Election 2024 Issues

Apa pun Masalahnya, Salahkan Ibu Negara: Politik Misogini di Balik Dugaan ‘Cawe-Cawe’ Iriana Jokowi

Iriana Jokowi dituduh jadi dalang pencalonan anaknya di Pemilu 2024. Ini bukti masih maraknya sindrom 'blame the woman' dan stereotip 'power hungry woman'.

Avatar
  • December 8, 2023
  • 9 min read
  • 1312 Views
Apa pun Masalahnya, Salahkan Ibu Negara: Politik Misogini di Balik Dugaan ‘Cawe-Cawe’ Iriana Jokowi

Iriana Jokowi, ibu negara Indonesia baru-baru ini dituduh menjadi dalang pencalonan anaknya, Gibran Rakabuming Raka di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Tuduhan ini mulai ramai dibicarakan sejak majalah Tempo merilis laporan “Bagaimana Iriana Jokowi Menggalang Dukungan untuk Prabowo-Gibran” dan artikel “Cawe-cawe Ibu Negara Iriana Jokowi dalam Pemilu 2024”. Dalam laporan itu, Tempo menyebut Iriana adalah sutradara yang membidani kemunculan dinasti politik Presiden Joko Widodo.

Ia mendorong anaknya, Gibran menjadi calon wakil presiden dan ambisi ini, kata Tempo, sudah terlihat sejak 2023. Tahu ambisinya tidak akan bisa terwujud karena terbentur aturan syarat umur 40 tahun menjadi calon presiden dan wakil presiden, Iriana berusaha memuluskan jalan politik sang putra mahkota. Lewat paman Gibran, Anwar Usman, putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilihan Umum diubah dengan menambahkan kalimat: “Pernah terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah”. 

 

 

Sehari sebelum putusan dibacakan, Iriana sudah tahu isinya. Tak heran jika Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menuding Istana mengintervensi Majelis Hakim. Selain menggalang keluarga besar, tulis Tempo, Iriana aktif meminta dukungan sejumlah organisasi kemasyarakatan dan ikut cawe-cawe mengatur relawan Prabowo-Gibran. 

Baca Juga:  ‘Restorative Justice’ dalam Pemerkosaan Anak Papua: Tak Sama dengan Jalur Damai

Bukan Cuma Iriana Jokowi Saja

Artikel Tempo menyulut berbagai reaksi masyarakat, baik pro maupun kontra. Beberapa media mulai ramai memberitakan keterlibatan Iriana dalam Pilpres 2024. Istana pun ditunjuk hidungnya. Ini relatif mengherankan, mengingat artikel Tempo berangkat dari gosip keluarga, ucap peneliti feminis Julia Suryakusuma di South China Morning Post.

Dalam pemberitaannya, Tempo mengklaim sumber yang tidak disebutkan namanya adalah anggota keluarga besar presiden yang enggak setuju dengan cara Gibran dinaikkan dalam Pilpres 2024. Karena itulah ia memutuskan untuk angkat bicara.

“Cerita sampul yang bertumpu pada bukti-bukti yang bisa diperdebatkan sepertinya tidak diperlukan. Seolah-olah mereka sengaja mengincar Iriana,” tulis Julia.

Iriana nyatanya bukan yang pertama. Cukup banyak perempuan disalahkan karena kesalahan sikap atau kebijakan politik pasangannya. Saat Orde Baru, Tien Soeharto dituduh merancang berbagai keputusan suami selama menjabat sebagai presiden. Ini mulai dari proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah sampai pemilihan pejabat negara. “Kerakusan” Ibu Tien membuatnya dapat julukan populer, Madam Ten Percent. Julukan yang mengacu pada upeti 10 persen agar sebuah proyek disetujui pemerintah.

Selain Ibu Tien, Ani Yudhoyono, istri dari presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono juga mendapat perlakuan serupa. Dikutip dari artikel yang sama, ketika putra sulung Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono mengundurkan diri dari militer pada 2017 untuk mengikuti Pemilihan Gubernur Jakarta, ada rumor yang mengatakan, ia telah ditekan oleh ibunya untuk mencalonkan diri.

Bak epidemi, fenomena ini menjangkit banyak panggung politik dunia. Di Amerika Serikat, mengambinghitamkan perempuan dalam keputusan politik yang diambil laki-laki terjadi pada Jill Biden, istri Presiden Joe Biden. Dilansir dari Business Insider, Jill Biden dikecam publik setelah pembawa acara Fox News mengklaim ia bertanggung jawab atas krisis yang sedang berlangsung di Afghanistan karena mengizinkan suami mencalonkan diri sebagai presiden.

Rachel Campos-Duffy, pembawa acara itu bilang, Joe Biden “lemah secara mental”. Partai Republik bahkan telah lama mengklaim, Biden enggak layak untuk menjabat. Ini merujuk pada sejarah kesalahan verbal dan kekeliruan klaim tentang gangguan kognitif walau tidak ada bukti medis yang mendukung klaim itu.

Tak mau ambisinya diredupkan begitu saja atas klaim ini, Jill Biden mendorong suaminya mencalonkan diri dan berakhir membuat keputusan fatal. Ini adalah keputusan evakuasi Afghanistan pada 2021 yang mengakibatkan 13 anggota militer Amerika kehilangan nyawa, usai ledakan bom di dekat pos pemeriksaan bandara yang mereka jaga di Kabul. 

Baca juga: Predator Seksual itu Berlindung di Balik Jubah Gereja

Hillary Clinton, Rosalynn Carter, Nancy Reagan juga jadi bulan-bulanan. Dalam penelitian yang diterbitkan European and America Studies pada 2015, dijelaskan bagaimana ibu negara kerap dikritik karena melakukan co-presidensi. Istilah yang diciptakan pada masa pemerintahan Roosevelt dan mengacu pada bagaimana negara dipimpin, bukan hanya oleh individu terpilih, tapi orang lain yang punya kepentingan. Dalam konteks Hillary Clinton, Rosalynn Carter, dan Nancy Reagan adalah ibu negara.

Hillary Clinton dituduh mengarahkan arah politik kebijakan suaminya Bill Clinton. Ini diberitakan media lewat pemindahan secara simbolis kantornya ke Sayap Barat Gedung Putih bersama semua orang di tempat kekuasaan tertinggi Amerika Serikat. Ia pun dipanggil “Nyonya Naga”.  

Rosalynn Carter pertama kali diserang karena membantu suaminya, Jimmy, dan karena ikut serta dalam rapat kabinet bersamanya. Kemudian, ketika Jimmy dilanda krisis kepercayaan nasional, ketenaran Rosalynn mencapai klimaks. Pers pertama kali bertanya-tanya, apakah dia “benar-benar menjalankan negara.” Kemudian mereka menyalahkannya karena bertindak sebagai wakil presiden dan berdampak pada kebijakan AS. 

Nancy Reagan juga diserang karena dianggap haus kekuasaan, terutama karena memprakarsai pemecatan mantan Menteri Keuangan pada masa Presiden Ronald Reagan dan Kepala Staf Gedung Putih, Donald Regan. Tentang peran Nancy Reagan dalam pemecatan Donald Regan, William Safire dari The New York Times menulis: “Pada saat dia sangat perlu tampil kuat, Presiden Reagan dilemahkan dan dibuat tampak lemah dan tidak berdaya karena campur tangan politik istrinya.”

Komentarnya serupa dengan apa yang dikatakan Richard Nixon tentang pasangan Clinton: “Jika istri terlihat terlalu kuat dan pintar, maka suami akan terlihat seperti pengecut.”

Di Asia, fenomena ini bisa dilihat dari sosok Imelda Marcos, istri diktator Filipina Ferdinand Marcos. Dalam laporan Filam Tribune, berita majalah non-profit Filipina dijelaskan, bagaimana kapitalisme kroni kepemimpinan Ferdinand Marcos tak lepas dari peran Imelda yang haus harta dan kuasa. Imelda Romualdez Marcos menduduki peringkat di antara perempuan terkaya di dunia, bersama dengan Dewi Sukarno dari Indonesia, Farah Pahlavi dari Iran, dan Ratu Elizabeth II dari Inggris, dalam majalah Cosmopolitan edisi Desember 1975.

Dia mengumpulkan barang-barang antik dan lukisan serta menimbun berlian dan perhiasan desainer dari Paris untuk memuaskan aspirasi ratunya. Semua bersumber dari “uang curian” masyarakat. Era Marcos juga dianggap sebagai “kebangkitan seni dan budaya” negara tersebut, lantaran Imelda Marcos berperan penting dalam melakukan lobi dengan berbagai pihak.

Bayang-bayang pelanggaran HAM berat juga menodai nama Imelda. Mengutip dari Washington Post, laporan intelijen rahasia Amerika Serikat, CIA menunjukkan pembunuhan Benigno “Ninoy” Aquino Srdi Manila mungkin diperintahkan Ibu Negara Imelda Marcos, tanpa sepengetahuan suami. Ninoy sendiri adalah politisi Filipina. Ia selama tiga tahun jadi eksil di AS karena melawan rezim Marcos. 

Jika Marcos ingin Imelda menggantikan dia, maka satu-satunya orang yang dapat mengancam suksesi itu adalah kembalinya Ninoy. Membunuh Ninoy adalah jalan satu-satunya agar kuasa penuh tetap digenggam Marcos dan Imelda. Walau dengan catatan, dugaan keterlibatan Imelda sampai sekarang belum bisa dibuktikan.

Baca Juga: Lagi, Pejabat Remehkan Kasus Pelecehan Seksual: Sudah Saatnya Berubah, Pak, Bu!

Sindrom Blame the Woman dan Sterotip Power Hungry Woman

Berbagai figur ibu negara yang disalahkan atas kebijakan dan keputusan politik suami, serta dianggap sebagai dalang berbagai skenario politik negara adalah fenomena tak terbantahkan. Fenomena ini umum dikenal sebagai sindrom Blame the Women. Orang Prancis bahkan memiliki ungkapan untuk sindrom ini: Cherchez la femme (look for the woman). 

Dilansir dari The Washington Post, sindrom Blame the Woman adalah pelabelan negatif pada perempuan. Mereka dicap sebagai Bad Woman atau Bad Witches. Ciri utamanya, perempuan disebut-sebut punya kekuatan yang sangat besar sampai bisa memengaruhi orang lain berbuat kejahatan. Kelicikan dan kejahatannya, membuat perempuan layak dicap sebagai dalang atas segala kehancuran. Mereka juga pantas untuk dihakimi dan disalahkan. 

Lebih mudah memang untuk menyalahkan perempuan. Hal ini karena di tengah masyarakat, posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Mereka enggak memiliki hak pilihan atau suara untuk berbicara dan didengarkan yang setara dengan laki-laki. Karena itu, sejak awal, mengambinghitamkan perempuan telah menjadi cara aman di mana sistem patriarki memungkinkan laki-laki untuk melepaskan diri dari akuntabilitas dan tanggung jawab atas perilaku mereka.

Dalam tataran teologis, sindrom Blame the Woman muncul dan dilanggengkan dari kisah Adam dan Hawa. Adam dibuang ke Bumi karena ia memakan apel terlarang atau buah khuldi kendati sudah dilarang Tuhan. Dalam berbagai tafsir agama, tindakan Adam adalah akibat langsung dari godaan Hawa yang sebelumnya sudah mencicipi buah itu terlebih dahulu karena bisikan setan. Ini disampaikan Michelle Charness JD, mantan asisten jaksa wilayah Middlesex County, Massachusetts, Amerika dan Pekerja Sosial Klinis Berlisensi dalam artikelnya di Psychology Today.

Maka tak heran, Cerys Howell, peneliti Universitas Birmingham yang diwawancarai oleh The Guardian mengatakan, dalam budaya yang masih terus menempatkan perempuan sebagai kelas kedua, perempuan dan anak perempuan adalah sumber kesalahan atas hampir semua hal yang tidak beres di masyarakat kita. 

“Seberapa sering, ketika seorang laki-laki gagal, kita mendengarnya berbalik dialihkan pada perempuan? Sikap menyalahkan perempuan inilah secara sosial berbahaya. Ini bisa berdampak pada setiap anak perempuan,” kata Howell.

Ironinya, sindrom blame the woman diperparah dengan stereotip power hungry woman atau perempuan gila kuasa. Para ibu negara yang disalahkan publik umumnya selalu digambarkan sangat ambisius, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapat kekuasaan. Pembingkaian ini sebenarnya bias gender.

Tyler Okimoto dan Victoria Brescoll dari Yale School of Management lewat penelitian yang diterbitkan Personality and Social Psychology Bulletin pada 2010 menuliskan, jika perempuan dianggap memiliki niat mendapatkan kekuasaan, publik cenderung membuat banyak kesimpulan bias tentang karakternya dan menilainya berdasarkan hal tersebut. Secara khusus, niat itu memberi sinyal kepada publik bahwa dia adalah perempuan agresif dan egois yang tidak menganut nilai-nilai komunal yang bersifat feminin.

Kesimpulan ini Okimoto dan Brescoll dapat setelah melakukan observasi dan wawancara pada 80 peserta (dua pertiga di antaranya adalah perempuan) yang membaca biografi singkat dua senator fiksi negara bagian Oregon. Setelah membaca informasi fiktif tersebut, para peserta diminta untuk menilai kandidat mana yang kemungkinan besar akan mereka pilih.

“Semakin tinggi persepsi pencarian kekuasaan dari target perempuan, semakin kecil kemungkinan partisipan untuk memilihnya. Menariknya, tidak adanya efek paralel terhadap persepsi pencarian kekuasaan terhadap kandidat laki-laki. Ini menunjukkan kesan, pencarian kekuasaan politik hanya merugikan kandidat perempuan.”

Para peneliti mengonfirmasi temuan ini dalam percobaan kedua yang serupa. Mereka menyisipkan paragraf pendek yang menggambarkan kandidat yang memiliki “keinginan kuat untuk berkuasa”. Hasilnya, deskripsi ini meningkatkan preferensi suara untuk kandidat laki-laki tapi menurunkan preferensi suara untuk kandidat  perempuan.

“Perempuan yang mencari kekuasaan dianggap kurang peduli dan sensitif, dan kesan ini diterjemahkan ke dalam reaksi moral-emosional yang negatif,” lapor Okimoto dan Brescoll.

Laporan ini menegaskan pandangan bias masyarakat soal peran tradisional gender. Perempuan dalam masyarakat kita harus bertutur lembut, bertindak pasif atau manut saja, dan urusan mereka sebatas urusan domestik. Tidak lebih. Menjadi ambisus atau agresif bukan perilaku feminin yang diharapkan kepada perempuan.

Lelaki sebaliknya. Sehingga, ketika laki-laki gila kuasa lalu menghalalkan segala cara untuk meraihnya, seperti korupsi bahkan membunuh, itu bakal dianggap sebagai hal biasa. Jika laki-laki menuruti nasihat istri, itu tetap menjadi pilihan, tindakan, dan keputusannya sebagai kepala negara. Sayangnya pemahaman sesederhana ini tak dipahami banyak orang karena terlanjur termakan stigma dan bias gender.

Karena itu, tak heran jika Tempo merilis laporan soal cawe-cawe Iriana Jokowi dalam Pemilu 2024. “Yang buruk telah terjadi: Urusan domestik kini mengancam masa depan demokrasi. Pemilihan umum yang merupakan mekanisme demokratis untuk menyeleksi pemimpin kini dibelokkan menjadi alat untuk meneruskan trah Jokowi,” tulis Tempo. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *