December 5, 2025
Environment Issues

Kasus Juliana Marins dan Rapor Merah Keselamatan Pendakian Rinjani 

Meninggalnya Juliana Marins adalah alarm yang mengingatkan ada sistem keselamatan pendakian yang membuat perempuan masih rentan.

  • July 8, 2025
  • 7 min read
  • 1443 Views
Kasus Juliana Marins dan Rapor Merah Keselamatan Pendakian Rinjani 

Pendaki profesional Satya Winnie, 33 sedih kala mendengar kabar tentang Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang kecelakaan di Gunung Rinjani. Saat membuka akun Instagram Juliana, perempuan yang menggemari olahraga ekstrem itu bak melihat bayangan dirinya di usia 18-20 tahun. Momen ketika hobi dan pekerjaannya adalah keliling dunia sebagai solo traveller.  

“Aku juga di posisi dia dulu, kemana-mana harus cari teman, biasanya dari hostel, kenalan. Tapi, di kasus Juliana, malangnya ia kecelakaan,” ujarnya pada Magdalene (1/7).  

Melansir Tempo, Juliana dilaporkan terjatuh pada (21/6) sekitar pukul 06.30 WITA saat mendaki Gunung Rinjani melalui jalur Sembalun bersama lima pendaki lainnya. Ia tak kunjung menyusul ketika teman-temannya melanjutkan perjalanan menuju puncak. Pemandu yang mendampinginya, Ali Mustofa lantas kembali ke titik terakhir tempatnya beristirahat, tapi ia sudah tak ditemukan.  

Pencarian pun dilakukan Ali tak lama setelah melihat kilatan cahaya senter di dasar tebing yang diduga milik Juliana. Sayang, medan yang curam dan cuaca yang berkabut pekat membuat proses pencarian tak membuahkan hasil hingga malam hari, seperti ditunjukkan video dari akun Instagram @rinjaniindonesia, (5/7). Jenazah Juliana sendiri baru berhasil dievakuasi empat hari berselang, atau pada (25/6).  

Hasil otopsi yang dilaporkan Kompas menyebut Juliana meninggal akibat benturan keras, dan diperkirakan wafat sekitar 20 menit setelah cedera. Sementara, Satya menduga Juliana mengalami hipotermia saat duduk sendirian di jalur tanpa shelter atau pohon untuk bersandar. 

“Ketika kondisi badan kita dingin banget dan enggak ada teman di sebelah buat ngobrol atau at least pelukan, ya, to keep your body warm, yaa… hilang,” kata perempuan yang sudah puluhan kali naik Rinjani itu. 

Baca Juga: Yang Kita Pelajari dari Nenengisme dan Revolusi Lingkungan Ala Ibu Petani 

Rapor Merah 1: Buddy System Tak Berjalan 

Nah, andai saja Juliana waktu itu ada temannya, ya bisa kita hindarkanlah itu kecelakaannya,” kata Satya. Sayangnya, buddy system—salah satu prinsip dasar keselamatan pendakian—tidak berjalan dalam kasus ini. 

Masalah ini, menurut Rahman Mukhlis, Ketua Umum Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI), berakar pada rasio pemandu yang tidak ideal. “Kemarin itu satu guide mendampingi enam peserta. Itu perlu ditambah,” jelas Rahman kepada Magdalene (2/7).  

Menurut Rahman, dalam kondisi pendakian yang ekstrem, satu pemandu sebaiknya hanya mendampingi lima pendaki, dibantu dua asisten guide. Ketika Juliana terpisah dari rombongan dan rekannya tetap melanjutkan perjalanan, tidak ada satu pun yang bertanggung jawab untuk memastikan keamanannya.  

“Jadi kalau di gunung, kita tidak boleh meninggalkan anggota atau teman pendakian sendirian,” tegasnya. 

Rasio ini bukan hanya tentang jumlah, tetapi juga untuk memastikan fungsi pengawasan berjalan. Tugas pemandu tidak hanya memimpin jalan, tetapi juga memantau kondisi fisik dan mental pendaki secara menyeluruh.  

Menurut Satya, kalau pun pemandu hanya ada satu, tim harus membuat kesepakatan. “All of us go, or nobody reach the summit,” ujarnya. Namun ia menduga, kesepakatan semacam itu tidak terjadi.  

Dalam hal ini, kualifikasi pemandu menjadi penting untuk disoroti. Menurut Satya, pemandu yang sudah tersertifikasi umumnya paham kalau meninggalkan peserta adalah pelanggaran terhadap SOP.  

Dalam wawancara dengan Magdalene, APGI mengonfirmasi kalau pemandu Juliana belum tergabung dalam keanggotaan organisasi tersebut. Kenyataan kalau pemandu belum mengantongi sertifikat dari APGI merupakan masalah umum di Rinjani. Berdasarkan keterangan Yarman, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, pada Kompas, dari 661 pemandu di Rinjani, hanya sekitar 50 persen yang memiliki lisensi.  

Kondisi ini tak sejalan dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 13 Tahun 2015 yang mewajibkan jasa pramuwisata memiliki sertifikat sesuai ketentuan dan syarat yang berlaku. Dalam konteks medan ekstrem seperti Rinjani, hal ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi celah serius yang membahayakan nyawa. Ketika pemandu yang belum tersertifikasi dibiarkan beroperasi tanpa pendampingan atau pelatihan memadai, bukan mustahil kecelakaan serupa akan terus berulang. 

Namun, menyalahkan sepenuhnya individu pemandu tak bersertifikat juga enggak adil. Ketidakterjangkauan sertifikasi, lemahnya pengawasan, dan kurangnya intervensi negara menjadi faktor penting. Terlebih biaya sertifikasi APGI perorangan memakan ongkos tak sedikit, yakni Rp1,5 juta per 2018, melansir dari Detik. Angka ini belum termasuk sertifikasi ulang untuk anggota APGI yang masa berlaku sertifikatnya telah lewat satu tahun. 

Baca Juga: Perempuan di Tengah Rezim Ekstraktif: Pemimpin Perlawanan untuk Lingkungan 

Rapor Merah 2: Sistem Komunikasi Darurat dan Fasilitas Pendukung Keselamatan 

Menurut Satya, salah satu aspek yang perlu dievaluasi dari peristiwa ini adalah keterbatasan sistem komunikasi darurat di jalur pendakian. Ia membandingkan dengan jalur pendakian di luar negeri yang sudah dilengkapi kotak telepon tahan cuaca yang terhubung langsung ke nomor penyelamatan.  

Dengan adanya sistem tersebut, proses pelaporan dan penanganan situasi darurat dapat berjalan lebih cepat dan efektif. Teknologi serupa pun bisa diadopsi di Indonesia untuk mempercepat respons darurat.  

Rahman juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, fasilitas keselamatan di jalur pendakian Rinjani masih perlu ditingkatkan. Emergency shelter di Plawangan Sembalun memang sudah tersedia, tapi belum dilengkapi perlengkapan SAR dan P3K yang memadai.  

Rahman juga menekankan perlunya papan informasi di jalur tebing, peningkatan perangkat komunikasi di setiap pos, serta penempatan petugas patroli dan tim medis yang siaga di area gunung, terutama selama musim ramai. Namun, Satya menyoroti kalau pemasangan pengaman fisik seperti tali atau pagar di jalur menuju puncak Rinjani hampir mustahil dilakukan, mengingat struktur tanah yang berpasir dan rawan longsor.  

Dari penjelasan Satya dan Rahman, dapat ditarik kesimpulan kalau kesiapan infrastruktur darurat yang memadai bukan hanya pelengkap, melainkan kunci dalam sistem keselamatan dan keamanan pendaki. 

Indonesia bisa meniru Taman Nasional Gunung Kinabalu di Malaysia yang sudah punya sistem keselamatan pendakian lebih lengkap. Mengutip Kompas, jalur pendakian di sana dipasang tangga dan tali pengaman di titik-titik yang rawan, plus hanya pemandu bersertifikat resmi yang boleh dampingi pendaki. Bahkan, mereka juga punya helipad di beberapa titik strategis supaya evakuasi bisa lebih cepat kalau terjadi keadaan darurat. 

Kalau model seperti ini diterapkan di gunung-gunung Indonesia, termasuk Rinjani, tentu pendakian jadi lebih aman. 

Rapor Merah 3: Komunikasi Publik di Tengah Krisis 

Di balik lemahnya fasilitas pendukung keselamatan, ada persoalan lain yang tak kalah krusial, yakni komunikasi publik yang gagal menjawab kebutuhan informasi. Ketika komunikasi resmi tak berjalan, ruang publik diisi oleh spekulasi dan kebingungan.   

Hal ini tak luput dari sorotan Satya. Ia menyayangkan tidak adanya satu corong informasi resmi yang bisa diandalkan publik selama proses evakuasi Juliana berlangsung. Publik justru bergantung pada siaran langsung Instagram milik relawan senior, seperti Agam Rinjani dan Tyo Survival. Ia berharap, instansi-instansi seperti Kementerian Kominfo, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, dan Kementerian Pariwisata bisa tampil lebih aktif dalam memberikan update informasi. 

Baca Juga: Dari Banjir ke Banjir: Kenapa Kita Masih Gagap Hadapi Bencana? 

Ironi Rinjani: Sumbang Profit Miliaran tapi Keselamatan Pendaki (Perempuan) Masih Rentan 

Johan Rasihan, Anggota Komisi IV DPR RI bilang kepada Detik, kematian Juliana Marins bukan hanya tragedi kemanusiaan, tapi juga alarm keras atas rapuhnya sistem keselamatan di kawasan konservasi Indonesia. Hal ini menjadi ironi jika melihat fakta Rinjani menyumbang pendapatan negara dalam jumlah yang tidak kecil. Melansir Detik, Sepanjang 2024, Rinjani tercatat menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp22,5 miliar. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu penyumbang PNBP tertinggi dari sektor taman nasional. 

Menurut Johan, besarnya kontribusi ini belum diimbangi oleh investasi negara dalam infrastruktur keselamatan. Minimnya sarana evakuasi, perangkat komunikasi darurat, hingga sistem pendukung di jalur ekstrem seperti Plawangan mengindikasikan kalau keselamatan belum menjadi prioritas utama dalam pengelolaan kawasan. 

Padahal, dalam konteks ekowisata, keselamatan bukan hanya menyangkut nyawa manusia, tetapi juga menyangkut keberlanjutan destinasi itu sendiri. Riset dari Muntasib dan rekan-rekannya pada 2019 menunjukkan, kecelakaan fatal yang terjadi di gunung dapat membentuk ingatan buruk dalam benak pengunjung dan merusak citra kawasan.  

Dalam artikel berjudul “Hazard anagement in Tourism: A ase tudy of he Senaru-Sembalun Hiking Trail, Mount Rinjani National Park, Indonesia,” mereka menunjukkan keterkaitan antara persepsi keselamatan dan keputusan wisatawan untuk kembali ke destinasi tersebut.  

Lebih jauh, tragedi ini turut menggarisbawahi kerentanan pendaki perempuan yang sering luput dari sistem perencanaan keselamatan. Meski jumlah pendaki perempuan relatif meningkat, risiko spesifik yang mereka hadapi, seperti pelecehan, eksploitasi, hingga terbatasnya akses bantuan saat mendaki sendiri, belum terakomodasi dalam kebijakan. 

Bahkan menurut pengamatan Magdalene, hingga kini, belum ada regulasi yang mewajibkan pelatihan sensitif gender bagi pemandu maupun petugas lapangan. Sistem pendakian masih dibentuk oleh asumsi maskulin: Tangguh secara fisik, minim kebutuhan spesifik, dan mampu bertahan sendiri dalam kondisi ekstrem. Dalam situasi darurat, narasi ini kerap berujung pada stigmatisasi pendaki perempuan sebagai “lemah” atau “tidak siap”, alih-alih menelaah akar struktural yang membuat mereka lebih rentan. 

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.