Issues

Jurnalis Diminta Berempati pada Penyintas Kekerasan Seksual

Para jurnalis diminta berempati pada penyintas dan membuat berita yang berperspektif korban dalam kasus kekerasan seksual.

Avatar
  • March 1, 2021
  • 4 min read
  • 1002 Views
Jurnalis Diminta Berempati pada Penyintas Kekerasan Seksual

Media online sering dikritik ketika menggunakan judul “sensasional” saat memberitakan kasus kekerasan seksual, yang menunjukkan masih minimnya pemahaman media dalam menulis berita berperspektif korban.

Dosen jurnalistik dari Universitas Gadjah Mada, Gilang Desti Parahita mengatakan, dalam judul yang bersifat sensasional dan generik tersebut korban diposisikan sebagai objek dan pelaku kekerasan sebagai subjek.

 

 

“Dalam berita soal kekerasan, individu yang mengalami penindasan selalu diperlakukan sebagai objek atau barang yang tidak berharga. Sementara pelaku sebagai subjek yang melakukan kekerasan pada objeknya,” ujar Gilang dalam diskusi daring “Pers dan Aspirasi Keadilan Korban Kekerasan Seksual” (23/2).

Diskusi tersebut diinisiasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Jaringan Masyarakat Sipil untuk membahas cara media memberitakan kasus kekerasan dalam semangat mendukung Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Gilang mencontohkan, ada sebuah berita berjudul “Diperkosa 25 Orang, Begini Pengakuan Gadis Cantik Ini”, yang diunggah media online nasional 2019 silam.

“Kata ‘pengakuan’ tidak sepantasnya digunakan karena pengakuan seharusnya dilakukan pelaku. Sementara korban memberikan kesaksian atas kekerasan yang dialaminya. Selain itu, penggunaan kata ‘cantik’ juga memperpanjang pendapat bahwa orang yang berparas cantik pantas mendapatkan perlakuan apa pun,” ujarnya.

“Berita seperti ini membuat penyintas berada di pihak yang semakin dirundung,” ia menambahkan.

Baca juga: Riset: Pemahaman Jurnalis Atas Isu Kekerasan Seksual Sangat Minim

Cara Memberitakan Kekerasan Seksual

Wenseslaus Manggut, Ketua Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI), mengatakan media daring seharusnya menjelaskan secara rinci sebuah kasus kekerasan seksual agar masyarakat paham ada relasi kuasa di dalamnya, bukan suka sama suka.

“Jadi semakin rinci semakin kuat rasa empatinya. Tapi menggali detail sama dengan mewawancarai korban atau keluarganya. Itu juga bermasalah karena menimbulkan tekanan psikis untuk korban,” kata Wenseslaus yang juga Chief Content Officer Kapanlagi Youniverse. 

Gilang mengatakan yang penting adalah menekankan pelaku sebagai pembuat kejahatan, sehingga rasa empati yang dimiliki jurnalis kepada penyintas adalah hal yang paling penting dibanding objektivitas berita. Ia mengatakan berita memang dituntut untuk berimbang dan independen, tapi dalam pengertian peristiwa dilihat dari berbagai sudut pandang dan jurnalis tersebut tidak dibayar terkait berita tersebut.

Prinsip utama jurnalisme bersandar pada hati nurani, bahwa tidak bisa membiarkan ketika penyintas putus asa dan ingin menyampaikan apa yang dialami karena menganggap media sebagai jalan terakhir. Akan celaka jika korban berhadapan dengan jurnalis yang tidak paham cara berempati,” ujar Gilang.  

Baca juga: Pro dan Kontra Pemberitaan Kekerasan Seksual

Reviktimisasi Korban Kekerasan Seksual Lewat Berita

Tuani Sondang Rejeki Marpaung, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengatakan media mampu mendorong adanya efek jera yang pantas secara hukum bagi pelaku lewat berita yang tidak mengeksploitasi korban, tetapi melaporkan ketimpangan hukum yang merugikan pihak korban. Namun, di saat bersamaan pemberitaan yang membongkar identitas penyintas yang seharusnya dirahasiakan mampu melakukan reviktimisasi atau bagaimana penyintas menjadi korban lagi.

“Ada media yang tidak memiliki perspektif dan memuat identitas korban. Meski diberi inisial, biasanya alamat korban dicantumkan. Ini berdampak bagi kondisi psikologis. Apalagi jika kasus ini diangkat ke media sosial, jejak digitalnya ada seumur hidup,” ujar Tuani.

Gilang juga mengatakan reviktimisasi korban juga terjadi ketika warganet melakukan perundungan kepada korban lewat kolom komentar portal berita. Ia mengusulkan agar media melakukan moderasi komentar agar hal yang tidak diinginkan itu bisa dicegah.

“Ini tanggung jawab media, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika diabaikan berarti media tersebut tidak memiliki komitmen perlindungan dan pemenuhan keadilan korban,” ujarnya.

Ia menambahkan, kritik terhadap media tidak cukup untuk mendorong perubahan karena harus dibarengi refleksi akan kentalnya budaya pemerkosaan dan norma heteronormatif di masyarakat.

“Media mencerminkan norma yang diyakini masyarakat. Jadi ketika ingin mengubah media kita harus mengubah perspektif tidak adil di pikiran kita,” ujarnya. 

Melihat banyaknya kerentanan yang dimiliki korban, Tuani menekankan pentingnya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai aturan yang melindungi dan mengatur pemulihan korban. Selain itu, RUU PKS juga mengatur rehabilitasi untuk pelaku karena kekerasan seksual yang dilakukannya terjadi karena cara berpikirnya, bukan karena pakaian maupun cara berbicara korban, tambahnya.

“Semangat RUU PKS untuk menjawab semua kebutuhan korban kekerasan seksual. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak ada yang mengatur hak korban. Ada keterbatasan hukum yang menyebabkan korban tidak merasa aman karena belum ada kebijakan yang memandatkan penanganan dan pemulihan korban,” ujar Tuani.

Baca juga: Tips Jadi Pendamping Korban Kekerasan Seksual



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *