K-Popers juga WNI: Ketika Penggemar K-Pop Tolak Omnibus Law
K-Popers mendapat stigma negatif saat menolak Omnibus Law, padahal mereka juga warga negara Indonesia.
Selama hampir seminggu penuh ini jagat media sosial diramaikan oleh pembahasan seputar Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, aturan sapu jagat yang disahkan dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (5/10). Pengesahan UU ini mengundang kemarahan berbagai lapisan masyarakat Indonesia, antara lain karena bertendensi mengebiri hak-hak pekerja, merusak lingkungan hidup, dan memberikan hak istimewa kepada pengusaha.
Gelombang protes dilancarkan oleh masyarakat, yang sebagian turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Protes juga dilakukan oleh kelompok penggemar musik pop Korea alias K-pop, atau disebut juga K-Popers, yang banyak di antaranya menggunakan foto profil bintang pop Korea. Sejak Senin malam lalu, berbagai tagar seperti #TolakOmnibusLaw, #MosiTidakPercaya, dan #GagalkanOmnibusLaw menjadi trending topic global di Twitter. K-Popers dalam hal ini menjadi kelompok yang memegang andil besar dalam meroketkan tagar penolakan Omnibus Law di media sosial dunia.
Mereka tidak hanya meroketkan berbagai tagar yang berhubungan dengan penolakan Omnibus Law, tetapi mereka juga membangun banyak ruang diskusi dalam membahas UU problematik ini. Menolak untuk hanya ikut-ikutan saja dalam menjadikan tagar-tagar penolakan Omnibus Law trending, banyak K-Popers yang menyadari bahwa memiliki pemahaman mengenai apa yang akan mereka suarakan adalah hal yang sangat penting.
Baca juga: Magdalene Primer: Setelah UU Cipta Kerja Disahkan
Mereka membuat utas edukatif yang dikompilasi dari berbagai sumber terpercaya, dan membuatnya dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh orang-orang yang bahkan tidak memiliki latar belakang hukum sekalipun. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang membuat utas dalam bahasa Inggris agar pembahasan mengenai Omnibus Law ini bisa dipahami pengguna Twitter di seluruh dunia.
Tidak hanya itu, mereka juga membangun berbagai diskusi interaktif dengan sesama penggemar K-Pop. Berbagai pertanyaan dilontarkan yang nantinya akan dijawab oleh K-Popers yang memiliki pemahaman dan kapasitas ilmu yang lebih mumpuni di bidang hukum atau politik. Menanyakan sumber dari mana info yang mereka dapat dalam diskusi interaktif ini juga menjadi poin yang penting bagi mereka, sehingga mereka tidak serta merta mempercayai informasi yang ada dengan membabi buta.
Stigma negatif
Namun tindakan para K-Popers dalam mengedukasi publik soal Omnibus Law ini dilihat publik sebagai sebuah hal yang mengejutkan. Berbagai respons masyarakat atau bahkan judul-judul media massa soal keterlibatan K-Popers dalam menolak UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa seakan-akan hal itu sesuatu yang aneh dan peristiwa langka.
Baca juga: BTS ARMY: Perempuan Cuma Ingin Bebas Berekspresi
Keterkejutan publik dalam melihat keterlibatan aktif K-Popers secara politik ini merupakan sebuah refleksi dari bagaimana kelompok ini kerap menghadapi stigma dan dipinggirkan di dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia telah bertahun-tahun melekatkan stigma pada penggemar K-Pop, bahwasanya mereka hanyalah sekelompok individu apolitis yang tidak pernah memedulikan isu-isu di sekitarnya, dan hanya fokus menggilai idolanya saja.
Stigma yang dilekatkan oleh masyarakat secara sepihak pada kelompok penggemar, atau disebut fandom, pernah dibahas oleh Joli Jensen, seorang akademisi dari Tulsa, AS, yang fokus pada kajian media dan budaya populer. Jensen mengatakan bahwa fandom dipandang sebagai sekumpulan individu dengan fanatisme berlebihan terhadap idolanya, sehingga mereka dikategorikan sebagai sebuah bentuk dari penyimpangan sosial di masyarakat.
