Culture Gender & Sexuality History Screen Raves

Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’

Karakter queer di film Indonesia bukan cuma hadir belakangan. Kadang, meski tak dapat peran besar, merekalah yang menguatkan penonton queer kita.

Avatar
  • June 18, 2024
  • 8 min read
  • 2073 Views
Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’

Sebelum ada Tim dan James dari Dear to Me (2021), atau Dilla dari Dear David (2023), atau Amel dari Hubungin Agen Gue (2024), film-film dan serial Indonesia sudah punya karakter-karakter queer yang tampil sejak dulu. Sering kali, kehadiran mereka memang sekelibat dan jadi bottom of the joke. Tapi, sering kali pula mereka jadi beacon of hope, terutama buat anak-anak queer yang sudah “dilarang” tumbuh jadi diri sendiri sejak kecil.

Perubahan itu makin terasa selepas Reformasi 1998. Industri film bersemarak lagi, ide-ide film makin bebas. Kemunculan karakter queer yang berdaya tercatat muncul di era ini. Salah satu yang paling terkenal adalah Sakti (diperankan Tora Sudiro) dan Nino (diperankan Surya Saputra) dalam Arisan! (2003). Di sana, karakter minoritas gender bukan sebagai pelengkap. Karakter utama prianya, Sakti digambarkan kompleks dan tidak satu dimensi belaka: Punya pekerjaan mapan, hidup layak, punya pasangan, bisa jatuh cinta, dan kehidupan normal ala kelas menengah Jakarta.

 

 

Contoh lainnya adalah Syaiful (Donny Damara) yang kebingungan menerangkan jati dirinya pada sang putri Cahaya (Raihanun) dalam Lovely Man (2011). Atau Marianna (Barry Prima) yang lebih dulu hadir dalam Realita Cinta dan Rock n Roll (2006, Upi). Tema-tema baru yang tak akan lolos di bawah rezim Soeharto mulai dijajaki, representasi karakter-karakter LGBT hadir dengan kedalaman karakter dan nuansa yang lebih kompleks.

Di satu titik, ia bisa jadi kemajuan yang lama ditunggu orang-orang queer. Melihat diri mereka direpresentasikan dalam film bukan kemewahan yang kerap dirasakan. Seringnya, karakter-karakter queer yang muncul dalam cerita-cerita di Indonesia sangat penuh stigma dan tidak bersandar pada ilmu pengetahuan, melainkan mitos dan kebencian.

Itu sebabnya, representasi yang memberdayakan masih amat penting dalam layar perak dan layar lebar di Indonesia.

Namun, bukan berarti kita tidak boleh mengenang karakter-karakter queer yang telah ada. Mereka bisa jadi pelajaran penting, terlepas dari memberdayakan atau tidaknya karakter tersebut. Mencatat mereka dalam sejarah, bisa membantu kita mempelajari konteks yang terjadi di tiap babak rezim, misalnya.

Dalam Bulan Kebanggaan ini, mari mengenang beberapa karakter queer yang sempat tercatat dalam tontonan yang dibikin pembuat film dalam negeri.

1. Budi dan Yanto dari Kuldesak

Budi (diperankan Harry Dagoe) dan Yanto (Gala Rostamaji) adalah pasangan homoseksual pertama yang muncul di layar lebar pasca-Orde baru. Mereka adalah dua karakter yang muncul dalam Kuldesak (1998), film omnibus yang sering dirayakan sebagai kebangkitan industri film pasca-Ode Baru.

Omnibus itu fokus pada empat karakter utama: Aksan (Wong Aksan), Dina (Oppie Andaresta), Lina (Bianca Adinegoro), dan Andre (Ryan Hidayat). Masing-masing cerita ditulis dan diarahkan empat sutradara berbeda: Riri Riza, Nan T Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani. Cerita mereka sama sekali tak bersinggungan. Masing-masing tokoh utama sama sekali tak pernah berpapasan, atau saling bertukar bincang.

Cerita Aksan tentang anak muda yang cuma punya mimpi untuk bisa bikin film, tapi terkendala restu ayah dan dana. Sementara Andre adalah anak orang kaya yang punya masalah parasosial dengan idolanya, Kurt Cobain. Selanjutnya Lina, seorang karyawati yang jadi korban perkosaan bosanya, Jakob Gamarhada (Toro Margens), yang dibingkai menang di ujung cerita.

Sumber: IMDB

Karakter Budi dan Yanto hadir dalam kisah Dina, seorang penjaga karcis bioskop yang terobsesi dengan Max Mollo (Dik Doank), seorang pembaca acara populer di TV. Mereka hadir sebagai tetangga kos Dina, yang kelak jadi sahabat. Dalam Kuldesak, Dina dan sahabatnya jadi satu-satunya representasi kaum pekerja kelas bawah di Jakarta.

Penggambaran karakter Budi dan Yanto lumayan progresif karena keduanya tidak terlihat takut dengan relasi mereka. Bahkan cenderung tidak menutup-nutupinya. Cinta keduanya tidak digambarkan sebagai sesuatu yang salah, tapi disalahpahami masyarakat. Sehingga yang jahat, adalah mereka yang tidak mengerti cinta mereka.

Baca juga: Film di Asia Tenggara Belum Inklusif, Minim Representasi Lesbian dan Transpuan

2. Pasangan Legendaris Sakti dan Nino

Film kedua Nia Dinata, Arisan! (ditulis berdua oleh Nia dan Joko Anwar) sempat jadi film paling populer pada era 2000-an. Adegan ciuman Sakti (Tora Sudiro) dan Nino (Surya Saputra) ramai jadi kontroversi karena jadi yang pertama dalam sejarah film Indonesia.

Protes tentang adegan itu sejalan dengan dukungan yang diterima Nia. “Bayangkan, ANTV aja sampai minta dijadikan series di televisi. Dan enggak ada kejadian apa-apa. Betapa open-minded-nya [masyarakat] kita dulu,” kata Nia pada saya, 2018 silam.

Sumber: Arsip Festival Film Indonesia

Kehadiran Sakti-Nino cukup diterima sampai-sampai ANTV meminta Nia untuk membuat 39 episode Arisan! The Series pada 2006 silam. Mereka sempat hadir lagi dalam Arisan! 2 (2011). Sayangnya, keduanya sudah tidak lagi jadi pasangan. Nino hadir dengan pacar baru. Relasi keduanya cukup memperkaya khasanah dan konteks percintaan pasangan gay di Indonesia, yang seperti kelompok heteroseksual: Belum tentu sehidup-semati sampai ajal.

Baca juga: Isu LGBT dalam Komik Miiko, Catatan Seorang Queer yang Tumbuh dengan Ceritanya

3. Benyamin Sueb Sebagai Betty Bencong Slebor

Sebelum tumbangnya rezim otoriter Soeharto, karakter queer di perfilman Indonesia memang lebih sering tampil jadi sosok aneh, kalau bukan bahan lelucon semata. Salah satu karakter waria paling populer dari era tersebut adalah Betty yang diperankan Benyamin Sueb dalam Betty Bencong Slebor (1978).

Meski begitu, ada banyak adegan dan plot yang juga memberdayakan dalam film tersebut. Nurdiyansyah Dalidjo dalam Mengenang Jejak Queer dalam Budaya Pop Kita, menulis beberapa poin baik yang ia dapat dari film tersebut.

Misalnya, adegan pengorganisiran transpuan (saat itu waria) yang dilatih ilmu bela diri untuk melawan penindasan dan potensi kekerasan dari aparat. Atau adegan di kantor polisi saat petugas polisi menanyakan foto dan nama Betty di KTP. Isu diskriminasi pada kelompok transpuan dalam birokrasi kita sudah dicatat dalam film tersebut.

4. Adam, Si Transpuan Superhero Pertama

Sederhana, tapi belum berani dilakukan Marvel Cinematic Universe (MCU). Di mana kamu pernah menonton karakter transpuan jadi superhero? Usia 20 tahun dan kesuksesan besar saja tak bisa bikin MCU berani merilis film seperti itu. Tapi, Indonesia boleh bangga pada Lucky Kuswandi. Ia sutradara pertama yang berani bikin film dengan tokoh utama transpuan yang jadi superhero.

Di Indonesia, karakter transgender jadi peran utama memang bukan hal baru. Betty dalam Betty Bencong Slebor (1978) memang jadi pelopor. Tapi, pilihan itu jarang terjadi. Kalaupun ada, karakter-karakter queer di perfilman Indonesia sering kali hadir sebagai sosok aneh dan bahan lelucon.

Adam (diperankan Aming) jadi salah satu, dari sedikit sekali, karakter queer sekaligus transpuan yang ditulis hati-hati. Ia memang lucu, pekerja salon, melakukan prostitusi, dan miskin, sebagaimana seringnya karakter transpuan ditampilkan di film-film Indonesia. Karakteristik begitu biasanya dituliskan para penulis naskah dengan alasan merekam atau menyadur realitas yang mereka pantau, ketika tak mau dituding asal-asalan atau sembrono.

Sumber: IMDB

Tapi, lewat Adam, Lucky Kuswandi berani mengimajinasikan seorang pahlawan super yang berdaya meski ditindas, berani meski dilanda trauma besar, dan yang paling mengagumkan: menjunjung nilai-nilai kolektif dalam melawan sistem opresif yang menindasnya.

Sebelum menonjolkan lagi konsep chosen family di Ali & Ratu-ratu Queens (2021), Lucky sudah lebih dulu memakainya dalam Madame X. Ia juga menyelipkan plot perbudakan perempuan ala The Handmaid’s Tale untuk mempertontonkan bagaimana perjuangan membebaskan eksploitasi agensi perempuan dan queer di bawah payung feminisme tanpa eksposisi yang menggurui.

Hal itu yang bikin karakter Adam bahkan jauh lebih progresif melawan patriarki dan sistem biner, bila dibandingkan film-film bertema serupa yang belakangan dirayakan, seperti Kucumbu Tubuh Indahku (2019) atau Yuni (2021).

Tak cuma mantap dalam menyampaikan pesan dan kritik sosial, aspek teknis film ini yang dibikin campy sebetulnya juga sangat menarik. 

5. Gia dan Naomi dalam Selamat Pagi, Malam

Selain Adam, Lucky juga punya pasangan lesbian Gia (diperankan Adinia Wirasti) dan Naomi (diperankan Marissa Anita) yang terkenal lewat Selamat Pagi, Malam (2014). Ceritanya lumayan sederhana, tentang pertemuan sepasang kekasih setelah berpisah lama dan tinggal di kota yang berbeda. Mereka bernostalgia lagi tentang Jakarta, sekaligus meneropong masa depan hubungan sesama jenis mereka di negara yang masih kejam pada kelompoknya.

karakter queer lbgt di film selamat pagi malam
Sumber: Cosmopolitan Indonesia

Namun, yang bikin dua karakter ini spesial ialah karena mereka jadi representasi kecil pasangan lesbian dalam layar lebar Indonesia. Sudahlah tidak banyak jumlahnya, cerita mereka juga sering kali kelam atau betul-betul “dirahasiakan” seperti dalam Detik Terakhir (2005) atau Tentang Dia (2005).

Dalam Detik Terakhir misalnya, karakter Regi dan Vela (Cornelia Agatha dan Sausan Machari) yang terjebak penyalahgunaan narkotika. Relasi mereka kuat, tapi masa depannya suram. Sementara dalam Tentang Dia, relasi kedua perempuannya lebih ditonjolkan seperti sahabat belaka, ketimbang blak-blakan sebagai kekasih.

Cerita Gia dan Naomi, meski tetap berakhir sedih, jadi semacam penghiburan kecil.

Baca juga: Club Sinema BeloQ Dorong Literasi Film dengan Perspektif Queer

6. The Sun, The Moon, & The Hurricane dan Akses Menonton Film Queer

Salah satu fenomena yang perlu dicatat tentang film-film queer di Indonesia adalah bagaiman mereka didistribusikan. Tidak semuanya bisa tayang di jaringan bioskop besar seperti Arisan!. Kalaupun boleh, sering kali mereka diberikan jumlah layar sedikit seperti Kucumbu Tubuh Indahku (2017, Garin Nugroho). Lebih sering lagi, mereka cuma didistribusikan lewat jalur menonton alternatif, seperti penayangan terbatasa, bioskop alternatif, streaming online, atau jalur festival-festival kecil.

Membatasi akses menonton film-film begini tentu saja sebuah bentuk diskriminasi. Itu sebabnya, menonton film-film dengan representasi kelompok queer yang memberdayakan, atau cerita bernuansa luas sering kali jadi kemewahan yang tidak bisa dinikmati semua orang.

Karakter queer di film indonesia
Sumber: IMDB

Salah satu judul film panjang yang sering kali muncul di festival film queer adalah The Sun, The Moon, & The Hurricane (2014), karya Andri Chung. Film ini terkenal di kalangan queer, terutama mereka yang masih muda di masa ia dirilis. Namun, akses menontonnya sering kali seperti proses menemukan jarum dalam jerami, terutama dulu ketika akses menonton di layanan streaming belum seramai sekarang.

Saya ingat, penasaran setengah mati tentang cerita cinta segitiga sepasang homoseksual yang salah satunya sudah beristri ini. Tapi, akses untuk menontonnya susah betul karena cuma hadir di festival-festival yang dirayakan di hari-hari terbatas di kota-kota besar saja.
Buat saya, The Sun, The Moon, & The Hurricane akan selalu jadi lambang betapa pentingnya memutus distribusi diskriminatif dalam industri perfilman.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *