Culture Gender & Sexuality Screen Raves

‘Kabut Berduri’ dan Sentilan Kasus Perdagangan Anak di Perbatasan

Kabut Berduri menaikkan kembali percakapan tentang perdagangan manusia di perbatasan. Perempuan memang yang paling rentan.

Avatar
  • August 26, 2024
  • 5 min read
  • 1720 Views
‘Kabut Berduri’ dan Sentilan Kasus Perdagangan Anak di Perbatasan

Saya selalu menggemari film-film dari Palari. Mereka tidak pernah gagal dalam mengemas isu kompleks dan berani mengangkat yang sensitif. Misalnya, Dear David (2023) dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2021). Dalam Dear David, bersama sutradara Lucky Kuswandi mereka mengangkat cerita sexual awakening yang alami remaja perempuan. Sementara dalam Seperti Dendam, ada isu kekerasan negara dan pelecehan seksual yang dihadapi laki-laki di sana.

Kali ini mereka hadir dengan isu perbatasan negara Indonesia-Malaysia lewat Kabut Berduri (2024). Kalimantan jadi latar utama film ini. Kita dipandu seorang detektif dari Jakarta bernama Sanja (Putri Marino). Setibanya di tempat kerja barunya, ia disambut kasus pembunuhan dua orang: satu badan, dan satu kepala dengan dua identitas berbeda. Kasus itu yang perlahan ia bongkar, dan membawa Sanja ke petualangan mengenal konflik-konflik yang terjadi di perbatasan.

 

 

Terungkap, kematian itu dipicu konflik yang terjadi antara mafia perdagangan orang dan TNI serta preman setempat. Ada irisan masalah lain yang juga terekam dalam proses pengungkapan yang dilakukan Sanja. Seperti konflik masyarakat adat dengan TNI dan Polisi di sana, pembalakan liar, serta pembunuhan berantai yang dilakukan mantan pemandu prajurit mencari Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).

Namun dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengulas persoalan human trafficking yang terjadi di wilayah perbatasan. 

Baca juga: ‘Kabut Berduri’: Crime-Thriller dari Edwin dan Misteri di Perbatasan

Kasus perdagangan perempuan dan anak dalam film ini diceritakan lewat sosok Agam (Kiki Narendra) yang digambarkan sebagai orang kaya yang memiliki banyak bisnis. Salah satu bisnis tersebut adalah perdagangan manusia. Panca (Lukman Sardi) sebagai polisi melindungi bisnis tersebut. Ada juga sosok Umi (Siti Fauziah) yang menjadi kaki tangan Agam, Umi bertugas menawarkan pekerjaan kepada anak-anak yang putus sekolah dengan iming-iming gaji besar yang kemudian dijual ke negara lain lewat perbatasan. Untuk melancarkan bisnis atau melindungi bisnis Panca menyuap para polisi, termasuk Thomas. Thomas yang bertugas dengan Sanja tidak pernah tahu persis jenis bisnis yang dijalankan Panca, sampai jelang di akhir film Thomas mengetahui bisnis tersebut, sehingga ia terbunuh di tangan Panca. 

Rentannya Perempuan dan Anak di Wilayah Perbatasan 

Plot itu mengingatkan tentang kerentantan perempuan di perbatasan. Terutama dari isu perdagangan manusia.

International Organization for Migration atau IOM menyebut Kalimantan Barat menduduki peringkat kedua dari 12 daerah tertinggi kasus perdagangan manusia. Tercatat ada 722 kasus atau 19,33 persen di sana. Data tersebut juga sejalan berita Kalimantan Today, yang menyebut ada 13 kasus perdagangan orang di Sanggau, selama 2018-2021.

Di seleuruh dunia, ECPAT mencatat, perempuan dan anak perempuan mewakili 72 persen dari seluruh korban perdagangan orang secara global. Sementara 77 persen dari korban perempuan yang terdeteksi diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual.

Dalam Kabut Berduri, kemiskinan jadi salah satu faktor yang terekam jadi sumber masalah ini. Perempuan dan anak-anak digambarkan mudah terbujuk oleh modus dan motif pelaku disebabkan karena kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam film ini misalnya seorang Ayah menjual anaknya lantaran terhimpit oleh kemiskinan, lagi-lagi determinisme ekonomi menjadi faktor yang menyebabkan trafficking pada anak-anak dan perempuan, kemiskinan menjadi alat penindasan utama atas ketidakberdayaan perempuan di wilayah perbatasan dan pedesaan, tak hanya kemiskinan pendidikan rendah serta kemampuan bersaing yang sangat terbatas juga menjadi faktor tingginya kasus ini. 

Baca juga: Iteungisme: Memaknai Iteung dalam ‘Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas’

Traffiking dalam film ini sangat terorganisir karena melibatkan banyak pihak mulai dari agen-agen pencari tenaga kerja (calo), PJTKI, petugas pemerintah dan petugas kepolisian. Keterlibatan berbagai pihak dalam rantai aktivitas ini disebabkan karena sindikat kasus trafficking biasanya sudah memiliki jaringan di luar negeri. 

Mengapa Kasus Trafficking Lebih Rentan terhadap Perempuan?

Perdagangan orang dapat terjadi pada siapa saja, tanpa melihat gender mereka. Misal terjadinya eksploitasi tenaga kerja laki-laki di perkebunan kelapa sawit dengan pemberian upah rendah. Sejatinya kerentanan perempuan sebagai korban trafficking bisa disebabkan oleh banyak faktor di antaranya masih tingginya praktik budaya di masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi diskriminatif sehingga menjadikan perempuan termarginalisasi dalam berbagai sektor baik pendidikan, ekonomi dan sosial. 

Faktor lain, di beberapa daerah masih ditemukan kawin muda atau kawin paksa sehingga mengakibatkan perempuan hanya berkutat pada ranah domestik yang membatasi mobilitasnya. Tidak hanya itu, dalam konteks globalisasi adanya persepsi di negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat diperjualbelikan dan dipertukarkan juga bisa menjadi penyebab persoalan ini. Pandangan perempuan sebagai komoditi ini juga semakin menguat sejalan dengan tingginya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak dijadikan komoditas dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film, penghibur di bar atau restoran demi meraup keuntungan dan bisnis. 

Baca juga: Perempuan Muda dan Miskin Korban Utama Perdagangan Orang di Indonesia

Dalam catatan ECPAT, perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual adalah salah satu usaha kriminal yang paling menguntungkan di dunia, diperkirakan bernilai hampir 99 miliar dolar per tahun. Menurut Laporan Global tentang Perdagangan Manusia yang dilakukan oleh UNODC pada tahun 2020, secara global, satu dari setiap tiga korban perdagangan manusia adalah anak-anak, terutama perempuan. Korban perempuan terus menjadi target utama perdagangan manusia dan anak.

Sejatinya persoalan human trafficking  bukan isu baru yang terjadi di Indonesia, kasus ini sudah ada sejak masa imperialisme dan kolonialisme. Pada masa tersebut perdagangan manusia dalam bentuk perdagangan sandera dan budak kepada penguasa kerajaan-kerajaan Eropa yang mendominasi perekonomian dan politik internasional. Negara-negara barat melakukan perbudakan untuk mendapatkan buruh murah, maka bukan hal baru jika trafficking masih mendominasi melalui perbudakan tenaga buruh dengan upah murah pada masa sekarang ini. 

Akhirnya fenomena human traffiking di wilayah perbatasan menjadi salah satu dari sekian banyaknya permasalahan yang berada di wajah negara selain persoalan kemiskinan. Meski Indonesia sudah memiliki ketentuan hukum yang mengatur tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak, sialnya dalam praktiknya, kasus perdagangan manusia masih saja terjadi dengan modus yang memprihatinkan mengingat kejahatan ini memiliki keuntungan besar seperti kasus penyelundupan narkoba.

Maka dalam hal ini pemerintah sebagai pemangku kebijakan wajib memberikan penghormatan dan perlindungan kepada HAM, mengutamakan hak-hak perempuan baik itu pekerja rumah tangga juga hak-hak perempuan yang menjadi tenaga kerja di luar. Jangan sampai pemerintah abai sehingga kecolongan warga negara dan menjadi perdagangan orang. Sementara upaya penanggulangan peraturan perundang-undangan harus lebih dikuatkan untuk mengantisipasi tindak kejahatan trafficking dengan didukung kebijakan pemerintah yang tegas, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 

Uswah Sahal Adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga



#waveforequality


Avatar
About Author

Uswah Sahal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *