Issues Opini Politics & Society

Saat Kondisi Darurat Sekalipun, Jilbab Lebih Penting Dibandingkan Nyawa?

Perempuan muslim dikondisikan tumbuh dengan meyakini menutup aurat jauh lebih utama dibanding menyelamatkan nyawanya. Video viral korban gempa Turki mengingatkan kita lagi tentang ini.

Avatar
  • February 20, 2023
  • 9 min read
  • 2191 Views
Saat Kondisi Darurat Sekalipun, Jilbab Lebih Penting Dibandingkan Nyawa?

Kamis, 6 Februari lalu, Turki dan Suriah diguncang gempa bermagnitudo 7,5 skala richter. Guncangan ini menyusul diikuti lebih dari 50 gempa susulan, meluluhlantakkan sebagian besar kota. Dikutip dari CNBC Indonesia, setidaknya 34.000 jiwa meninggal dunia.

Baca Juga:Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

 

 

Berbagai dukungan dan bantuan mengalir deras dari berbagai belahan dunia. Perhatian global tertuju pada korban-korban di Turki-Suriah.

Salah satu yang sempat jadi perbincangan ramai adalah sebuah video proses evakuasi  seorang perempuan yang enggan keluar dari puing-puing bangunan pasca gempa. Keenganannya itu hadir bukan tanpa alasan. Saat ingin diselamatkan tim penyelamat, ternyata perempuan itu dalam kondisi yang tidak memakai jilbab.

Beruntung, tim penyelamat sigap mencarikan jilbab untuk mempercepat proses evakuasi. Mereka langsung melemparkan jilbab yang langsung perempuan itu pakai. Baru setelah memakai jilbabnya, perempuan itu dibawa keluar dari puing-puing reruntuhan.

Kegigihan perempuan tersebut untuk tetap menjaga aurat selama proses evakuasi sontak menarik perhatian dunia. Video tersebut diunggah berulang kali kali di Twitter, Instagram, juga Tiktok dan dituliskan dalam berbagai media. Buat sebagian orang yang melihat jilbab sebagai bentuk opresi terhadap perempuan Muslim, kejadian ini menguatkan persepsi mereka tentang ajaran agama yang mengekang perempuan Muslim dan memberikan kesadaran semu tentang pilihan berpakaian.

Sebaliknya, buat sebagian masyarakat Muslim, kejadian ini justru jadi refleksi atas keimanan mereka. Dalam berbagai komentar dan cuitan di Twitter misalnya, video ini selalu disusul dengan decak kagum. Meski di tengah bencana yang membahayakan nyawa sekalipun, perempuan itu masih berusaha menutup auratnya sesuai dengan perintah agama. Kegigihannya mencerminkan level taqwa yang ia punya.

Aurat Lebih Penting Dari Nyawa

Polarisasi respons warganet memang jadi hal yang tak bisa dihindarkan. Namun, terlepas dari semua komentar yang sangat terpolarisasi, video tersebut mengundang cukup banyak perempuan muslim berbagi pengalaman mereka sendiri atau keluarga mereka tentang tendensi perempuan Muslimah untuk menutup auratnya dalam keadaan darurat.

Perbincangan ini saya amati di Twitter. Berawal dari akun seorang perempuan asal Turki dengan username @yurasvoid Kamis lalu (9/2). Dalam cuitantersebut, ia menuliskan bagaimana di Turki para perempuan lebih cenderung lambat menyelamatkan dirinya sendiri dalam keadaan darurat. Mereka tidak buru-buru meninggalkan rumah jika terjadi bencana, karena respons pertama yang mereka lakukan adalah menutupi diri mereka dahulu sebelum berlari keluar.

“Beberapa bahkan tidak mau berteriak minta tolong walau dalam keadaan terhimpit bawah reruntuhan karena mereka tidak cukup berpakaian sopan. Hal ini terjadi dan telah dialami berkali-kali banyak perempuan,” lanjutnya dalam cuitan tersebut.

Baca Juga:Berjilbab atau Tidak Tetap Hadapi Stigma

Buat beberapa orang terutama laki-laki, cuitan ini mendapatkan serangan balik. Mereka berdalih cuitan @yurasvoid bermuatan kebencian, tetapi hal ini tidak berlaku bagi beberapa perempuan Muslim yang langsung membalas cuitan tersebut dengan kasus serupa.

Dalam tangkapan layar saya, beberapa perempuan muslim dengan akun @dosthoevskyy dan @ZardaHexx misalnya ,mengatakan ketika gempa terjadi di wilayah mereka, respons pertama mereka bukanlah untuk menyelamatkan diri, keluar rumah, atau bangunan apartemen secepatnya.

Kebalikannya, hal paling pertama yang mereka lakukan saat gempa adalah buru-buru mencari dupatta (kain penutup kepala dan bahu) sebagai hijab. Barulah setelah mereka memakai dupatta mereka berlari ke keluar rumah atau ke titik aman.

Kesadaran untuk memakai hijab sebelum menyelamatkan diri sayangnya juga terjadi pada saya. Beberapa tahun lalu saat Jabodetabek pernah dilanda gempa dengan getaran cukup besar, saya yang sedang duduk di sofa keluarga langsung berteriak dan berlari keluar rumah. Namun, belum sampai depan pagar, Papa saya yang kebetulan sudah sampai duluan di teras rumah justru meneriaki saya untuk kembali ke dalam.

Ternyata saat berlari keluar saya tak memakai jilbab. Tapi karena sudah terlanjur panik, saya tanpa pikir panjang masuk lagi ke dalam rumah mencari jilbab. Setelah berhasil memakai jilbab, saya baru lari keluar menyelamatkan diri.

Kejadian itu tanpa saya sadari berbekas di alam bawah sadar. Kini setiap ada gempa yang terasa sampai Depok, respons pertama saya tidak lagi berlari keluar menyelamatkan diri. Saya justru lebih panik mencari jilbab saya terlebih dahulu dibandingkan berlari secepatnya keluar rumah.

Apa yang dialami oleh beberapa perempuan Muslim dan saya sendiri inilah yang disebut dengan pengkondisian. Perempuan Muslim selama bertahun-tahun tak sadar telah dipaksa untuk selalu menutup auratnya, bahkan di tengah kondisi darurat sekalipun. Baik kondisi kedaruratan medis maupun kondisi darurat bencana atau konflik.

Hal ini tentu berdampak kuat pada pembentukan pola pikir bawah sadar yang menggarisbawahi tentang prioritas menutupi aurat. Dengan pola pikir ini, banyak dari masyarakat muslim, baik perempuan atau laki-laki secara tidak sadar lebih memosisikan cara berpakaian perempuan yang menutup aurat lebih penting dibandingkan dengan keselamatan jiwa perempuan itu sendiri.

Pengkondisian ini bukan suatu hal yang perlu diglorifikasi, apalagi sampai membawa narasi tentang kesempatan perempuan untuk bisa mati syahid (hal yang saya juga sempat temui dalam beberapa komentar warganet Muslim luar). Hal ini karena glorifikasi menutup aurat pernah menelan korban jiwa.

Pada 11 Maret 2002, dunia sempat dihebohkan dengan kebakaran besar sekolah khusus perempuan di Mekkah, Saudi Arabia. Setidaknya ada 15 remaja perempuan yang meninggal dan lebih dari 50 orang terluka parah hingga ringan. Banyaknya korban yang berjatuhan pun menimbulkan tanda tanya besar bagi publik kala itu.

Menurut laporan Human Rights Watch, beberapa saksi mata termasuk petugas pertahanan sipil, melaporkan bahwa beberapa anggota Komite Promosi Kebajikan dan Pencegahan Keburukan (Mutawwa’in, dalam bahasa Arab) mengganggu upaya penyelamatan para siswi.

Mereka mencegah para siswi untuk meninggalkan gedung yang sudah terbakar dan menghalangi petugas layanan darurat menyelamatkan mereka hanya karena para siswi yang melarikan diri tidak mengenakan pakaian sopan yang diwajibkan (jubah hitam panjang dan penutup kepala) untuk anak perempuan dan perempuan Arab Saudi.

Arab News mengutip laporan Departemen Pertahanan Sipil Mekkah lebih lanjut menuliskan para Mutawwa’in berada di gerbang utama sekolah dan dengan sengaja menghalangi upaya untuk mengevakuasi para siswi. Hal yang mengakibatkan bertambahnya jumlah korban jiwa.

“Kami mengatakan kepada mereka bahwa situasinya berbahaya dan ini bukan waktunya untuk membahas masalah agama, tetapi mereka menolak dan mulai meneriaki kami,” kata petugas Pertahanan Sipil yang dikutip oleh Arab News.

“Setiap kali remaja perempuan keluar melalui gerbang utama, orang-orang ini memaksa mereka untuk kembali melalui gerbang lain. Alih-alih mengulurkan tangan untuk membantu, mereka malah menggunakan tangan mereka untuk memukuli kami,” lanjut petugas Pertahanan Sipil lainnya.

Tak hanya dihalang-halangi mengevakuasi korban, petugas juga mengatakan bahwa mereka melihat tiga Mutawwa’in memukuli anak-anak perempuan yang berhasil dievakuasi dari sekolah tanpa pakaian “layak”. Bahkan wartawan Saudi mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa para Mutawwa’in di tempat kejadian juga mengusir para orang tua dan warga yang datang untuk membantu.

Nyawa Perempuan Lebih Penting dari Auratnya

Melihat pengkondisian perempuan Muslim dan glorifikasi terhadap penutupan aurat mereka, tentu membuat kita jadi bertanya-tanya. Benarkah agama Islam, agama yang membawa pesan rahmatan lil alamin justru memandang nyawa perempuan tidak lebih berharga dari aurat mereka? Ternyata setelah melakukan pencarian terhadap fatwa keagamaan maupun tafsir yang dibantu teman yang seorang ustazah, saya akhirnya menemukan jawabannya.