Jensen berpendapat bahwa representasi dari penggemar terbagi dalam dua kategori utama, yaitu individu yang obsesif dan kerumunan histeris, yang keduanya tidak memiliki kapasitas nalar yang baik dan merespons murni dari emosi mereka. Fandom pun dipandang secara psikologis sebagai gejala disfungsi sosial dalam masyarakat. Sekali saja kelompok penggemar dikategorikan sebagai sebuah penyimpangan, maka mereka dapat diperlakukan secara tidak hormat atau bahkan diperlakukan sebagai dangerous others.
Mereduksi identitas K-Popers menjadi hanya sebatas identitas tunggal sebagai penggemar adalah sebuah tindakan yang merendahkan. Ditambah lagi dengan fakta bahwa mereka sudah akrab dengan gerakan fan activism.
Stigma negatif yang kerap dilekatkan oleh publik pada kelompok penggemar ini menghantarkan kita pada dua hal, yaitu keterkejutan dan penyangkalan masyarakat jika melihat penggemar yang memiliki kemampuan nalar kritis. Hal ini dinyatakan, misalnya, oleh Profesor Ilmu Komunikasi Effendi Ghazali dalam siaran langsung TVOne, ketika ditanyai pendapatnya mengenai tagar penolakan Omnibus Law. Ia mengatakan, “Dengan menggunakan ava K-pop kalian menyebarkan hoaks. Karena apakah mereka mengerti tentang Omnibus Law kita?”.
Tampaknya Pak Ghazali tidak hanya terhegemoni oleh stigma bahwa K-Popers adalah kumpulan individu yang tidak mempunyai kemampuan nalar kritis, dia juga lupa bahwa setiap individu mengampu berbagai lapis identitas sosial budaya. Identitas sebagai seorang penggemar adalah satu dari berbagai lapisan identitas sosial budaya yang lekat pada diri para K-Popers.
Mereka adalah sekelompok individu yang datang dari berbagai rentang usia, latar belakang pendidikan, dan juga pekerjaan. Mereka adalah guru, akademisi, doktor, aktivis, pengacara, mahasiswa, dan orang-orang hebat lainnya di negeri ini. Dan yang terpenting, mereka memiliki identitas sosial budaya sebagai warga negara Indonesia. Mereduksi identitas mereka menjadi hanya sebatas identitas tunggal sebagai penggemar adalah sebuah tindakan yang merendahkan. Ditambah lagi dengan fakta bahwa kelompok penggemar ini sudah akrab dengan gerakan fan activism alias aktivisme penggemar.
Baca juga: BTS dan ARMY: Bongkar Hegemoni Industri Musik Hingga Stereotip ‘Fangirl’ Obsesif
Dalam konteks budaya dan politik yang terfragmentasi, di mana politik tidak lagi dimainkan terutama melalui afiliasi kelembagaan, kelompok penggemar dapat membangun sebuah gerakan masif yang mampu mendukung bahkan mendorong aktivisme akar rumput dan partisipasi masyarakat. Dengan mengambil alih strategi budaya di dalam kelompok mereka sendiri, mereka secara efektif mampu membuat sebuah gerakan masif yang terorganisir yang bahkan sulit untuk dilakukan lembaga-lembaga masyarakat yang ada.
Dengan identitas sosial budaya mereka yang beragam juga keterlibatan aktif mereka di dalam fan activism yang dipersatukan oleh identitas yang sama yaitu warga negara Indonesia, maka tindakan K-Popers dalam menyuarakan sikap politik mereka seharusnya bukan suatu hal yang mengejutkan lagi. Pada akhirnya K-Popers juga merupakan warga negara Indonesia yang berhak bersuara atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Ketika negara ini sedang tidak baik-baik saja, sikap politik K-Popers ini adalah suara dari ketidakpuasan mereka sebagai warga negara Indonesia atas kinerja pemerintah, dan suara mereka berhak didengar tanpa harus distigmatisasi oleh masyarakat hanya karena preferensi musik mereka.