Kisah Caca, Pekerja Seks Tuli yang Berperang Lawan HIV di Tubuhnya
Petugas penjangkau lapangan menceritakan sosok Caca, perempuan pekerja seks Tuli dengan HIV. Ia turut memastikan agar Caca bisa terus mengakses ARV.
Saya masih ingat pertemuan pertama dengan “Caca”. Sedari awal menjalani karier sebagai petugas penjangkau lapangan Pekerja Seks Perempuan (PSP), sosok Caca cukup menonjol di mata saya. Ia Tuli, positif Human Immunodeficiency Virus (HIV), tapi anehnya paling ceria dibanding lainnya.
Perempuan yang sehari-hari beroperasi di Batang itu baru tahu statusnya yang positif HIV pada Juni 2022. Lewat tes HIV mandiri dengan menggunakan Oral Fluid Test (OFT)–alat screening melalui cairan mulut, ia dinyatakan positif. Status itu makin kuat ketika pemeriksaan di Puskesmas juga menyatakan hal yang sama.
Ia mengakui jarang menggunakan alat kontrasepsi kondom ketika melayani tamu, sehingga tertular virus. Alasannya tak jelas, tapi setahunya, para tamu lebih senang menggunakan jasa PSP yang tak menolak melepas kondom.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Indonesia dengan HIV/AIDS Berjuang dengan Stigma
Perjuangan Caca selama melakoni profesi itu relatif berat. Apalagi dengan kondisinya sekarang–Tuli dan ODHA. Sehari-hari, ia masih harus menghadapi perundungan, diremehkan, mendapat kekerasan bertubi-tubi, entah dari tamu maupun rekan-rekannya.
Namun, ia bertahan. “Utang saya banyak, Mbak. Ada dua anak juga yang harus diberi makan,” ujarnya pada saya.
Saya pernah menyarankan Caca untuk membeli alat bantu pendengaran supaya mempermudah ia berkomunikasi. Namun, kata dia, alatnya terlalu mahal untuk dibeli. Kini yang bisa dilakukan Caca cuma berdoa seraya berjanji pada diri sendiri, ia akan berhenti segera setelah semua utang terlunasi.
Saya tertegun melihat tekadnya. Jika memang pekerjaan ini harus dijalani dengan segala keterbatasannya, saya cuma harus memastikan ia bisa mengakses semua layanan yang dibutuhkan.
Baca juga: Kasus HIV Naik dalam Satu Dekade, Bagaimana Mengatasinya?
Terlebih saya sadar, Caca sudah banyak menjalani hidup yang berat. Ia pernah depresi lama lantaran dikecewakan pasangan di masa lalu. Dia nyaris bunuh diri dengan cara minum obat-obatan dengan dosis tinggi. Hal itulah yang menjadikan Caca mengalami gangguan pendengaran cukup parah. Caca tidak bisa mendengar suara orang lain kecuali jika orang-orang berbicara di dekat telinganya.
Hal baiknya, Caca bisa baca dan tulis, sehingga ia bisa berkomunikasi lewat suara di ponselnya. Saat bekerja melayani tamu, ia berkomunikasi menggunakan aplikasi Whatsapp.
Di mataku, Caca cukup aktif mengikuti beberapa kegiatan di lokalisasi, termasuk tes voluntary counselling and testing (VCT)–layanan konseling dan tes HIV yang dilakukan secara sukarela setiap tiga bulan sekali. Ia juga ikut senam bersama satu minggu sekali, dan kegiatan sekolah perempuan satu bulan sekali.
Dari kegiatan sekolah perempuan, ia mengaku mendapat banyak pengetahuan, terutama terkait bahaya HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Sayangnya, meski teredukasi, Caca masih belum bisa menggunakan kondom karena para tamu kerap memaksanya berhubungan seks tanpa pengaman. Seperti PSP lainnya, Caca takut tidak mendapat pemasukan jika harus pilih-pilih tamu yang mau pakai kondom.
Caca dan PSP Lain Butuh Dukungan
Saat pertama dinyatakan positif, Caca nyaris menyerah. Ia bilang pada saya, “Mbak, aku takut, aku harus gimana? Aku masih punya anak kecil, aku harus sehat, Mbak, dan anak-anakku masih butuh aku.”
Mendengar curahan hati Caca, aku cuma bisa menguatkan dia. Langkah berikutnya yang aku ambil adalah meyakinan dia bahwa kesembuhan itu bisa diupayakan. Asal ia rajin mengonsumsi obat anti-retroviral (ARV).
Karena Caca punya semangat ingin sehat, ia semangat saat pengambilan obat. Selama proses itu, saya mendampinginya lantaran ia malu dengan kondisinya yang Tuli.
Ia malu dengan pihak layanan bahwa Ia Tuli. Dengan senang hati saya menyetujui hal tersebut dan sampai sekarang siap mendampingi Caca untuk akses ARV. Saya menjembatani komunikasi antara Caca dan petugas layanan kesehatan agar tak ada kesalahpahaman. Apalagi saya tahu, tak semua petugas punya pandangan inklusif dan tak mendiskriminasi kelompok marginal seperti Caca.
Baca juga: Bagaimana Menjadi Positif HIV Membuka Mata Saya
Pada akhirnya, saya berharap tidak ada hambatan bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang baik. Terlebih sesuai hasil pemetaan populasi kunci PSP 2022, jumlah PSP di Batang mencapai 1.170 orang. Mengutip data di Yayasan Forum Komunikasi Peduli Batang (FKPB) per September 2022, jumlah PSP yang sudah Tes VCT ada 638 orang dan hasilnya 13 orang positif HIV. Sebanyak 5 orang di antaranya menolak mengakses ARV.
Dari data tersebut bisa dilihat jika temuan positif HIV yang tinggi, nyatanya tak berbanding lurus dengan kesadaran mereka mengakses ARV. Penyebabnya banyak, di antaranya ODHA tak merasa butuh obat, sudah hilang kontak dan pindah tempat kerja, takut efek samping ARV, dan alasan teknis lainnya. Di komunitas PSP, alasan paling umum adalah mereka cenderung mengecilkan bahaya penyakit ini.
Pada akhirnya, harapan kami sebagai petugas lapangan, semua PSP wajib tes VCT dan segera akses ARV secara rutin tanpa putus obat. Saya sendiri sejauh ini sudah mensosialisasikan kepada PSP terkait bahaya virus HIV, cara penularan dan cara pencegahannya. Kami juga selalu mengajak PSP untuk rutin tes VCT minimal 3 bulan sekali. Hal tersebut bisa berjalan lebih maksimal dengan adanya dukungan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat supaya pemutusan rantai virus HIV di Indonesia bisa segera teratasi.
Ini adalah artikel kesembilan dari series tulisan pelatihan jurnalis komunitas IAC di Bali, Oktober 2022. Baca artikel lainnya yang terbit setiap Rabu di Magdalene.co.
- Orang dengan HIV/ AIDS juga Bisa Berdaya
- Surat untuk Mendiang Puput: ‘Matahari di Sana Lebih Cerah, Nak!’
- Perempuan HIV di Tengah Bencana
- KTP untuk Transgender Sejak Kapan?
- Putus Nyambung ARV: Separuh Badan Lumpuh tapi Saya Harus Tetap Tumbuh
- Saya Positif HIV, Menikah, Punya Anak, dan Hidup Bahagia
- ‘Saya Dianggap Kuman, Dilarang Temui Anak’: Kisah ODHA yang Alami Stigma
- Melawan Rasa Takut dari Kebodohan Stigma dan Diskriminasi pada ODHA
- Pengalamanku Tes Papsmear Sebagai Odhiv: Diskriminasi pada Perempuan Lajang