Kasus Dugaan Pemerkosaan Anggota Sindikasi Masih Berlanjut
Kasus dugaan pemerkosaan oleh anggota serikat pekerja kreatif Sindikasi tidak akan ditutup sampai korban siap membuka diri.
Setelah bekerja selama enam bulan, Agustus hingga Januari, untuk mencari fakta terkait kasus dugaan pemerkosaan oleh anggota serikat pekerja kreatif Sindikasi, Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) menyatakan kasus belum selesai karena korban belum siap membuka diri.
Menurut anggota TIPF Nenden S. Arum, sebenarnya masa kerja TIPF sudah usai sehingga tidak ada lagi upaya pencarian fakta dari tim tersebut.
“Namun, lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan anggota TIPF tetap terbuka untuk dihubungi siapa pun terkait kasus ini untuk kepentingan pengungkapan kasus dan pemulihan korbannya. Jika ada yang melapor ke kami (anggota TIPF) pun, meski sudah selesai [masa kerjanya], kita akan coba wadahi dan meneruskan ke Sindikasi,” ujar Nenden kepada Magdalene (9/2).
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati yang juga tergabung dalam tim pencari fakta tersebut mengatakan, sampai proses pencarian berakhir, pelapor atau korban belum menghubungi kembali pihak TIPF dan belum menggunakan kanal pengaduan yang disediakan seperti nomor kontak atau e-mail TIPF.
“Kami mencoba berbagai upaya, termasuk menghubungi pelapor lewat direct message dan memberi waktu yang cukup bagi pelapor atau orang yang dipercayainya untuk memberi informasi lebih lanjut,” ujarnya dalam Konferensi Pers “Laporan Tim Independen Pencari Fakta Kasus Dugaan Perkosaan oleh Anggota Sindikasi” (8/2).
TIPF menyatakan, karena ada hambatan dalam proses konfirmasi dari korban selaku pemilik kebenaran, posisi pengungkapan kasus masih pada tataran pelapor yang menyatakan telah terjadinya kasus kekerasan seksual dan terlapor yang dituduh sebagai pelaku.
Asfinawati menambahkan, dalam upayanya mencari fakta, TIPF juga menjangkau sosok yang disebut dalam twit @Dianratti, tapi tidak membuahkan hasil karena narasumber tersebut tidak mengenal atau pernah bertemu dengan pelapor atau korban.
“Meski begitu, narasumber menceritakan kemungkinan korban kasus kekerasan seksual berbeda yang diduga dilakukan oleh terlapor. Tapi, narasumber tidak dapat memastikan korban yang dimaksud,” ujarnya.
Baca juga: Sebagai Penyintas, Ini yang Saya Pelajari dari Kasus Sindikasi
Pentingnya Konfirmasi dari Korban Kekerasan Seksual
Mantan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Azriana Manalu mengatakan, adanya konfirmasi dari korban adalah hal yang penting untuk mendapatkan keterangan utuh tentang kasus kekerasan seksual yang dialami.
“Konfirmasi dibutuhkan supaya bisa digunakan untuk membuktikan telah terjadi peristiwa pemerkosaan, menetapkan pelaku, serta mengidentifikasi kebutuhan pemulihan korban,” kata Azriana.
Ia menambahkan, sikap pelapor yang menutup diri dan tidak ada pihak lain yang bisa mewakilinya bisa disebabkan oleh perasaan kecewa terhadap proses penanganan kasus tersebut sebelumnya dan belum terbangun kepercayaannya kepada TIPF.
“Oleh karena itu, penting sekali tetap membuka kasus ini kembali ketika pelapor siap untuk dikonfirmasi, baik secara langsung atau dengan pendamping,” ujar Azriana.
“Kami sangat memahami keputusan korban yang sekiranya belum siap mengonfirmasi. Kami memberikan waktu kepada korban untuk mempersiapkan dirinya dan berharap suatu saat korban bersedia agar kasus ini bisa kita ungkap dan korban dapat mengakses pemulihan,” tambahnya.
Surat Elektronik ‘Mosi Tidak Percaya’
Selama masa kerjanya, TIPF berfokus pada laporan kasus kekerasan seksual korban yang disebarkan menggunakan e-mail Sindikasi bertajuk “Mosi Tidak Percaya” pada 21 Oktober 2018, dan cuitan akun Twitter @Dianratti sepanjang Juli-Agustus 2020 yang kecewa dengan proses penanganan kasusnya saat itu. Dalam twitnya, Dian juga menyebutkan bahwa ia dibantu oleh sosok internal dalam Sindikasi untuk mengirimkan surat mosi tidak percaya itu.
Terkait penggunaan e-mail Sindikasi untuk menyebarkan surat, Pelaksana Tugas Ketua Harian Sindikasi, Ikhsan Raharjo, mengatakan bahwa hal pertama yang dilakukan Sindikasi adalah melacak penyebaran surat tersebut, mencari keterangan dari anggota yang mungkin memiliki informasi tentang penggunaan e-mail, dan membentuk Tim Pencari Fakta Internal.
Baca juga: 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei
“Meski demikian, kami juga belum menemukan titik terang asal penyebaran surat tersebut. Satu hal yang ditemukan oleh Tim Pencari Fakta Internal adalah peristiwa penyebaran e-mail itu tidak dilakukan dengan cara meretas,” ujarnya kepada Magdalene (9/2).
Nenden mengatakan, karena tidak ditemukan upaya peretasan dan hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah, maka peristiwa penggunaan e-mail tidak diusut lebih lanjut. TIPF menyayangkan hal itu karena penggunaan akun e-mail Sindikasi untuk mengirimkan mosi tersebut dapat menjadi titik terang untuk mengungkap kasus pemerkosaan.
Azriana menambahkan, yang harus ditanya oleh pihak Sindikasi adalah sosok internal yang memiliki akses pada kata sandi e-mail, sebab mereka tentunya memberi akses kepada pengirim e-mail mosi tidak percaya.
“Memang waktu itu, hasil wawancara kami dengan Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) yang dilakukan Sindikasi adalah mengubah password sebagai langkah pencegahan berulangnya penyalahgunaan password, tapi tidak mengusut penyalahgunaan yang terjadi sebelumnya. Ini sangat disayangkan,” ujarnya.
Azriana mengatakan bahwa kasus ini memperlihatkan rumitnya pengungkapan kasus pemerkosaan.
“Ini juga tidak lepas dari sejumlah faktor di masyarakat dan tatanan negara dengan keterbatasan yang bisa diberikan untuk melindungi korban kekerasan seksual,” ujarnya.
Rekomendasi TIPF untuk Kasus Sindikasi
TIPF merekomendasikan agar Sindikasi terus melanjutkan pembenahan organisasi yang dilakukan pasca-pelaporan dugaan pemerkosaan, seperti melengkapi perangkat organisasi dengan kode etik yang mengatur etika anggota dan mengintegrasikan poin anti-kekerasan pada anggaran dasar (AD) serta anggaran rumah tangga (ART) organisasi. Rekomendasi tersebut diberikan untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual, terutama oleh anggota Sindikasi.
Selain itu, Sindikasi juga diminta untuk mengintegrasikan jaminan kerahasiaan dan perlindungan diri korban dari tindakan balas dendam pelaku dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) organisasi.
Baca juga: Sedihnya Melihat Aktivis Tapi Hipokrit
Terkait SOP dalam Sindikasi, Luviana, jurnalis yang juga mewakili MPO Sindikasi, mengatakan bahwa setelah kasus 2018, Sindikasi membuat SOP untuk penanganan kekerasan seksual, tapi belum secara rinci. Setelah merebak kasus pada 2020, respons Sindikasi adalah memperbaiki SOP tersebut dan sekarang mencakup penanganan, pencegahan, dan pemulihan terhadap korban.
“Tidak hanya SOP, AD dan ART organisasi yang memuat usulan atau prespektif soal kekerasan seksual sudah jadi. Sementara kode etik dibahas dalam rapat koordinasi oleh pengurus baru yang akan mengerjakan ini,” ujarnya.
Azriana menambahkan, rekomendasi lain dari TIPF adalah mencabut status non-aktif yang diberikan pada terduga pelaku Nadi Tirta Pradesha atau Esha dan ketua Sindikasi terdahulu, Ellena Ekarahendy, yang disebut melindungi pelaku. Untuk terlapor atau pelaku, pencabutan status tersebut berlaku sampai kasus kekerasan seksual ini dibuka kembali.
“Kami merekomendasikan agar sanksi non-aktif dicabut karena dalam pandangan kami, laporan belum bisa dikonfirmasi. Karenanya, akan terlalu berlebihan jika terlapor sudah dikenakan sanksi, kecuali jika Sindikasi memiliki aturan internal sendiri untuk mengatur hal itu,” ujar Azriana.
Dalam press release tanggapan Sindikasi mengenai rekomendasi TIPF yang diterima Magdalene (10/2), Sindikasi menerima pengunduran diri Ellena Ekarahendy. Sementara untuk Nadi Tirta Pradesha, Sindikasi memberhentikannya sebagai anggota dengan tidak terhormat.
Keputusan untuk memberhentikan Esha itu merupakan hasil pertimbangan dari rekomendasi TIPF yang menyatakan Sindikasi bisa menerapkan mekanisme lain terhadap terlapor. Mengutip rilis tersebut, “[Pemberhentian Esha] untuk memberi rasa aman kepada pelapor dan berdasarkan pertimbangan mengenai dampak terhadap organisasi, serta sikap yang ditunjukkannya sepanjang kasus ini yang telah memperburuk situasi.”
Sindikasi juga menggarisbawahi bahwa kasus tidak akan ditutup sampai adanya penyelesaian, pemulihan korban, dan akan mendampingi untuk membuat laporan ke lembaga hukum.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.