Politics & Society Safe Space

Kasus KS Ketua BEM UI Melki: Warga Harus Belajar Percaya Korban sampai Terbukti Sebaliknya

Masyarakat yang sibuk beri dukungan ke Ketua BEM UI buktikan betapa masih sulitnya korban kekerasan seksual memperoleh keadilan.

Avatar
  • February 12, 2024
  • 8 min read
  • 5080 Views
Kasus KS Ketua BEM UI Melki: Warga Harus Belajar Percaya Korban sampai Terbukti Sebaliknya

Surat Keputusan Rektor Ul Nomor 49/SK/R/UI/2024 yang ditandatangani langsung oleh Ari Kuncoro belakangan tersebar di media sosial. Dalam Surat Keputusan itu, nama Melki Sedek Huang terbukti melakukan kekerasan seksual.

Mengutip langsung dari SK yang sudah dikonfirmasi keasliannnya oleh Kepala Biro Humas dan KIP UI Amelita Lusia, Melki terbukti melakukan beberapa jenis kekerasan seksual berdasarkan hasil pemeriksaan, alat bukti, serta keterangan pihak terkait yang telah dihimpun oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI.

 

 

Kekerasan seksual ini di antaranya menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban. Selain itu, Melki juga disebutkan telah mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual jika mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 dan Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 91 Tahun 2022 Pasal 5 Ayat (2) huruf (1) dan huruf (o).

Baca Juga:Hoaks Pelecehan Seksual Mahasiswa UNY, Bahayakan Korban dan Gerakan Anti-Kekerasan

Perubahan status Melki ini sontak jadi perbincangan panas. Namanya jadi tajuk utama di berbagai media Indonesia dan masuk trending topic di X hingga sejumlah media sosial lainnya. Dalam berbagai kolom komentar di media sosial, banyak masyarakat Indonesia yang dibuat terkejut dengan berita ini. Pasalnya, baru sebulan lalu Melki berstatus sebagai terduga pelaku. Ia juga sempat diwawancarai sejumlah media, seperti Tempo dan detik.com dan membatah tuduhan tersebut dan siap membuktikan dirinya tak bersalah.

Demi Kepentingan Korban

Perubahan status Melki menjadi pelaku kekerasan seksual pun diwarnai dengan keraguan dan kecurigaan massal masyarakat Indonesia. Cukup banyak yang meragukan keabsahan kasus ini karena ketiga hal. Pertama, ini cuma politisasi belaka atau ada settingan untuk membungkam intelektual muda yang kritis soal bobroknya demokrasi di Indonesia. Kedua, karena tidak ada transparansi dan detail informasi terkait korban kekerasan seksual, maka validitas kasus ini layak dipertanyakan. Ketiga, kalau memang kekerasan seksual memang terjadi, kenapa kasus ini tidak dibawa ke ranah pidana.

Untuk poin pertama, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Indonesia (DPM UI) 2023, Bonanza Sitorus dalam wawancaranya bersama Viva sempat memberikan keterangannya. Ia bilang tidak ada politisasi dalam kasus kekerasan seksual yang menyeret nama Melki. Melki sebagai orang muda kritis yang juga sering mendapatkan intimidasi dari penguasa tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus kekerasan yang ia lakukan.

“Tidak ada ya. Itu dua hal berbeda. Bisa dibantah (isu politisasi) dengan perspektif korban dan kita tetap mendukung pemulihan korban dan menghormati keputusan satgas,” tegasnya.

Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan pun menyayangkan ada anggapan politisasi kekerasan seksual Melki. Pasalnya menurut Alimatul ada sejumlah pertimbangan besar yang justru dipikul oleh korban kekerasan seksual saat melaporkan kasusnya.

Reviktimisasi akibat suburnya budaya menyalahkan korban atau victim blaming, trauma, resiko kehilangan hak-hak dasar seperti pendidikan atau pekerjaan, hingga dikucilkan secara sosial adalah beberapa pertimbangannya. Karena itu, tak mengherankan dalam kajian yang dilakukan oleh Komnas Perempuan pada 2020, sebanyak 80 persen korban kekerasan seksual memutuskan untuk tidak melapor.

“Ini yang belum dipahami (masyarakat). Melaporkan kekerasan seksual itu berisiko bagi korban sendiri. Apalagi traumanya saat menjalani pemeriksaan lebih besar dibandingkan dengan kejadian buruk itu sendiri membuat kemungkinan jadi sangat kecil sekali kalau korban melapor dengan tujuan misalnya untuk panjat sosial atau menjatuhkan seseorang,” kata Alimatul.

Baca Juga:Mengenal Definisi Pencabulan, Pelecehan Seksual, dan Pemerkosaan

Terkait, protes masyarakat terkait tidak adanya transparansi dan detail kasus kekerasan seksual Alimatul juga menerangkan bahwa sudah seharusnya kasus kekerasan seksual bukan jadi konsumsi publik. Pada hakikatnya dalam pendampingan kasus kekerasan seksual berperspektif korban, data korban dan kronologi kasus yang masuk dalam pemeriksaan perlu dijamin kerahasiaannya. Hak ini dalam kasus kekerasan seksual disebut dengan hak atas privasi dan kerahasiaan (right to privacy and confidentiality).

Apalagi jika mengacu langsung pada Permendikbud Ristek No. 30 yang menjadi dasar acuan dalam menangani kasus ini juga secara tegas menyatakan segala pencegahan dan penanganan kekerasan seksual wajib dilaksanakan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi korban (pasal 3 a). Adapun pada bagian ketiga, yaitu Perlindungan dan pasal 53 terkait Hak Korban dan Saksi secara jelas termaktub bahwa korban punya hak dan dijamin kerahasian identitasnya.

Tidak membeberkan detail terkait korban baik itu data pribadi maupun kronologi adalah pendekatan paling mendasar dan penting dalam melindungi korban dari berbagai ancaman dan dampak yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan keselamatan jiwa korban. Alimatul menerangkan kekerasan seksual sampai saat ini masih jadi isu yang sangat sensitif dan acapkali dibenturkan dengan nilai-nilai moral. Mentalitas dan budaya victim blaming berbahaya bagi korban kekerasan seksual dalam menjangkau akses keadilan dan pemulihan.

“Dari riset INFID saja terlihat 70 persen responden setuju bahwa perempuan diperkosa atau dilecehkan secara seksual karena gaya berpakaiannya yang terbuka. Mereka masih meyakini analogi kucing dan ikan asin, kucing mana yang tidak mau makan ketika ikan asinnya harum. Ini realitas masyarakat kita. Karena itu dalam pendampingan kasus kekerasan seksual, kerahasiaan korban jadi penting,” ujar Alimatul.

Adapun Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dalam wawancara bersama Kompas pada 2022 menyatakan kerahasiaan dalam menangani kasus kekerasan seksual penting karena berdasarkan pengalaman LPSK, trauma korban berpengaruh pada proses hukum. Proses hukum perlu menanti kesiapan psikologis korban supaya keterangan korban selaras dengan pengalaman kekerasan yang ia alami. Perlu dipastikan bahwa saksi korban dalam keadaan sehat jasmani dan psikologis ketika memberi keterangan di depan proses hukum.

Jika korban tidak sehat secara psikologis tetapi proses hukum tetap berjalan, keadilan bisa dipastikan akan terhambat bahkan lenyap. Karena itu, menunggu korban siap secara psikologis berkorelasi erat pada lamanya proses hukum. Trauma korban lebih lanjut juga berdampak pada proses pemulihan. Makin traumatis korban, makin lama pemulihannya. Menurut pengalaman LPSK, korban yang menderita trauma membutuhkan konseling yang lama, bahkan sampai ada yang butuh 50 kali konseling.

Kerahasian dalam mendampingi kasus kekerasan seksual juga tak luput dari pemahaman bahwa hal ini terjadi karena ada relasi kuasa yang timpang. Kekerasan adalah soal kekuasaan, bukan soal hasrat seksual. Ini tentang mengendalikan korban dan mencabut otonomi serta kemanusiaannya.

Posisi sosial pelaku yang lebih tinggi dari korban pun menambah dalamnya relasi kuasa yang timpang ini. Akibatnya jika mengacu pada penjelasan dari kanal website Rifka Annisa Women’s Crisis Center tidak hanya membuat korban jadi urung melapor, tetapi juga rentan mengalami intimidasi dan bentuk kekerasan lainnya dari pelaku.

Baca Juga:Bagaimana Ciptakan Kampus Aman dari Kekerasan Seksual

Tak kalah pentingnya lagi, saat masyarakat mempertanyakan keputusan korban dengan tidak membawanya ke ranah hukum pidana jelas memperlihatkan ketidakberpihakan pada korban. Alimatul mengatakan karena kekerasan seksual ini terjadi di wilayah kampus maka jika mengacu kembali pada Permendikbud Ristek No. 30, penugasan Satgas PPKS UI tidak berada pada ranah pidana, melainkan administratif. Sebab itu, sanksi yang dijatuhkan kepada Melki juga berupa sanksi administratif. Alimatul lalu menegaskan keputusan untuk melaporkan kasus kekerasan ke ranah pidana, sepenuhnya tergantung oleh korban. Kita harus menghargai pilihan korban.

“Kita harus menghormati pilihan korban mau melaporkannya sebagai tindak pidana atau enggak. Karena balik lagi, penanganan kasus kekerasan seksual harus didasari kebutuhan dan kepentingan korban,” imbuh Alimatul.

Percaya pada Korban Sampai Terbukti Sebaliknya

Lalu bagaimana sih idealnya kita menanggapi isu kekerasan seksual yang kita lihat atau dengar lewat berita atau media sosial? Alimatul mengatakan sebagai masyarakat kita perlu menyadari dulu bahwa korban kekerasan seksual mengalami kerentanan berlapis seperti yang ia jabarkan sebelumnya. Dengan kerentanan ini, penting buat kita untuk tidak bereaksi langsung dengan cara mengorek informasi korban, seperti mencari tahu identitas korban atau mendesak dipublikasikannya kronologi kasus.Jika sudah dilaporkan oleh korban, kita berhak menghargai proses pemeriksaan seraya menunggu keputusan bukan dengan meragukannya.

Tak kalah pentingnya, jika mendengar kasus kekerasan seksual hal pertama yang harus kita lakukan percaya dengan korban kekerasan sampai terbukti sebaliknya. Hal ini karena jika satu kali korban tidak dipercaya atas pengalaman kekerasan yang terjadi maka korban akan balik menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang dia alami.

Hal yang sama pernah diungkapkan Eni Simatupang nggota kolektif Purple Code dan pendamping di TaskForce KBGO dalam wawancara bersama Magdalene November 2023 lalu. Ia bahkan bilang ketidakpercayaan kita pada korban juga bisa berdampak langsung pada proses hukum korban.

“Percaya sama korban sampai terbukti sebaliknya. Karena kepercayaan itu penting kalau enggak percaya, susah untuk kita melangkah ke tahap selanjutnya seperti ke investigasi dan penyidikan kasus,” kata Eni.

Ketika terbukti sebaliknya sekalipun menurut Eni kita punya tugas untuk tetap memvalidasi fakta bahwa pelecehan dan kekerasan itu ada. Kebohongan akan adanya kasus pelecehan atau kekerasan seksual yang sengaja dilontarkan, tidak boleh jadi justifikasi buat kita untuk menginvalidasi ribuan atau bahkan jutaan korban pelecehan dan kekerasan seksual, begitu tutur Eni.

Tak kalah pentingnya, media yang termasuk ke dalam bagian dari civil society juga punya tanggung jawab besar dalam memberikan ruang aman pada korban bukan sebaliknya. Dalam kasus Melki, media masih memberikan ruang besar bagi Melki baik saat ia masih jadi terduga pelaku dan saat ia kini sudah berganti status menjadi pelaku kekerasan seksual untuk memberikan pembelaanya sendiri.

Alimatul yang kebetulan juga lulusan komunikasi mengungkapkan mungkin ini adalah cara media dalam mempraktikan pemberitaan cover both sides. Lebih dari itu, media juga butuh menaikkan pageviews, sebab masih ada keyakinan bahwa bad news is a good news, kata Alimatul.Tapi penting juga ditekankan, pada isu-isu tertentu, media perlu melakukan keberpihakan. Ini salah satunya terkait kekerasan seksual.

“Motivasinya apa sih ngasih panggung ke pelaku? Apakah untuk menarik banyak pembaca? Jangan-jangan orientasinya memang tidak menjerakan pelaku dan mencegah ketidak berulangan kasus serupa, tapi justru buat korban trauma. Jadi media penting punya perspektif korban. Meyakini dan mempercayai lembaga-lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk menangani ini jadi salah satu contoh keberpihakan itu,” tutup Alimatul



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *