Karlina Supelli Soal Kartini dan Perlawanan Perempuan Hari Ini
Aktivis dan filsuf Karlina Supelli membahas Kartini, perempuan hari ini, dan pentingnya berimajinasi tentang Indonesia.
Bagaimana kita memahami Kartini dalam konteks perempuan hari ini?
Perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879, itu umumnya dikenal lewat lagu “Ibu Kita Kartini” gubahan W. R. Supratman. Namanya identik dengan ide “emansipasi wanita” dan beragam cara ide itu dimaknai sejak era kolonial hingga reformasi.
Kartini adalah perempuan yang melawan. Lewat surat-suratnya, ia menyuarakan kritik tajam atas dunia di sekitarnya, dan merekam pengalaman dan pemikirannya sebagai perempuan priyayi Jawa. Ia mengecam kungkungan tradisi, patriarki, dan pemerintah kolonial.
Sepeninggal Kartini pada 1904, sebagian surat-suratnya diterbitkan pada 1911 oleh Jacques Henrij Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada 1900-1905. Sejak terbitnya surat-surat Kartini, perempuan mulai bergerak memperjuangkan nasib mereka. Puteri Mardika, organisasi politik perempuan pertama di Hindia Belanda, berdiri pada 1912.
Sejak itu, perjuangan perempuan terus bergulir. Sejarah mencatat Kongres Perempuan Indonesia ke-I di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 sebagai salah satu tonggak utamanya. Sikap politis gerakan perempuan hadir pula ketika mereka bergabung dengan kelompok nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, sampai hari ini, perjuangan Kartini kerap direduksi maknanya. Hari Kartini menjadi lomba berkebaya atau memasak, sarat dengan promosi diskon produk kecantikan maupun kebutuhan anak, hingga debat kusir tentang mengapa harus ada Hari Kartini ketika ada banyak perempuan pahlawan lainnya, beberapa bahkan berperang di garis depan.
Untuk menggali bagaimana perlawanan Kartini memantik semangat perjuangan perempuan di Indonesia, saya berbincang baru-baru ini dengan aktivis perempuan dan filsuf sekaligus astronom Karlina Supelli. Turut menggagas berdirinya Suara Ibu Peduli, yang kemudian menginspirasi dan mendukung aksi protes mahasiswa pada Mei 1998 yang membuat Presiden Soeharto mundur, Karlina kini aktif mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta.
Berikut petikan wawancara bersama Karlina Supelli.
Tanya (T): Bagaimana perlawanan dan cita-cita Kartini, yang menginspirasi berbagai gerakan perempuan sejak masa perjuangan kemerdekaan, dimaknai oleh pihak penguasa?
Jawab (J): Surat-surat Kartini pertama kali diterbitkan pejabat pemerintah kolonial, setelah diseleksi dan disunting sedemikian rupa, sehingga kritik-kritiknya yang tajam itu disensor. Padahal, Kartini sangat kritis terhadap pemerintah kolonial.
Kartini kemudian diidentikkan dengan “Ibu Kita Kartini” karena kepentingan Orde Baru. Padahal, “ibu”, kalau melihat sejarah Indonesia, sejak awal kebangkitan nasional, sudah aktif sekali. Mereka melawan dengan sangat vokal dan politis.
Pada mulanya, organisasi perempuan pada era prakemerdekaan berfokus di isu pendidikan perempuan, seperti halnya Kartini. Pascakemerdekaan, organisasi perempuan mengevaluasi arah gerakan mereka. Ada yang bergerak di isu-isu pendidikan, domestik, juga politik, seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah 1965, Gerwani benar-benar dihancurkan karena menunjukkan bahwa perempuan bisa memiliki kekuatan politik yang besar. Lalu perempuan dibuat tunduk sesudahnya. Gerakan perempuan hanya boleh eksis bila menyangkut kesejahteraan, seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita, yang menjadi alat kontrol Orde Baru. Yang terjadi adalah demonization, agar jangan ada lagi perempuan yang melawan.
Apa yang kemudian dilakukan oleh Orde Baru?
Kartini sudah digelari Pahlawan Nasional oleh Soekarno. Namun Orde Baru memilih Kartini sebagai sosok pahlawan karena ia perempuan Jawa yang patuh. Kepatuhan inilah yang dicari. Orde Baru membutuhkan sosok contoh bagi perempuan, yang mereka sebut sebagai wanita, yang bertugas sebagai ibu, baik sebagai ibu biologis maupun ibu ideologis, yang kemudian menjadi ibu bangsa.
Kartini menjadi simbol yang fotonya dipajang, tapi pemikirannya tidak banyak dikenal. Padahal, kalau kita baca surat-surat Kartini, ada begitu banyak hal yang menjadi sangat relevan dan penting sekarang ini.
Apa saja pemikiran Kartini yang relevan dengan masa kini?
Pertama, pendidikan perempuan. Cita-cita Kartini tentang pendidikan perempuan sudah saatnya dihidupkan kembali. Perempuan, apa pun pilihan hidup dia nantinya, mau menjadi ibu rumah tangga ataupun bekerja, harus berpendidikan, minimal wajib belajar 12 tahun.
Kedua, kritik Kartini terhadap agama. Apalagi dengan adanya gerakan di masyarakat yang mendorong perempuan kembali ke ranah dan peran domestik, bahkan menerima poligami, karena ajaran agama. Inilah yang membuat Kartini relevan di masa sekarang, termasuk penolakannya terhadap poligami, meskipun ironisnya, ia memutuskan menerima pinangan pria beristri. Ini pilihan dilematis baginya.
Di masa itu, Kartini juga memikirkan tentang politik identitas, dan bagaimana pemerintah kolonial tidak sepatutnya merasa lebih memahami budaya Jawa dibandingkan orang Jawa, gagasan yang kini dipelajari dalam kajian post-collonial.
Bila kita membaca kembali surat-suratnya, kita akan melihat bahwa Kartini adalah seorang pemikir, yang berani membuat keputusan meskipun tidak sepenuhnya bebas.
Perjuangan gerakan perempuan adalah agar perempuan bisa membuat keputusan dengan bebas, apa pun pilihan mereka.
Sebenarnya, bagaimana Kartini mengungkapkan cita-citanya lewat surat-suratnya?
Kita tidak bisa membicarakan Kartini tanpa membicarakan tulisan-tulisannya dalam konteks kehidupannya saat itu, juga privilesenya. Lewat naskah asli surat-surat Kartini, kita bisa menemukan sosok Kartini yang seorang nasionalis, seorang feminis. Meski belum membayangkan akan adanya Indonesia yang merdeka, Kartini memiliki wawasan kebangsaan, dan mengetahui bahwa ada wilayah lain di luar Jawa. Sehingga, ketika ia harus melepaskan beasiswa ke Belanda, ia memberikannya kepada Agus Salim dari Sumatra Barat.
Kartini menjadi simbol yang fotonya dipajang, tapi pemikirannya tidak banyak dikenal. Padahal, kalau kita baca surat-surat Kartini, ada begitu banyak hal yang menjadi sangat relevan dan penting sekarang ini.
Bagaimana pendapat Anda tentang perdebatan tahunan seputar perayaan Hari Kartini?
Mempertanyakan “mengapa harus Kartini” adalah sesuatu yang basi. Ada pahlawan perempuan yang pada masa itu punya kebebasan untuk berperang, misalnya Laksamana Malahayati. Tidak demikian dengan Kartini, yang tersembunyi karena dipingit. Ada konteks budaya pada saat itu yang harus diperhatikan.
Intinya, tidak ada pengalaman perempuan yang bisa digeneralisasi. Tidak ada cara tunggal untuk mendefinisikan pengalaman, perjuangan, dan medan perang perempuan. Satu hal yang membedakan Kartini dengan kebanyakan pahlawan perempuan adalah bahwa ia menulis, dan ia punya warisan berupa tulisan-tulisannya, sehingga pemikirannya bisa dipelajari.
Apa yang perlu lebih dipahami orang-orang tentang perjuangan Kartini?
Perjuangan Kartini bukan hanya soal gender, keperempuanan, dan nasionalisme, tetapi juga intelektual. Perempuan perlu mengembangkan intelektualitas mereka, perempuan mesti belajar dan terdidik. Medan pertempuran Kartini adalah tentang mencetak perempuan-perempuan terdidik yang mampu mendidik anak-anak mereka, sehingga dapat menghasilkan generasi yang cerdas.
Salah satu gagasan Kartini tentang pendidikan perempuan adalah bahwa perempuan adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Menurut Anda, apa yang melatarbelakangi gagasan ini?
Kartini mendekonstruksi ide feminisme barat tentang akses perempuan terhadap pendidikan, dan membawanya ke peran perempuan sebagai ibu yang mendidik anak-anak mereka. Ini karena ia menyadari bahwa ia berada dalam lingkup tradisi dan budaya, tapi ia juga punya cita-cita untuk melanglang buana.
Ia cukup cerdas. Di sisi lain juga mempertimbangkan perannya sebagai anak dan bahwa ia perlu berbakti pada orang tuanya. Maka, ia memikirkan apa yang masih bisa dia lakukan di dalam kungkungan budaya itu, yaitu mendirikan sekolah untuk mendidik perempuan agar bisa mendidik anak-anak mereka, menjadikan ibu sebagai madrasah pertama anak-anaknya.
Di mata sebagian orang, apa yang diperjuangkan Kartini kini sudah tercapai, sehingga perempuan tak perlu lagi menuntut kesetaraan. Apa komentar Anda?
Ada kekeliruan mendasar dalam anggapan bahwa emansipasi wanita yang dicita-citakan Kartini sudah tercapai, karena sudah ada perempuan yang bisa menjadi profesor, menteri, presiden, dan lain-lain. Gerakan dan perjuangan perempuan itu jadinya dilihat dari level personal, bukannya level sosial, kultural, maupun politik.
Perempuan memang ada yang sudah mencapai posisi-posisi tertentu, tapi berapa persen dari keseluruhan? Pencapaian mereka pun adalah hasil dari perjuangan personal, yang dimungkinkan oleh privilese-privilese tertentu. Kita juga perlu melihat nasib perempuan kebanyakan.
Menurut Anda, apa pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk menanggapi pandangan keliru bahwa perempuan sudah setara dengan laki-laki?
Ketika masih muncul pertanyaan, “Mengapa perempuan menuntut kesetaraan?”, itu menjadi bukti bahwa masih banyak sekali yang belum kita lakukan.
Pendidikan berkeadilan gender masih langka di Indonesia. Ide bahwa perempuan dianggap lemah dan harus dilindungi masih sangat kuat, karena ide keadilan gender itu belum tersebar.
(Filsuf) Simone de Beauvoir menyadari bahwa banyak perempuan menikmati adanya perlakuan istimewa yang mereka terima sebagai perempuan, terbujuk dengan sebutan semacam ratu rumah tangga, tiang negara, dan sebagainya, yang sebetulnya meminggirkan perempuan.
Oleh karenanya, perlu upaya untuk mendekonstruksi, membongkar seluruh akar ideologis yang tanpa sadar tertanam sejak kecil. Perjuangan untuk itu ada dalam banyak level, dan itu tidak mudah.
Kartini dan perempuan hari ini
Bagaimana Anda menggambarkan semangat perlawanan dalam Suara Ibu Peduli?
Saya ikut mendirikan Suara Ibu Peduli bersama Gadis Arivia, ketika situasi Indonesia pada 1997 memasuki krisis ekonomi, hidup sehari-hari menjadi sangat susah. Menurut kami dan rekan-rekan lain di Jurnal Perempuan, sumber dari krisis ekonomi itu adalah krisis politik, sementara saat itu tidak ada pilihan politik yang lain, dan 1998 adalah tahun Pemilu.
Mulailah kami mengumpulkan aktivis perempuan, merancang bahwa kami harus turun ke jalan, karena situasi sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kami memilih hari Senin, 23 Februari 1998, saat diadakan sidang MPR/DPR. Semua direncanakan dengan matang. Kami menaruh isu-isu strategis dalam bungkus yang benar-benar menunjukkan kepedulian perempuan.
Pilihan nama Suara Ibu Peduli sangat politis. Ketika makanan sudah tidak bisa disediakan lagi, itulah saatnya ibu bersuara. Kami memilih kata “ibu”, bukan “perempuan”, agar tidak ketahuan bahwa ini digerakkan aktivis, dan dianggap subversif. Dan ini adalah ibu-ibu yang peduli terhadap masa depan anak. Karena harga susu sudah begitu mahal, bagaimana kita dapat menghasilkan bangsa yang cerdas ketika gizi mereka tidak tercukupi?
Apa yang terjadi saat Suara Ibu Peduli turun ke jalan?
Saat itu, wartawan sudah menunggu di Bundaran Hotel Indonesia, setelah menghadiri konferensi pers dan diberi informasi bahwa akan ada yang turun ke jalan.
Datanglah saya, mengenakan kacamata hitam, busana warna jingga dan sepatu hak tinggi, dan membawa payung. Semua jurnalis sontak menghampiri. Jadilah saya bergaya, berpose macam-macam, dan mereka memotret saya dengan hebohnya. Polisi sempat curiga, tapi kemudian teralihkan.
Saya punya kode kalau situasi aman untuk berdemonstrasi. Begitu saya buka payung, semua turun. Mereka membuat barisan, mengeluarkan poster yang disembunyikan di balik baju, lalu mulai menyanyi dan berorasi.
Ketika berdemonstrasi, orasinya kami buat sedemikian rupa. Ketika polisi hendak menghentikan kami, kami berkata, “Bapak, tidak baik menghentikan orang yang sedang berdoa. Izinkan kami selesai berdoa dulu.”
Tak lama setelah itu, saya, Gadis Arivia, dan Wilarsih, ditangkap polisi.
Kartini memiliki wawasan kebangsaan, dan mengetahui bahwa ada wilayah lain di luar Jawa. Sehingga, ketika ia harus melepaskan beasiswa ke Belanda, ia memberikannya kepada Agus Salim dari Sumatra Barat.
Bagaimana suasana saat Anda ditahan?
Tegang sekali. Waktu itu, kami tidak pernah tahu, hukum akan bekerja seperti apa. Yang coba diupayakan pengacara kami adalah jangan sampai keluar tuduhan subversif. Kalau sampai kena tuduhan itu, hukumannya berat sekali, bisa kurungan seumur hidup atau bahkan dihukum mati.
Yang membuat kami jengkel, polisi tidak percaya bahwa perempuan bisa melakukan gerakan ini. Mereka terus mencari tahu siapa kekuatan politik di belakang kami. Padahal memang tidak ada, dalangnya ya kami ibu-ibu ini.
Yang menarik adalah gerakan masyarakat di luar sana, ketika kami sedang diinterogasi. Masyarakat saling menggerakkan. Dukungan untuk kami terus mengalir, sampai akhirnya kami dibebaskan keesokan harinya.
Sesudah itu, Suara Ibu Peduli jalan terus, karena kemudian ada kerusuhan Mei 1998 dan sebagainya. Saat itu, ibu-ibu, sebagai bagian dari masyarakat, juga benar-benar terlibat langsung.
Seperti apa peran Suara Ibu Peduli dalam kelahiran Reformasi?
Sepanjang Februari-Mei 1998 menjelang reformasi, banyak inisiatif yang bergulir. Kantor Suara Ibu Peduli menjadi pusat koordinasi nasi bungkus yang dibagikan ke mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR.
Sempat muncul ketegangan, karena ada anggapan kami mengembalikan perempuan ke ranah domestik. Padahal, nasi bungkus ini adalah sesuatu yang politis, karena mahasiswa tidak akan bisa bertahan berhari-hari tanpa makanan. Nasi bungkus itu pun disediakan oleh masyarakat, bukan kami. Dengan kata lain, kami menggerakkan masyarakat untuk mendukung mahasiswa.
Isu domestik perempuan menjadi strategi kami, karena kami percaya pada feminisme gelombang kedua, bahwa hal-hal yang privat, itulah yang publik. Kalau ibu-ibu sudah bergerak membagikan nasi bungkus untuk anak-anak mereka yang berdemonstrasi, ada yang salah dengan pemerintah.
Memang aksi ini kelihatannya seperti mengembalikan perempuan ke peran domestik mereka, tetapi lewat itu mereka memberi makan perjuangan. Nasi bungkus menjadi simbol perlawanan.
Menurut Anda, apa yang perlu dilawan oleh perempuan saat ini?
Perempuan masih harus melawan ketidakadilan. Bukan hanya ketidakadilan gender, tetapi juga ketidakadilan dalam ekonomi, politik, dan budaya. Karena, akhirnya yang paling terpengaruh oleh kondisi ketimpangan di masyarakat, termasuk ketimpangan ekonomi, adalah perempuan.
Anda pernah berkata, Anda pernah bilang, kehidupan itu terlalu berharga untuk tidak diperjuangkan. Seperti apa cara Anda memperjuangkan kehidupan?
Ketika saya mengatakan itu, konteksnya lebih luas daripada hanya saya pribadi, tetapi juga hidup orang lain. Perjuangan seringkali meletihkan, tidak semua sistem mendukung. Contohnya, masih ada yang beranggapan bahwa perempuan sudah setara dengan laki-laki.
Menjaga ruh perjuangan itu tidak gampang. Saya membayangkan ruh itu bisa dirawat dengan cara membayangkan masa depan. Kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah kurang mengembangkan imajinasi, dan tanpa imajinasi kita sangat sulit berempati kepada orang lain.
Kelelahan itu wajar. Beristirahatlah sebentar, juga untuk berefleksi, kita sudah bergerak sejauh mana, apa yang gagal, berhasil, dan perlu ditingkatkan. Jangan terus melepaskan energi.
Kehidupan itu perlu diperjuangkan bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk cita-cita dan bayangan kita akan masa depan. Tahun 2045 sebentar lagi, bagaimana kita bisa bicara bonus demografi kalau masih banyak kasus anak stunting?
Berimajinasilah tentang Indonesia, bayangkan bila kita terus berjuang, dan bila kita menyerah. Indonesia tidak akan ada jika bapak-bapak bangsa kita, dan perempuan-perempuan dalam gerakan perempuan, memilih menyerah karena lelah. Itu merupakan kewajiban moral kita.
Baca juga tentang Kartini, nasionalis yang terlupakan.