Dari THR hingga Liburan Luar Negeri: 5 Penyalahgunaan Wewenang Pejabat lewat Surat Negara
Surat resmi negara seharusnya digunakan untuk urusan penting, termasuk mengatur kebijakan publik, memberi instruksi pemerintahan, atau menyampaikan keputusan strategis. Dengan kop lembaga, nomor surat, dan tanda tangan pejabat, surat ini idealnya jadi simbol integritas dan akuntabilitas negara.
Namun faktanya, surat resmi negara justru sering dipakai untuk hal-hal remeh bahkan cenderung personal. Ada yang menggunakannya untuk minta THR, memuluskan agenda keluarga, sampai jadi surat jalan buat pelesiran ke luar negeri.
Magdalene merangkum lima contoh surat resmi negara yang disalahgunakan demi kepentingan pribadi. Daftarnya bikin geleng-geleng kepala.
Baca juga: Habis UU TNI Terbitlah RUU Polri: Ini 4 Bahayanya Jika Disahkan
1. Surat Kementerian UMKM untuk Pendampingan Istri Menteri ke Eropa (2025)
Awal 2025, publik dihebohkan dengan beredarnya Surat B‑466/SM.UMKM/PR.01/2025 dari Kementerian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Mengutip Kompas, surat itu ditujukan ke enam Kedutaan Besar RI di Eropa, termasuk Sofia, Brussels, Paris, Bern, Roma, Den Haag, dan Konsulat Jenderal RI Istanbul.
Isi suratnya adalah permintaan “pendampingan” terhadap Agustina Hastarini, istri Menteri UMKM Maman Abdurahman, dalam kunjungan “misi budaya”. Namun investigasi publik menemukan, yang dimaksud adalah acara pribadi, yakni mendampingi putri mereka yang mengikuti festival budaya Euro Folk 2025.
Kritik langsung mengarah pada dugaan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga pejabat serta potensi gratifikasi. Maman dan Tina berdalih tidak tahu menahu soal surat tersebut dan menyatakan seluruh biaya menggunakan dana pribadi.
Meski demikian, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menegaskan pihaknya tetap menyelidiki potensi gratifikasi dan konflik kepentingan. Mengutip Detik, ia mengimbau pejabat negara berhenti menyalahgunakan jabatan untuk urusan pribadi.
2. Surat Permintaan THR oleh LPM Bitung Jaya ke 10 Perusahaan (Maret 2025)
Maret 2025, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Bitung Jaya, Cikupa, Kabupaten Tangerang, tertangkap menyalahgunakan surat resmi untuk meminta THR ke 10 perusahaan swasta.
Tempo melaporkan, surat dengan nomor 003/LPM-BJ/III/2025 ini menggunakan kop LPM resmi dan menyebut dana THR akan digunakan untuk “kegiatan sosial”. Tak ada penjelasan rinci atau transparansi di sana.
Publik, terutama warganet di X dan Instagram, langsung mencurigai dana itu akan dipakai secara internal, bukan untuk masyarakat. Kritik terhadap penyalahgunaan wewenang dan posisi struktural meluas di media sosial.
Kepala Desa Bitung Jaya, Mulyani sendiri mengeklaim tidak tahu adanya surat tersebut dan tidak pernah memberi izin. Setelah ia memanggil pengurus LPM, mereka mengaku bertindak atas inisiatif sendiri tanpa koordinasi.
“Sudah saya tegur. Saya juga minta mereka mencabut surat itu,” kata Mulyani kepada Kompas.
Baca juga: Raffi Ahmad, Pengawalan Mobil RI 36, dan Polisi yang Arogan
3. Surat Undangan Kementerian Desa untuk Peringatan Haul Ibunda Menteri (2024)
Pada Oktober 2024, surat undangan resmi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) beredar dan memicu kemarahan. Surat bernomor 19/UMM.02.03/X/2024 itu mengajak aparatur desa dan tokoh masyarakat Kecamatan Kramatwatu, Serang, Banten, untuk hadir di peringatan Haul ke-2 ibunda Menteri Yandri Susanto.
Acara pribadi tersebut menggunakan kop surat kementerian dan bahkan logo Kemendes PDTT terpampang di backdrop acara. Dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara pun mengemuka, terlebih haul itu berdekatan dengan pencalonan istri Yandri sebagai Bupati Serang.
Mengutip Tempo, Yandri akhirnya mengakui surat itu dibuat oleh staf kementeriannya. Ia meminta maaf kepada publik dan berjanji tidak akan mengulanginya.
4. Surat DPR untuk Penjemputan Rachel Maryam oleh KBRI Paris (2016)
Kasus serupa juga terjadi pada 2016. Anggota DPR Rachel Maryam mengirim surat berkop DPR ke KBRI Paris untuk meminta penjemputan dan transportasi lokal selama kunjungan pribadinya bersama keluarga.
Rachel berdalih surat itu adalah bagian dari “hubungan baik” antara wakil rakyat dan perwakilan luar negeri. Namun publik menilai tindakan itu sebagai bentuk katebelece, yakni penyalahgunaan atribut resmi negara untuk keperluan pribadi.
Koalisi masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melaporkan Rachel ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan pelanggaran etik. Kompas mencatat, meski tidak menggunakan dana negara secara langsung, penggunaan jalur resmi tetap dianggap pelanggaran etika.
Pihak KBRI Paris mengonfirmasi surat itu dan menyatakan hanya memberikan fasilitas penjemputan serta informasi lokal, tanpa akomodasi atau logistik lainnya.
Baca juga: ‘Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso’: Bobroknya Sistem Peradilan Kita
5. Surat DPR untuk Penjemputan Putri Fadli Zon oleh KJRI dan KBRI AS (2016)
Kasus lain menimpa Wakil Ketua DPR saat itu, Fadli Zon. Pada Juni 2016, beredar surat 271/KSAP/DPR RI/VI/2016 yang ditandatangani Kepala Biro KSAP DPR dan ditujukan ke KJRI New York serta KBRI Washington DC.
Surat itu meminta penjemputan dan pendampingan bagi Shafa Sabila Fadli, putri Fadli Zon, yang mengikuti pelatihan teater musikal Broadway. Permintaan itu menuai kritik karena tak berkaitan dengan tugas kedinasan.
Fadli mengaku tidak memerintahkan langsung pembuatan surat tersebut dan menyebut hanya memberi tahu staf soal kedatangan anaknya di New York. Ia menambahkan, tidak ada fasilitas mewah yang diberikan, hanya penjemputan sederhana.
Namun, setelah kritik publik semakin deras, Fadli mengembalikan biaya penjemputan sebesar US$100 kepada KJRI lewat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, sebagaimana diberitakan Merdeka.
Ia juga turut dilaporkan Koalisi Anti-Katebelece ke MKD bersama Rachel Maryam. Sekretariat Jenderal DPR mengakui adanya “kesalahan teknis” dalam penerbitan surat tersebut.
Mengutip RMOL, Sekjen DPR RI Winantuningtyastiti menyatakan surat itu salah format dan akan dievaluasi.
“Yang seharusnya untuk kunjungan internasional, malah oleh Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) digunakan untuk Shafa Sabila. Sehingga kalimat pendampingan tetap tertera pada surat pelaporan perjalanan imigrasi.”
Penyalahgunaan Surat Resmi Negara, Jangan Dinormalisasi
Pakar Hukum Tata Negara dari STHI Jentera Bivitri Susanti, menilai penyalahgunaan surat resmi negara adalah praktik korupsi yang dilegalkan secara kultural dan niretika.
“Katebelece maupun surat resmi yang digunakan untuk menekan instansi lain atau pejabat dengan jabatan lebih rendah termasuk di dalamnya,” ujar Bivitri kepada Tirto.
Ia menekankan, penggunaan kop surat kementerian atau lembaga negara untuk urusan pribadi tak hanya melanggar etika birokrasi, tetapi juga mencerminkan lemahnya akuntabilitas pejabat publik di Indonesia.
















