun-akun gosip. Meme mengenai dirinya disebarkan di mana-mana, yang disambut artikel media tentang tips mengatasi bau badan.
Dari sini muncul satu pertanyaan penting: Di saat sedang membicarakan hal serius, kenapa muncul distraksi bau ketek? Akankah ini mendistraksi agenda utama rakyat soal pengawalan putusan Mahkamah Konstitusi?
Jawabannya sederhana. Masyarakat lebih suka mengolok-olok atau menyalahkan perempuan dibandingkan fokus pada substansi masalah. Fenomena ini sendiri sudah banyak dibahas dan dikenal sebagai sindrom Blame the Women. Bahkan orang Prancis punya ungkapan sendiri buat sindrom ini: Cherchez la femme (look for the woman).
Apa pun masalahnya, perempuanlah yang salah, intinya. Menurut psikiater forensik Elissa kepada The Washington Post, perempun dianggap bertanggung jawab, terutama saat ada hal buruk. Mereka bahkan dicap punya kekuatan besar untuk memengaruhi orang lain berbuat jahat, sehingga layak dihakimi atau disalahkan.
Contoh, kalau perempuan diperkosa, penyebabnya adalah sikap provokatif dan gaya pakaiannya. Kalau pun tak salah, orang akan semangat sekali mengulik-ngulik kesalahan dan aibnya. Contoh lain, pejabat politik Mahfud MD bilang, korupsi yang menjerat pejabat laki-laki, terjadi karena ulah istri yang boros, tak baik, dan suka menuntut.
“Di dalam banyak kasus, suami-suami yang terjerumus ke dalam kejahatan itu karena istrinya nggak baik. Banyak koruptor masuk penjara karena tuntutan istri. Perempuan adalah tiang di suatu negara. Kalau perempuannya baik, negaranya akan baik. Kalau perempuan enggak baik, negaranya juga enggak baik,” katanya.
Pernyataan itu menunjukkan perempuan dijadikan standar moral masyarakat. Beban moral ditanggung sepihak kepada perempuan, sehingga kewajiban untuk punya etika baik cuma melekat di perempuan. Saat perempuan tak memenuhinya, ia dianggap bersalah dan menyimpang. Sebaliknya, lelaki lolos dari bulan-bulanan.
Baca juga: Tak Penuhi Kuorum, Rapat Paripurna DPR Pengesahan RUU Pilkada Batal
Contoh paling heboh belakangan tampak dalam penangkapan aparat polisi Ferdy Sambo. Ada satu momen saat itu di mana publik lebih heboh membincangkan istri Sambo dibandingkan aksi pembunuhan yang Sambo sendiri lakukan. Puncaknya, istri Sambo dituding mendalangi pembunuhan karena kedapatan selingkuh dengan korban.
Jauh sebelum heboh kasus Sambo, sindrom ini dialami pula oleh Tien Soeharto. Dia dituduh merancang berbagai keputusan suami selama menjabat sebagai presiden. Mulai dari proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah sampai pemilihan pejabat negara. “Kerakusan” Ibu Tien membuatnya dapat julukan populer, Madam Ten Percent. Julukan yang mengacu pada upeti 10 persen agar proyek disetujui pemerintah.
Melihat contoh-contoh ini, apakah itu berarti kita tak boleh mengritik Erina?
Tentu saja boleh. Kekecewaan dan kemarahan kita terhadap Erina valid. Mengolok-olok bau badannya juga tidak masalah karena ini bisa jadi strategi serangan mental, yang bisa jadi alat kita mempermalukan tokoh publik yang berkhianat pada rakyat.
Yang tidak boleh adalah ketika olok-olok pada Erina mengaburkan agenda utama kita yang lebih penting: Mengawal putusan MK dan revisi UU Pilkada. Alih-alih membahas hal remeh perkara bau badan Erina, fokuskan amarah kita perihal kesewenangan keluarga mereka yang ingin merusak demokrasi negara.
Kita harus lebih banyak berbicara soal Erina sebagai bagian dari aktor utama yang ingin dinasti politiknya terjaga. Jangan sampai karena terlalu riuh bicara “bau keti” Erina, kita lupa kalau demokrasi sedang jadi taruhannya.