Justina Miles di Super Bowl: Bukan Penerjemah Bahasa Isyarat tapi ‘Performer’ Tuli
Aksi panggung Justina Miles di ‘halftime show’ Super Bowl 2023 memukau penonton sedunia. Ia adalah ‘performer’ Tuli perempuan pertama yang tampil di pertunjukan itu.
Justina Miles, 20, membuat sejarah pada (12/2) di acara paruh waktu Super Bowl 2023. Ia jadi Performer Tuli pertama yang tampil di perhelatan olahraga bergengsi Amerika Serikat tersebut. Dalam surel kepada CNBC Make It, Miles menggambarkan momen bersejarah ini sebagai “sebuah kehormatan besar.”
Tak hanya berhasil memberikan penampilan memukau lewat lagu “Lift Every Voice and Sing,” yang dinyanyikan oleh aktris peraih penghargaan Emmy, Sheryl Lee Ralp. Miles juga tampil energik selama 13 menit dengan membawakan lagu-lagu hits Rihanna, seperti “B—- Better Have My Money”, “Work”, “Umbrella”, dan “Diamonds”. Semuanya ia bawakan dengan menggunakan bahasa isyarat Amerika atau dikenal dengan ASL (American Sign Language).
Penampilan Miles membawakan lagu-lagu Rihanna dengan ASL membuat namanya viral di media sosial. Videonya tersebar dan diunggah berulang kali di berbagai media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan TikTok.
Baca Juga: Kisah Caca, Pekerja Seks Tuli yang Berperang Lawan HIV di Tubuhnya
Beda Penerjemah Bahasa Isyarat dan Performer Tuli
Di tengah viralnya Miles, ada kesalahpahaman dari orang-orang media dan media sosial. Miles masih banyak disebut sebagai Penerjemah Bahasa Isyarat. Padahal dalam budaya Tuli, penampilan Miles di Super Bowl bukan sekadar menerjemahkan lagu dalam bahasa isyarat. Lebih tepatnya, ia merupakan Deaf Performer atau Performer Tuli.
Miskonsepsi ini menurut Mary Therese, pendiri Deaf ARMY Education muncul karena orang yang dapat mendengar (orang dengar) tidak dapat membedakan antara Penerjemah Bahasa Isyarat dan Performer Tuli. Keduanya terlihat sama-sama menerjemahkan lirik lagu.
Lalu apa, sih, yang membedakan antara Penerjemah Bahasa Isyarat dan Performer Tuli?
Mary Therese kepada Magdalene menjelaskan, Penerjemah Bahasa Isyarat hanya menerjemahkan kata demi kata. Mereka tak harus menekankan pada bahasa tubuh seperti gestur dan ekspresi wajah dalam menerjemahkan sesuatu. Ini berkebalikan dengan Performer Tuli yang penampilannya sangat kental dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah, seperti akting atau pantomim.
Senada, Jennifer Natalie, content creator Tuli yang juga Performer Tuli menjelaskan, karena Penerjemah Bahasa Isyarat hanya menerjemahkan kata demi kata, merekalah yang berperan menerjemahkan bahasa lisan ke bahasa isyarat. Mereka adalah orang dengar. Sementara, Performer Tuli adalah orang Tuli yang memainkan peran/ akting di film atau teater dan memperagakan lagu melalui bahasa isyarat, gestur, dan ekspresi.
Intan Adelia, pendiri Pop Joy Sign, komunitas Tuli yang bergerak di bidang seni menambahkan, Performer Tuli punya peran penting dalam menyampaikan narasi yang biasanya tertulis atau hanya bisa diakses oleh orang dengar, sehingga jadi lebih ekspresif. Sebaliknya, Penerjemah Bahasa Isyarat hanya membantu menerjemahkan bahasa isyarat di saat acara, webinar, atau rapat.
Saat tampil, biasanya Performer Tuli membutuhkan waktu untuk berlatih. Dikutip dari laman Deaf Umbrella, Justina Miles misalnya, membutuhkan waktu berjam-jam berlatih untuk bisa memberikan penampilan terbaik di Super Bowl. Selain itu, menurut keterangan Jane, selain berlatih keras, Penerjemah Bahasa Isyarat juga punya peran penting dalam membantu Performer Tuli saat tampil.
“Saat perform, JBI (Juru Bahasa Isyarat) juga membantu ekspresi karena JBI bisa mendengar suara nada (contoh: sedih senang marah). JBI memakai ekspresi agar Performer Tuli bisa mengikuti,” ucap Jane kepada Magdalene.
Hal yang sama juga dialami oleh Rezza Zimmah, Performer Tuli dari Pop Joy Sign yang sudah berkarier selama tujuh tahun. Ia bilang pada Magdalene, Performer Tuli yang masih bisa mendengar sedikit, bisa terbantu menggunakan airpods, suara getaran, atau aba-aba JBI.
Baca Juga: Perempuan Pekerja Penyandang Disabilitas Hadapi Hambatan Berlapis
Sudah Ada Sejak Lama
Performer Tuli telah ada sepanjang sejarah, meskipun hanya ada sedikit dokumentasi tentang mereka sebelum abad ke-19. Dalam The SAGE Deaf Studies Encyclopedia (2017), Amerika sebagai negara yang punya budaya Tuli cukup kuat mencatat, catatan paling awal tentang Performer Tuli dalam pertunjukan di 1884. Tepatnya berupa drama mahasiswa di National Deaf-Mute College (sekarang Universitas Gallaudet).
Di perguruan tinggi tersebut, para Performer Tuli tanpa pelatihan formal mementaskan pantomim, melodrama, lelucon, vaudeville (pentas komedi dengan musik), dan adaptasi lain dari karya-karya terkenal. Di Amerika Serikat sendiri, tutur Mary Therese, penampilan Performer Tuli di acara olahraga, seperti Super Bowl Football sudah ada sejak 1993. Mereka umumnya membawakan Lagu Kebangsaan. Beberapa dekade kemudian, pada 2015, pihak penyelenggara acara olahraga tetap mempekerjakan Performer Tuli untuk membawakan Lagu Kebangsaan.
Mary Therese menulis, komunitas Tuli telah menuntut selama bertahun-tahun agar mereka dapat tampil dan melihat Bahasa Isyarat Amerika (ASL), alih-alih menggunakan Juru Bahasa Isyarat yang hanya menafsirkan kata per kata.
Barulah pada 2022, pertama kalinya dalam sejarah, ada Musisi/ Seniman/ Performer Tuli yang tampil selama Halftime Super Bowl. Biasanya, Super Bowl bermitra dengan National Association of the Deaf (NAD) untuk memilih siapa yang akan menampilkan Lagu Kebangsaan, pertunjukan sebelum pertandingan, dan halftime show. Komunitas Tuli lantas menominasikan siapa yang akan tampil pada tahun berikutnya. Dari sinilah Performer Tuli di Amerika Serikat mulai dikenal lebih luas.
Baca Juga: Pandemi Perparah Akses Informasi bagi Komunitas Tuli
“Kami senang melihat lebih banyak Performer Tuli diekspos di seluruh dunia untuk menunjukkan bahwa kami dapat tampil dalam ASL. Kami tidak ingin JBI menjadi sorotan karena hal itu menghilangkan sorotan komunitas Tuli,” tulis Mary Therese pada Magdalene.
Di Indonesia sendiri keberadaan Performer Tuli menurut Intan Adelia sudah ada sejak lama. Salah satunya, kata Adel, diprakarsai lewat pembentukan Deaf Art Community Yogyakarta pada 2004. Itu merupakan komunitas yang memberdayakan teman Tuli melalui berbagai aktivitas seni-pertunjukan dan budaya.
“Saat Deaf Art Community Yogyakarta mulai tampil di publik, lama-lama (jadi) serentak di seluruh Jakarta dan Bali. Teman-teman Tuli memulai memberanikan diri untuk tampil,” tulis Adel.
Pop Joy Sign dalam hal ini jadi salah satu satunya. Jane yang kebetulan juga bagian dari Pop Joy Sign mengatakan, komunitas ini didirikan pada 26 September 2018. Alasannya senada, yakni membangun ruang bagi teman-teman Tuli muda mudi dalam menggali pengembangan bakat seni misal menari, teater, pantomim, dan lain-lain. Ini terlihat dari makna kata Pop Joy Sign sendiri.
“Ada arti di balik itu (kata Pop Joy Sign), Pop artinya musik pop yang keras dan berat teman-teman Tuli bisa merasakannya. Joy artinya teman-teman Tuli menunjukkan bakat atau kemampuan mereka dengan bahagia, senang berbagi ilmu. Sign artinya teman-teman Tuli bisa berkomunikasi pakai bahasa isyarat, mempunyai identitas yaitu bahasa isyarat,” jelas Jane.
Ia menambahkan, di Indonesia masih belum banyak yang tahu tentang keberadaan Performer Tuli. Itu jadi salah satu alasan kenapa Pop Joy Sign berdiri. Jane pun merasa sangat perlu ada perluasan akses untuk Performer Tuli tampil di ruang publik, seperti konser atau perhelatan seni.
“Karena Deaf performer itu bisa, sama seperti pada (masyarakat) umumnya. Ini bakal menunjukan, orang Tuli bisa membawa lagu dengan bahasa isyarat. Selain itu untuk menunjukkan kepada sesama Tuli untuk (bisa lebih) berani dan mengembangkan bakat mereka,” pungkasnya.