December 19, 2025
Issues Lifestyle Opini Politics & Society

Pro Kontra ‘Viral-Based Policy’: Belajar dari Drama Tumbler Hilang Penumpang KRL

Viralitas bisa memaksa perubahan cepat, dari pemecatan pekerja hingga pembatalan kebijakan buruk. Namun keputusan berbasis tekanan publik juga rawan salah sasaran.

  • November 28, 2025
  • 6 min read
  • 779 Views
Pro Kontra ‘Viral-Based Policy’: Belajar dari Drama Tumbler Hilang Penumpang KRL

Satu lagi video klarifikasi tersebar di media sosial,  (27/11). Kali ini, penumpang KRL Commuter Line bernama Anita Dewi dan suami, Alvin Harris meminta maaf di hadapan publik karena menduga petugas layanan penumpang KAI, Argi Budiansyah lalai dalam melakukan pekerjaan.  

Sebelumnya, Anita mengunggah utas tentang cooler box-nya yang tertinggal di salah satu gerbong KRL. ia menceritakan kronologi secara rinci, mulai dari komunikasi dengan petugas, serah terima cooler box dari petugas KAI ke satpam, hingga akhirnya melihat tumbler di dalam cooler box itu raib. Utas itu viral di Thread, hingga bikin netizen berasumsi tumbler ini telah dicuri.  

Di sisi lain, Argi juga menyebarkan cerita versinya. Ia memberikan tangkapan layar komunikasinya dengan Anita dan Alvin. Keduanya bersikeras ingin kehilangan ini diproses sesuai prosedur KAI. Pekerjaannya, tulis Argi dalam tangkapang layar, “sudah di ujung tanduk.” 

Netizen kemudian mempermasalahkan dugaan pemecatan ini. Padahal, setiap turun KRL, announcer akan berkata, barang yang hilang dan tertukar bukan tanggung-jawab perusahaan. Setelah kabar dugaan pemecatan Argi viral, Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin mengklarifikasi informasi tersebut tidak benar.  

“Argy tetap sebagai karyawan KAI Commuter sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan terbaik buat pelanggan,” tulis Bobby di unggahan di akun Instagram pribadinya pada Jumat (28/11).  

Sementara, melansir dari Metro TV, Anita diberhentikan oleh perusahaan tempatnya bekerja buntut kehebohan ini. Lewat akun Instagram resmi @daidanutama, keputusan ini diambil karena sikap Anita yang tidak sesuai dengan “budaya kerja perusahaan kami secara keseluruhan.”  

Kasus ini tentu bukan klarifikasi pertama yang disaksikan netizen. Viralitas jadi pedang bermata dua yang sangat berbahaya jika dipakai serampangan. Ia bisa menikam pihak yang tidak bersalah atau bahkan tuannya sendiri.  

Baca juga: Kepadatan KRL dari ‘Green Line’ hingga ‘Red Line’: Apakah Tambah Armada ala Prabowo adalah Solusi? 

Berubah karena Viral  

Meski begitu, tak dimungkiri, viralitas juga punya dampak baik. Beberapa perubahan terjadi karena ada intervensi netizen di kolom komentar. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen misalnya, sedikit berubah setelah publik ramai-ramai mengkritik pemerintah. Tadinya pajak 12 persen itu akan dikenakan untuk semua jenis barang, tetapi dalam satu malam, pemerintah mengenakannya hanya untuk kategori barang mewah.  

Di balik semua reaksi yang memicu perubahan cepat, netizen juga memiliki tanggung jawab. Enggak setiap informasi yang viral sudah diverifikasi, dan tekanan publik yang tidak terkendali bisa merugikan pihak yang tidak bersalah. Sebagai pengguna media sosial, penting untuk menimbang fakta, memahami konteks, dan berhati-hati sebelum ikut menyebarkan atau menuntut tindakan melalui cuitan viral. 

Selain itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang berencana memblokir 28 juta rekening ‘dormant’ yang enggak dipakai dalam waktu 3-12 bulan, membatalkannya. Lagi-lagi, pembatalan dilakukan setelah protes warga di media sosial.  

Kemarahan warga di media sosial juga berhasil menghentikan pemakaian sirene dan strobo polisi “tuttut wok saat mengawal ‘orang penting’. Untuk sementara, sirene dan strobo tak digunakan untuk tugas pengawalan. Absennya suara ‘tot tot wok wok’ di jalan bisa terjadi karena keresahan viral di media sosial.  

Tak hanya untuk pemerintah, viralitas juga bisa memengaruhi secara drastis sikap dan keputusan pihak swasta. Dua bulan lalu, sejumlah musisi mengumumkan batal tampil di PestaPora. Alasannya, perusahaan tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) mendanai acara tersebut dan mereka tidak diinformasikan sebelumnya. Publik yang marah pun mendesak PestaPora dan para musisi untuk bertindak.  

Baca juga: Konten ‘Jakarta Keras’: Potret Wajah Kota yang Tak Setara

Saya senang dengan netizen yang aware akan artwashing yang dilakukan perusahaan tambang, tetapi juga bertanya-tanya, apakah semua musisi yang batal tampil benar-benar peduli pada kerusakan lingkungan yang disebabkan PTFI atau pada tekanan publik yang bisa merusak nama mereka?  

Rasanya naif jika berpikir semua yang mundur dari acara benar-benar peduli. Sekesal-kesalnya dengan PestaPora – sebagai salah satu pembeli tiket – saya perlu juga tahu motif para musisi mundur, mengingat ada satu band yang punya rekam jejak pernah bermain di event lain yang didanai PTFI.  

Jejaknya pun masih di tahun yang sama. Mengapa mereka tetap tampil di acara tersebut? Saya tak menemukan jawaban lain selain, tidak ada viralitas yang menekan mereka untuk tidak naik ke atas panggung saat itu. Padahal sebenarnya, ada cara lain untuk menghadapi tekanan publik.  

Band Barasuara tetap tampil, tetapi menyumbangkan pengasilannya dari PestaPora ke Music Declares Emergency, gerakan yang fokus pada isu lingkungan. “Alasan kenapa Barasuara tidak mundur dari PestaPora, kami menolak berada di dalam tekanan, kami berpihak pada teman-teman semua yang sudah membeli tiket,” ujar vokalis Barasuara, Iga Masardi.  

Di balik semua reaksi yang memicu perubahan cepat, netizen juga memiliki tanggung jawab. Enggak setiap informasi yang viral sudah diverifikasi, dan tekanan publik yang tidak terkendali bisa merugikan pihak yang tidak bersalah. Sebagai pengguna media sosial, penting untuk menimbang fakta, memahami konteks, dan berhati-hati sebelum ikut menyebarkan atau menuntut tindakan melalui cuitan viral. 

Baca juga: Nasib Pekerja Komuter: Gaji Tipis, Biaya Transpor Bikin Tiris 

Buru-buru  

Ada benang merah dari keputusan perusahaan memecat Anita, PPN 12 persen yang berubah dalam satu malam, PPATK mencabut pemblokiran, dan mundurnya musisi dari PestaPora: Keputusan spontan yang diambil karena viral.  

Ilmu kebijakan publik menamainya viral-based policy. Keputusan atau kebijakan semacam ini tidak mengikuti standar perumusan yang sesuai teori. Melansir dari The Conversation, kebijakan publik idealnya dibuat dengan tahap: Agenda setting (memastikan masalah sangat membutuhkan solusi karena berdampak pada banyak komunitas), formulasi instrumen kebijakan, penentuan instrumen, implementasi, dan evaluasi kebijakan. 

Pun demikian, viralitas di media sosial memangkas proses tersebut. Kemarahan netizen kepada satu pihak membutuhkan respons cepat. Alhasil keputusan yang dibuat sering kali terburu-buru. Tak selalu buruk, mengingat pemerintah hari ini memang sangat tertutup dan baru akan transparan ketika ada kasus viral – itu pun tidak untuk semua kasus.  

Namun sayangnya, sering kali keputusan yang didasarkan pada viralitas tidak menjawab permasalahan sesungguhnya. Kandidat Doktor Kebijakan Publik, Amanda Tan di artikel The Conversation mengungkap, ini terjadi karena viral-based policy tidak dibuat dengan bukti saintifik yang matang.  

Cara KAI merespons kehilangan Tumbler yang akhirnya dibatalkan jadi salah satu bukti konkret dari kurang berdasarnya masalah ini. Bukankah seharusnya sejak awal KAI menegaskan saluran pengaduan untuk barang tertinggal dan tanggung jawab penumpang dalam menjaga barang, dengan harapan tak akan ada lagi yang mencari tumbler lewat cuitan viral di media sosial.  

About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.