Issues

#TadabburRamadan: Kisah Siti Walidah Dahlan Dirikan Organisasi Perempuan Aisyiyah

Ia lebih dari sekadar istri pejuang Ahmad Dahlan. Jasa Siti Walidah besar dalam membidani kelahiran organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah.

Avatar
  • April 6, 2024
  • 5 min read
  • 1473 Views
#TadabburRamadan: Kisah Siti Walidah Dahlan Dirikan Organisasi Perempuan Aisyiyah

Swargo nunut neroko katut, surga ikut ke neraka terbawa.” 

Pepatah Jawa ini cukup populer dan sering kali digunakan untuk menasihati perempuan agar patuh pada suami. Konon katanya ketika suami masuk surga, otomatis istrinya akan mengekor di belakang. Begitu juga sebaliknya. 

 

 

Namun Nyai Walidah tak sepakat dengan pepatah tersebut. Menurutnya, laki-laki Muslim justru wajib berperan dalam kemajuan Muslimah. Termasuk pula mendukung perluasan akses terhadap pendidikan untuk perempuan. Sebab, hanya dengan pendidikan yang setara, perempuan dan lelaki bisa setara juga di bidang-bidang kehidupan lainnya.  

Baca juga: #TadabburRamadan: Rahmah El Yunusiyah, Pendiri Sekolah Khusus Perempuan Pertama di Masa Penjajahan 

Memberantas Buta Huruf 

Nyai Walidah atau Siti Walidah sendiri adalah salah satu tokoh emansipasi perempuan. Lahir pada 1872, di Kauman, Yogyakarta, Nyai Walidah merupakan putri ulama dan bangsawan dan kesultanan Yogyakarta Kyai Haji Muhammad Fadli. 

Ia tinggal bersama dengan banyak tokoh agama dan keraton. Masalahnya, walaupun berangkat dari latar belakang keluarga terpandang, Walidah tak berkesempatan menempuh pendidikan formal. Saat itu, masyarakat Kauman beranggapan sekolah formal itu haram hukumnya. Terlebih lagi, kebanyakan sekolah didirikan oleh Belanda. 

Pendidikan yang diterima oleh Nyai Walidah hanya berasal dari orang tuanya. Ia banyak diajarkan berbagai hal tentang Islam, belajar bahasa Arab dan Alquran di saat bersamaan. Sejak kanak-kanak, ia cenderung menonjol dibanding teman-temannya dari segi keilmuan, keterampilan bertutur, dan keberanian. 

Pada 1889, tepatnya di usia 17 tahun, Nyai Walidah menikah dengan Muhammad Darwis, nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan. Sejak itulah ia mulai dikenal dengan panggilan Nyai Ahmad Dahlan atau Nyai Walidah Dahlan. 

Dua puluh tahun kemudian, pada 1912, Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi pembaharuan Islam pertama di Yogyakarta bernama Muhammadiyah. Nyai Walidah turun berperan serta dalam kemajuan organisasi tersebut. 

Ketika itu, Kauman yang dikenal sebagai pusat batik banyak kedatangan para buruh dari luar Yogyakarta untuk mengadu nasib. Nyai Walidah melihat hal ini dan menaruh perhatian besar pada buruh perempuan setempat. Ia tergerak mengajari mereka soal ilmu agama, membaca, dan menulis. Ia ingin agar mereka enggak berkecil hati dan menganggap diri sendiri bodoh. 

Kepeduliannya akan buruh, terutama perempuan ditandai juga dengan pendirian perkumpulan pengajian perempuan bernama Sopo Tresno pada 1914. Meski belum berbentuk seperti diharapkan, tapi ini sudah rutin mengadakan pengajian-pengajian membahas ayat Alquran dan hadis. Apalagi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perempuan. 

Baca juga: #TadabburRamadan: Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan Paling Dicari Belanda Se-Sulawesi 

Akhirnya sedikit demi sedikit perempuan di Kauman mulai memahami hak-hak mereka dan ikut menentang kawin paksa. Dari sinilah cikal bakal, Aisyiyah berdiri di kemudian hari. 

Di sebuah rapat yang dihadiri Kyai Haji Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, Fahrudin, dan pengurus Muhammadiyah lainnya, timbul ide mengubah Sopo Tresno menjadi organisasi perempuan Islam yang mapan. Semula diusulkan nama untuk organisasi itu, Fatimah. Namun  disepakati nama lain, yakni Aisyiyah.   

Secara resmi nama tersebut diumumkan sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah pada 22 April 1917. Dipimpin oleh Siti Badriah sementara Nyai Walidah duduk sebagai penasihat. Organisasi ini punya banyak kegiatan yang berupaya memberikan penyadaran bahwa perempuan seharusnya dapat berjuang bersama laki laki.  

Saat Kyai Haji Ahmad Dahlan meninggal pada 1923, semangat dakwah Nyai Walidah tak pernah surut. Ia ingin agar warisan yang ditinggalkan sang suami tetap kekal. Karena itulah, ia juga membesarkan organisasi, membuka asrama, sekolah putri, serta kursus pemberantasan buta huruf bagi perempuan. Beragam aktivitas ini membuat Aisyiyah ikut berkembang pesat. 

Baca juga: #TadabburRamadan: Sinta Nuriyah dan Gagasan Progresifnya Soal Kesetaraan

Kecakapan dalam memimpin organisasi semakin terlihat jelas, ketika pada 1926 Nyai Walidah memimpin kongres Muhammadiyah ke-15 di Kota Surabaya. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin konferensi semacam itu. Sejak itu, Aisyiyah makin melebarkan sayapnya dengan membuka cabang di banyak wilayah di Nusantara. 

Namun perjalanan organisasi ini sempat terhalang di masa kependudukan Jepang. Mereka melarang aktivitas Aisyiyah di Jawa dan Madura. Nyai Walidah tak gentar, ia tetap berjuang agar anak-anak enggak menyembah matahari. 

Perempuan pemberani ini wafat belum genap setahun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Mei 1946. Ia dimakamkan di belakang Masjid Gede Kauman Yogjakarta. Pada 10 November 1971, negara memberikannya gelar pahlawan nasional Indonesia atas perjuangan dan pengabdiannya dalam bidang pendidikan bagi kaum perempuan. 

Apa yang dilakukan Walidah dahlan ini senapas dan sejalan dengan ayat Alquran bahwa laki laki dan perempuan memiliki dua peran kembar. Yang pertama manusia sebagai hamba atau abdun

Hal ini tertuang di dalam quran Surat Al-Dzariyat ayat 56, “Dan kami ciptakan jin dan manusia tiada lain untuk menyembah kepada Allah SWT”. Ayat ini menyebutkan manusia baik laki laki maupun perempuan sesama hamba allah. 

Baca juga: #TadabburRamadan: Kartini Ternyata Jauh Lebih ‘Islami’ dari yang Kita Duga 

Allah secara tegas mengatakan jin dan manusia bukan jin dan laki laki, atau sebaliknya jin dan perempuan. Sehingga, jika salah satu dari keduanya menghamba kepada manusia, tentu ada yang salah dengan akidah seseorang.   

Kedua, peran manusia sebagai khalifah fil ardh atau pemimpin di muka bumi. Hal ini disebutkan dalam quran Surat An-Nahl ayat 97 yang berbunyi, “Barang siapa yang mengerjakan kebajikan baik laki laki maupun perempuan. Sedangkan dia seorang mukmin. Sungguh kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik”. 

Dari kedua ayat tersebut, Alquran mengajarkan kita semua tentang kesetaraan urusan kemanusiaan adalah urusan bersama baik dalam kancah pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, kepemimpinan, politik, dan dakwah atau seruan seperti apa yang sudah dilakukan oleh Nyai Walidah Dahlan.  

Tadabbur Ramadan merupakan produksi Magdalene bekerja sama dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). 



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *