Issues Safe Space

Kasus Kekerasan Seksual I Wayan Agus: Siapa pun Bisa Jadi Pelaku Termasuk Penyandang Disabilitas 

Di balik penetapan Agus, penyandang disabilitas di NTB sebagai tersangka kekerasan seksual, ada narasi ‘victim blaming’ yang bertebaran di media sosial.

Avatar
  • December 13, 2024
  • 4 min read
  • 154 Views
Kasus Kekerasan Seksual I Wayan Agus: Siapa pun Bisa Jadi Pelaku Termasuk Penyandang Disabilitas 

*Peringatan Pemicu: Kasus kekerasan seksual. 

Sejumlah orang menunjukkan reaksi tak percaya saat mendengar kabar penyandang disabilitas jadi pelaku kekerasan seksual. Kejadiannya (2/12) silam di Lombok, Nusa Tenggara Barat. I Wayan Agus Suartama (IWAS) alias Agus dilaporkan kepada Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) atas dugaan kekerasan seksual terhadap beberapa perempuan. Menurut data resmi lembaga tersebut, jumlah korban mencapai lima belas perempuan. 

 

 

Salah satu pihak yang sangsi bahwa seorang penyandang disabilitas bisa jadi pelaku adalah “Firman”, 24. “Bingung dah gue. Memangnya bisa ya orang disabilitas ngelecehin perempuan?” katanya pada Magdalene. 

Baca juga: Belajar dari Kasus P Diddy, Kenapa Korban Kekerasan Seksual Masih Takut Bersuara? 

Reaksi serupa juga muncul dari “Dilon”, 25. Mulanya ia menganggap tuduhan itu mengada-ada dan mungkin saja dilakukan untuk menjatuhkan harga diri Agus. Ia bahkan merasa iba ketika melihat banyak video yang menampilkan kesulitan Agus bermobilitas di media sosial. Agus sendiri merupakan disabilitas fisik yang mengandalkan kaki untuk menjalankan aktivitas karena kehilangan dua tangannya. 

“Dia (Agus) aja bilang, buka baju masih dibantuin ibunya. Gimana cara dia ngelakuin kekerasan seksual coba? Ya di awal gue kebingungan lah. Bahkan mikir, ‘Wah ini akal-akalan aja kali ya? Buat ngejatuhin rakyat kecil,’” jelas Dilon. 

Berdasarkan keterangan Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan, dilansir dari Tempo, dugaan kekerasan pertama kali dilaporkan oleh Koalisi Anti Kekerasan Seksual Nusa Tenggara Barat. Dua hari berselang, Komnas Perempuan bersama Unit Pelayanan Terpadu  (UPT) setempat menindaklanjuti pengaduan dengan berkoordinasi bersama pendamping hukum korban. 

Dari keseluruhan total korban yang dihimpun Komnas Perempuan, dua di antaranya adalah korban anak. Fuad sendiri sebagai penyandang disabilitas menegaskan, penanganan kasus Agus perlu keseriusan tinggi. Sebab, narasi menyalahkan korban (victim blaming) lumayan santer terdengar lantaran pelaku adalah penyandang disabilitas. Bagaimana pun juga, Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus ditegakkan dengan konsisten. 

“Kasus ini harus ditangani dengan serius karena banyak tendensi victim blaming. Komnas Perempuan akan senantiasa memantau agar proses hukum adil dan transparan. UU TPKS agar diterapkan dengan konsisten,” tegas Fuad. 

Baca juga: Mengantre Viral: Perjuangan Korban Kekerasan Seksual di Indonesia 

Ableisme, Stigma, dan Wajibnya Masyarakat untuk Berpihak pada Korban 

Pada sesi “Konferensi Pers Bersama: Kasus Kekerasan Seksual dengan Pelaku Penyandang Disabilitas (Kasus Kekerasan Seksual di Lombok)”, (11/12), Jonna Aman Damanik, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Disabilitas, turut menyinggung fenomena victim blaming yang terjadi pada korban. Sebagai disabilitas, Jonna menegaskan siapa pun bisa saja menjadi pelaku, termasuk penyandang disabilitas. “Kami tegaskan penyandangan disabilitas bisa saja jadi tersangka atau pelaku.”  

Ia menambahkan, anggapan penyandang disabilitas yang “berbeda” dengan orang pada umumnya, jadi salah satu alasan mengapa sulit sekali masyarakat mencerna kasus ini di awal. Penyandang disabilitas memiliki cara masing-masing untuk beraktivitas seperti orang lain. 

“Saya seorang netra, tapi bisa mengikuti Zoom dengan cara saya. Cak Fu (Fuad) itu berlari dengan caranya, dia berlari dengan kursi rodanya. Penekanannya di sini bahwa ada banyak perbedaan, terutama terkait ‘cara’ (bertahan hidup). Penyandang disabilitas punya cara yang berbeda. Dengan hambatan individualnya seperti sensorik, mental, intelektual, tapi kami punya cara. Inilah yang membuat penyandang disabilitas bisa berpeluang menjadi apa pun, termasuk pelaku kekerasan,” jelas Jonna lagi.  

Anggapan terkait ketidakmampuan yang dialami teman-teman disabilitas sendiri dapat disebut sebagai ableism. Melansir laman American Psychological Association (APA), ableism adalah reaksi negatif terhadap penyandang disabilitas. Sering kali hal ini memuat anggapan bahwa disabilitas tidak berfungsi layaknya manusia lain. 

Sebagai seorang disabilitas, Erin Pritchard, pengajar di Departemen Disabilitas dan Pendidikan Liverpool Hope University, Inggris, menjelaskan bagaimana ujaran bernuansa ableism ini membawa masyarakat pada anggapan yang keliru. Opininya di laman Rooted in Rights disebutkan bagaimana penyandang disabilitas juga bisa menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual. 

“Ketidakpercayaan (victim blaming) tersebut sering kali berasal dari pelaku yang tidak sesuai dengan stereotip orang yang akan melakukan tindakan tersebut, misalnya pelaku adalah penyandang disabilitas. Hal ini terjadi lantaran penyandang disabilitas sering dianggap aseksual, sehingga menyebabkan pengabaian fakta bahwa penyandang disabilitas juga dapat melakukan kekerasan atau pelecehan seksual,” tulis Erin.  

Baca juga: How “Ideal Victim” Stereotype End Up Hurting All Victims 

Erin yang juga merupakan korban, menjelaskan betapa anggapan ini menyakitkan untuk dirinya. Menurutnya, bukan karena seseorang adalah penyandang disabilitas, lantas tidak mungkin menjadi pelaku kekerasan atau pelecehan seksual. Narasi victim blaming telah memengaruhinya secara emosional. 

“Tidak dipercaya sebagai korban ini betul-betul membuat saya terlihat sebagai pembohong, dan ini memengaruhi saya secara emosional. Saya pun jadi berpikir ,‘Apakah saya memang patut disalahkan?” tambah Erin.  

Berpihak pada korban sendiri merupakan keharusan dalam merespons kasus kekerasan seksual. Eni Simatupang, anggota kolektif Purple Code dan pendamping di TaskForce KBGO, bicara kepada Magdalene November 2023 soal ini. Ia menyebutkan wajib hukumnya untuk memercayai korban, sampai terbukti sebaliknya.  

“Percaya sama korban sampai terbukti sebaliknya. Karena kepercayaan itu penting. Kalau enggak percaya, susah untuk kita melangkah ke tahap selanjutnya seperti ke investigasi dan penyidikan kasus,” tegas Eni.  



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *