Enam tahun silam ketika memulai Women in Tourism Indonesia, semangat saya sederhana: Menciptakan ruang aman buat perempuan di industri pariwisata. Khususnya untuk mereka yang sering terpinggirkan. Namun, seiring berjalannya waktu, saya sadar punya niat baik saja tak cukup. Untuk menjalankan misi, menjaga keberlanjutan, dan benar-benar memberi dampak, butuh satu hal yang selama ini terasa sulit: Pendanaan.
Saya sering mendengar cerita serupa dari para aktivis muda yang memimpin organisasi kecil di Indonesia. Meski memiliki ide-ide brilian dan strategi inovatif, akses pendanaan tetap menjadi tantangan besar. Birokrasi menjadi tembok nan sulit ditembus. Sementara, organisasi besar atau mapan sering kali lebih mudah menarik perhatian pendonor. Dalam ekosistem pendanaan ini, organisasi lokal atau akar rumput kerap merasa ditinggalkan. Meski ada banyak inisiatif dari donatur besar, sering kali persyaratannya—seperti rekomendasi atau rekam jejak pendanaan—tidak mudah dicapai bagi organisasi yang masih bertumbuh.
Sebuah contoh yang mengesalkan terjadi ketika kami mencoba mengajukan proposal ke pemerintah. Kami bahkan sampai mengetuk pintu dari satu departemen ke departemen lain, secara daring, berharap bisa mengantongi dukungan. Setelah menunggu berbulan-bulan, proposal akhirnya diterima, tetapi alih-alih diberi pendanaan, kami justru diminta mengirim ulang informasi dasar tentang organisasi kami. Rasanya membingungkan—mereka jelas belum meluangkan waktu untuk memahami siapa dan apa yang kami lakukan, dan ini cukup membuat frustrasi.
Tidak jarang, kami juga menemui pihak pemberi dana yang mengharuskan adanya afiliasi dengan lembaga besar. Di negara-negara lain, seperti di Timor Leste, ada teman saya bercerita lebih mudah mendapatkan dukungan, bahkan dari pemerintah. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh fokus dan prioritas setiap wilayah. Namun, di Indonesia, kami sering merasa seperti melewati tantangan ganda: Birokrasi yang lamban dan kriteria yang tidak realistis bagi organisasi kecil.
Masalahnya tidak hanya pada prosedur yang rumit tetapi juga bias-bias struktural yang tampaknya lebih menguntungkan lembaga-lembaga besar yang sudah mapan. Persyaratan seperti laporan keuangan besar dan pengalaman manajemen dana yang banyak, jelas bukan hal yang realistis bagi organisasi perempuan seperti kami.
Tantangan ini mengingatkan saya pada tulisan Yasmina Benslimane, aktivis feminis dari Politics4Her, yang berbagi tentang sulitnya YFO (Young Feminist Organizations) mengakses pendanaan karena struktur pendanaan global yang sering kali tidak inklusif dan justru mempertahankan status quo.
Baca juga: #TadabburRamadan: Kisah Siti Walidah Dahlan Dirikan Organisasi Perempuan Aisyiyah
Kesenjangan dan Tantangan yang Terus Mengadang
Mari kita mulai dengan ironi: Untuk mendapatkan pendanaan, organisasi kecil sering kali diminta menunjukkan rekam jejak yang mengilap. Namun, bagaimana bisa kami punya jejak kalau kesempatan pertama saja tidak pernah diberikan?
Ini seperti minta anak kecil memenangkan maraton sebelum diizinkan ikut kelas lari. Persyaratan seperti “anggaran tahunan yang standar” atau “referensi dari pihak terkemuka” bukan hanya konyol, tapi juga kejam bagi organisasi akar rumput yang bahkan belum pernah mendapat dukungan finansial formal.
Dan begini, jangan kira kami bicara soal segelintir kasus. Dalam Financial Sustainability and Funding Diversification: The Challenge for Indonesian NGOs”, menunjukkan mayoritas NGO kecil di Indonesia tutup buku hanya dalam waktu singkat. Bukan karena mereka malas atau tak berbakat, tapi karena dibiarkan berjuang tanpa alat yang memadai. Sementara itu, dana melimpah yang harusnya bisa menggerakkan perubahan malah jatuh ke tangan nama-nama besar dengan “prestise” panjang, meskipun dampaknya tak selalu nyata di lapangan.
Baca juga: Membangkitkan Gerakan Perempuan Progresif di Arena Politik
Menabrak Batas-batas Kultural dan Struktural
Jangan lupa bias yang begitu menjengkelkan. Seolah-olah organisasi yang dipimpin anak muda, apalagi perempuan muda, adalah eksperimen yang terlalu berisiko untuk didanai. Padahal, kami sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana inisiatif-inisiatif kecil ini memberikan dampak besar langsung ke komunitas. Sayangnya, dampak saja tidak cukup bagi mereka yang lebih mementingkan nama besar ketimbang keberanian kecil yang nyata.
Oh, jangan lupa juga soal birokrasi. Ini ibarat labirin tanpa ujung, dengan pintu-pintu yang hanya bisa dibuka jika Anda punya privilege tertentu. Proses administrasi dan registrasi? Biayanya mahal, waktunya panjang, informasinya tersembunyi entah di mana. Beberapa organisasi kecil bahkan lebih memilih untuk tidak mendaftar secara resmi demi menjaga independensi. Akan tetapi ya, pilihan itu datang dengan konsekuensi: Semakin sulit mengakses bantuan resmi, semakin sempit ruang gerak mereka.
Ada salah satu rekan kami dari Papua bercerita tentang pengorbanannya tinggal di ibu kota hanya demi mendapatkan akses informasi soal pendanaan. Bayangkan, demi tahu prosedur saja harus merantau. Apa kabar organisasi kecil yang bahkan tidak bisa bermimpi meninggalkan daerah mereka? Realitas ini benar-benar memukul. Apa yang disebut sistem pendanaan inklusif ternyata masih seperti mitos.
Baca juga: Terbentur-bentur Lalu Terbentuk: Kisah Perempuan Muda Pejuang Isu Gender
Pentingnya Dukungan yang Lebih Inklusif Bukan Sekadar Dana
Semua hambatan ini pada akhirnya menunjukkan betapa mendesaknya sistem pendanaan yang lebih inklusif bagi organisasi muda. Kami butuh pendanaan yang tidak sekadar memberikan dukungan finansial, tapi juga menyediakan jaringan, pelatihan, dan kesempatan pembinaan. Donor dan pemangku kepentingan perlu memahami bahwa gerakan yang dipimpin oleh kaum muda tidak hanya soal uang, tapi juga dukungan moral dan teknis yang bisa menguatkan semangat kami untuk terus bergerak.
Saya yakin, dengan pendekatan yang tepat, kita bisa menciptakan ekosistem pendanaan yang lebih adil dan mendukung generasi pemimpin perempuan masa depan. Kami bukan hanya pemimpin masa depan; kami adalah generasi yang berjuang hari ini. Kami percaya, jika diberi dukungan yang cukup, gerakan pemberdayaan perempuan muda di Indonesia akan mampu menghadirkan perubahan yang nyata bagi masyarakat. Bukan hanya hal tersebut, tetapi juga soal kepercayaan.
Kami, organisasi muda, tidak hanya butuh pendanaan. Kami butuh pelatihan, mentorship, jaringan. Kami butuh kalian yang duduk di kursi pemerintahan dan menara gading untuk turun sejenak, melihat bahwa kami di akar rumput ini tahu persis apa yang terjadi di lapangan. Kami tahu apa yang dibutuhkan. Kami hanya butuh alat dan ruang untuk melakukannya.
Kalau kalian punya dana CSR yang ingin dibuang, jangan buang ke proyek kepada kerabat dekat. Salurkan pada kami yang benar-benar bekerja di lapangan dan bisa berdampak. Lalu akan ada yang mengeluh “Susah ah! SDM di Indonesia di tingkat akar rumput ga sesuai standar kami..”. Ya justru itu, ajari kami cara menulis proposal itu yang benar melalui edukasi dan mentoring. Ajari kami cara pitching, bagaimana mengakses dana, bagaimana mengelolanya. Kalau memang niat membantu, buatlah pelatihan yang menjangkau kota-kota kecil, kabupaten, bahkan desa-desa. Jangan cuma bicara soal kolaborasi di ruang-ruang konferensi Jakarta.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kepada para pemberi dana, ini saatnya untuk mendengar. Kami bukan sekadar “anak baru.” Kami adalah mereka yang tahu persis apa yang dibutuhkan oleh komunitas yang kami cintai. Namun kami tidak bisa melakukannya sendiri. Kami butuh kalian untuk percaya pada kami, mendukung kami, dan memberikan kami kesempatan.
Lalu kepada sesama organisasi kecil yang merasa terjepit oleh sistem yang tidak adil ini, mari kita bersatu. Kita berbagi tantangan yang sama, jadi kenapa tidak berbagi kekuatan? Mari kita buka ruang kolaborasi, menghimpun suara kita, dan membuktikan bahwa gerakan akar rumput ini lebih dari sekadar pelengkap laporan tahunan donor. Kita adalah perubahan nyata, dan itu tidak bisa diabaikan lagi.