Dalam penelitian yang ditertibkan dalam jurnal kajian Islam, ‪Rayah Al-Islam, pada 2020 dituliskan terlepas dari beragam tafsiran tentang batasan aurat perempuan sesuai dengan mahzab yang ada, sifat keauratan perempuan dibagi menjadi dua: ‘aurat ‘arīdī dan ‘aurat zātī. Sifat keauratan aurat ‘arīdī mengacu pada ketentuan bagi perempuan Muslim untuk menutup aurat di keadaan biasa. Sedangkan sifat keauratan yang tidak tergantung pada keadaan disebut ‘aurat zātī.

Baca Juga: Larangan Berjilbab India, Bukti Tubuh Perempuan Masih Terjajah

Karena itu, sebagaimana dipahami dari Q.S. al-Nūr ayat 31, ‘aurat ‘arīdī dapat saja dilihat oleh pelayan laki-laki yang tidak punya syahwat dan anak-anak yang belum mengerti tentang ‘aurat perempuan. Meskipun mereka laki-laki lain (bukan mahram) dan perempuan tidak dalam keadaan darurat.

Namun jika dalam keadaan darurat, semua ‘aurat baik zātī maupun ‘arīdī dapat saja diperlihatkan. Hal ini karena menurut Abū Zahrah, ahli hukum Islam dari Mesir, menutup aurat jika dipandang dari uṣul fiqh, dikategorikan dalam jenis kewajiban sekunder (wajib lighayrih), bukan kewajiban primer (wajib li zātī). Sehingga jika perempuan dalam kondisi kesulitan atau dalam keadaan darurat, maka kewajiban menutup aurat dapat gugur.

Penekanan terhadap gugurnya kewajiban menutup aurat pun juga disampaikan lewat penelitian Moh. Nailul Muna dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan fatwa ulama Mesir pada 2017. Lewat penelitian tentang tafsir kritis al-Ahzāb ayat 53, Nailul Muna mengutip pernyataan ahli tafsir Al-Jashash bahwa diksi perempuan adalah aurat, perempuan hendaknya menutup aurat mereka (secara fisik maupun dalam bentuk apa pun).

Mereka tidak diperbolehkan untuk membukanya kecuali dengan kondisi tertentu. Dalam hal ini mengacu pada keadaan darurat yang memaksa atau memosisikan mereka harus melepasnya. Ia mencontohkan misalnya ketika perempuan harus menjalani pengobatan atas penyakit.

Tetapi ada juga ulama yang punya memiliki pendapat berbeda. Pendapat ini hadir oleh para ulama yang menelusuri teks sejarah Islam tentang Siti Aisyah yang memimpin perang. Dalam kondisinya itu Siti Aisyah memperlihatkan anggota tubuhnya. Sehingga ada kesimpulan yang diambil bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat tidak didasarkan pada eksplisit dari teks, tetapi lebih pada pemahaman logika dan tradisi yang juga tidak terlepas dari pemahaman para pemahaman para ulama pada masa itu.

Sedangkan untuk Fatwa Mesir, Darul Ifta al-Mishriyyah yang ditulis oleh Bincang Muslimah dan dikutip langsung dari kanal resminya dengan nomor Fatwa 4050 ditetapkan bahwa dalam kondisi kedaruratan atau kesulitan tertentu, diperbolehkan bagi perempuan untuk melepas hijabnya.

Fatwa ulama Mesir ini muncul dari pertanyaan seorang dosen perempuan Muslim yang mengajar di negara mayoritas non-muslim. Ia mendapat ancaman dan intimidasi di tempatnya mengajar. Lalu ia bertanya tentang kebolehan melepas jilbab pada kondisi ini. Dalam menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut, fatwa ulama Mesir menjabarkannya dalam dua poin.

Pertama, jika intimidasi tersebut bersifat verbal dan masih bisa dihadapi dengan respon berupa sikap diam atau perbuatan sopan, maka melepas jilbab tidaklah diperbolehkan. Hal ini karena intimidasi yang ada dinilai belum belum sampai tahapan darurat.

Kedua, jika intimidasi yang didapatkan sampai melukai tubuh, mengancam nyawa, atau terancam penghidupannya (kehilangan pekerjaan) sedangkan ia belum menemukan profesi atau pekerjaan lain, maka sementara ia boleh melepas jilbabnya.

Dengan pembolehan sementara perempuan tidak mengenakan jilbabnya sampai keadaan memungkinkan baginya untuk mengenakan jilbab, maka Fatwa ini menekankan tentang pentingnya nyawa dan penghidupan perempuan dibandingkan dengan aurat mereka. Pada akhirnya, lewat tafsir dan fatwa di atas pengkondisian perempuan untuk selalu menutup aurat dalam kondisi kedaruratan apapun justru bisa dikatakan tidak sesuai dengan nafas ajaran Islam. Nafas ajaran yang sesungguhnya justru menekankan kedamaian dan memberikan rahmat pada semuanya lewat rahmatan lil alamin.Sudah cukup perempuan harus mempertaruhkan nyawanya demi sehelai kain penutup kepala. Karena tak ada sehelai kain penutup kepala yang lebih berharga dari nyawa manusia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *