July 14, 2025
Environment Issues

Gerakan Digital #SaveRajaAmpat: Perlawanan Ekologis dari Dunia Maya

Gerakan #SaveRajaAmpat adalah sebuah studi kasus penting dari perlawanan digital di Indonesia.

  • June 23, 2025
  • 4 min read
  • 893 Views
Gerakan Digital #SaveRajaAmpat: Perlawanan Ekologis dari Dunia Maya

Pulau Gag di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kini berada di ambang kehancuran ekologis akibat ekspansi pertambangan nikel. Ancaman ini tidak hanya membahayakan keanekaragaman hayati yang luar biasa, tetapi juga merusak ruang hidup masyarakat adat yang selama ini menjaga alam dengan kearifan lokal.

Namun, di tengah tekanan ekonomi dan kepentingan politik yang kuat, muncul sebuah gelombang perlawanan sipil yang tak kalah solid, tercermin dalam viralnya tagar #SaveRajaAmpat di media sosial. Ini bukan sekadar kampanye, tetapi bentuk nyata perlawanan digital terhadap eksploitasi ekologis.

Tagar #SaveRajaAmpat pertama kali mencuat pada awal Juni 2025 lewat unggahan Greenpeace di akun Instagram resminya. Dalam waktu singkat, kampanye ini menyebar di berbagai platform media sosial sebagai bentuk solidaritas terhadap ancaman tambang nikel di Raja Ampat. Dukungan datang tidak hanya dari masyarakat lokal, tapi juga nasional dan internasional.

Baca juga: Di Mana Ada Tambang Nikel, Di Situ Perempuan Jadi Korban

Lingkungan digital Indonesia yang sangat aktif menjadi ladang subur bagi gerakan ini. Laporan We Are Social 2025 mencatat, Indonesia memiliki sekitar 212 juta pengguna internet (74,6 persen dari populasi), dengan 143 juta pengguna aktif media sosial. Rata-rata waktu yang dihabiskan untuk media sosial mencapai 3 jam 8 menit per hari, menempatkan Indonesia di peringkat ke-9 dunia. Angka-angka ini membuktikan bahwa media sosial adalah kanal strategis untuk membentuk opini publik dan menggerakkan solidaritas sosial, termasuk dalam isu lingkungan.

Media sosial hari ini telah menjadi ruang publik baru, modern public sphere, yang memungkinkan warga negara menyampaikan suara politik, berbagi informasi, dan menyusun strategi bersama. Dalam konteks ini, #SaveRajaAmpat adalah contoh konkret bagaimana media digital dapat menjadi arena perjuangan melawan dominasi ekonomi dan kekuasaan politik.

Teori network society dari Manuel Castells (2009) relevan dalam membaca fenomena ini. Ia menyebut bahwa kekuasaan tidak lagi hanya terpusat pada lembaga formal, melainkan tersebar dalam jaringan komunikasi. Gerakan #SaveRajaAmpat merupakan bentuk counterpower, atau kekuatan tandingan masyarakat sipil yang muncul dari bawah, memanfaatkan jaringan digital untuk menekan kebijakan dari atas.

Baca juga: Warga Torobulu dan Mondoe di Lumbung Nikel: Janji Kesejahteraan, Berbuah Kemiskinan

Yang menarik, gerakan ini berjalan tanpa struktur organisasi formal yang kaku. Lance W. Bennett (University of Washington) dan Alexandra Segerberg (Stockholm University), yang memperkenalkan konsep “the logic of connective action” (2012) menggambarkan model seperti ini sebagai partisipasi sosial yang bersifat individual, fleksibel, dan sangat personal. Alih-alih mengandalkan hierarki organisasi, gerakan ini mengandalkan kekuatan koneksi antarwarga. Pesan kampanye dapat dipersonalisasi, memungkinkan keterhubungan emosional dan nilai pribadi setiap orang dengan isu yang diangkat.

Hasilnya, #SaveRajaAmpat menjadi ruang yang inklusif dan partisipatif, tempat orang menyuarakan kepedulian tanpa harus menjadi aktivis formal. Media sosial menjadi wadah kolaboratif lintas batas geografis, budaya, dan kelas sosial.

Namun, perlu diingat: kekuatan digital tidak otomatis berujung pada perubahan kebijakan. Akademisi Brian D. Loader dkk. (2014), yang meneliti soal komunikasi, media digital, dan keterlibatan sipil, mencatat bahwa meski media sosial meningkatkan partisipasi, terutama di kalangan muda, tidak selalu menghasilkan dampak politik yang konkret. Banyak gerakan viral yang meredup karena kurangnya koordinasi pasca-viralitas. Tantangan #SaveRajaAmpat kini adalah bagaimana mengawal momentum digital menuju tekanan politik nyata, baik melalui advokasi kebijakan, aksi hukum, maupun penguatan posisi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.

Baca juga: ‘Demam Nikel’ Perburuk Skor Emisi, Kenapa Dilanjutkan Mas Gibran?

Ancaman lainnya adalah kekuatan narasi tandingan. Pemerintah dan korporasi tambang memiliki akses besar terhadap media arus utama yang bisa menggiring ulang opini publik dan meredam desakan perubahan. Dalam situasi ini, keberlangsungan gerakan sangat bergantung pada kekuatan jejaring digital yang terus aktif, partisipatif, dan strategis.

Gerakan #SaveRajaAmpat mengingatkan kita pada satu hal penting, bahwa di era digital, perlawanan tidak selalu harus turun ke jalan. Ketika masyarakat bersatu dalam jaringan yang luas, inklusif, dan berdaya, suara dari ujung timur Indonesia bisa menggema hingga ke ruang-ruang kebijakan pusat.

Apakah kita akan membiarkan surga ini tergadai demi komoditas, ataukah kita akan terus bersuara, menyambung jaringan perlawanan, dan memastikan Raja Ampat tetap menjadi milik alam dan rakyatnya?

Febrina Galuh Permanasari adalah Direktur Eksekutif Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pemerhati isu kebebasan pers, cek fakta & pengembangan jurnalis di Indonesia dan Asia Tenggara.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Febrina Galuh Permanasari