Penculikan dan Perdagangan Anak Marak, Polisi Dianggap Tak Responsif
*Peringatan pemicu: Kasus penculikan dan pembunuhan anak.
Penanganan kasus penculikan yang terjadi kepada BR, 4, anak asal Makassar yang ditemukan di Jambi, mengungkap keberadaan sindikat perdagangan anak lintas provinsi. Pertanyaannya, setelah beroperasi di media sosial dengan sangat terbuka, mengapa polisi baru bisa mengungkapnya sekarang?
Polisi telah menangkap empat pelaku: Sri Yuliana, 30; Nadia Hutri, 29; Meriana, 42; dan Adit Prayitno Saputra, 36. Berdasarkan interogasi, penculikan dan perdagangan ini bukan pertama kali bagi mereka.
Melansir Kompas.com, Nadia mengaku sudah tiga kali memperdagangkan anak, sedangkan Meriana dan Adi telah sembilan kali menjual anak di bawah umur melalui Facebook dan TikTok. Di sisi lain, Kompas.id melaporkan, Sri pernah memperdagangkan 3 anaknya, masing-masing berusia 4, 3, dan 2 tahun.
Bagai gunung es, kasus ini hanya pucuk dari berbagai kasus lain yang tak terlihat. Misalnya, anak berinisial AKN (6) ditemukan meninggal setelah delapan bulan menghilang, pada (23/11). Dia diduga diculik dan dibunuh oleh ayah tirinya.
Dilansir dari Media Indonesia pada (17/11), polisi kesulitan mencarinya karena CCTV yang terhapus setiap hari dan keluarga baru melapor sehari setelah penculikan terjadi. Namun, berdasarkan laporan Detik, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Bhudi Hermanto mengatakan, informasi ditemukan dari jejak digital ayah tiri AKN.
“Sehingga mengerucut kepada satu orang yang diduga dan ini diamankan oleh penyidik Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan,” ujar Bhudi, (24/11).
Baca juga: Yunus Prasetyo dan Yayasan Lentera: Rawat Anak-anak dengan HIV di Tengah Abainya Negara
Hambatan
Menurut Ai, perilaku permisif masyarakat di media sosial menyuburkan kasus penculikan dan perdagangan anak. Padahal setiap media sosial memiliki fitur pelaporan untuk unggahan ilegal, tetapi kesadaran publik menggunakannya masih rendah.
“Jangan-jangan kita cukup menyalin kontennya, dishare di grup, bertanya pada orang tidak mengerti, atau bahkan menjadi gibah, atau malah menjadi saling bertanya, tapi pada akhirnya tidak berujung,” ujarnya kepada Magdalene via telepon pada (18/11).
Ai juga mempertanyakan tindak lanjut platform digital. Platform, menurutnya, seharusnya transparan dan meneruskan laporan warga ke pihak berwenang. Ia mengaku belum pernah menerima satu pun laporan perdagangan anak dari platform media sosial, meski kasusnya banyak.
“Pelaporan masyarakat dianalisa oleh platform, dilaporkan platform kepada pihak berwenang, dan menjadi dampak atas analisa itu. Sampai saat ini saya belum pernah menerima laporan. Mungkin polisi beda lagi, tapi kalau KPAI belum pernah,” ungkap Ai.
Baca juga: Menggugat Standar Cantik bagi Perempuan dengan Disabilitas Netra
Pemahaman aparat yang rendah turut menghambat penanganan. Banyak sindikat menggunakan istilah tidak gamblang seperti “adopsi” atau “ayah sejuta anak”, sehingga polisi dan masyarakat tidak mengenalinya sebagai perdagangan anak.
Ai membandingkannya dengan penanganan kasus pekerja seks anak yang kini lebih cepat. “Patroli siber, patroli kepolisian, berdasarkan salah satu akun, menemukan puluhan anak di satu hotel, itu sering kita dengar. Namun kalau kasus penculikan dan perdagangan kenapa (tidak begitu)?”
Sementara itu, Asisten Deputi Perumusan dan Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Margareth Robin Korwa menilai koordinasi aparat dan lembaga dalam penanganan kasus BR sudah baik. Ia mengingatkan pentingnya kewaspadaan orang tua.
“Makanya, perlu pola pendekatan terhadap tokoh agama dan tokoh masyarakat… termasuk memberikan pengertian kepada orangtua agar tidak melepas tanggung jawab, tetapi pengawasan orangtua menjadi penting, terutama di ruang publik,” ujarnya ketika ditemui Magdalene di Menara Thamrin, Jakarta Pusat pada (20/11).
Baca juga: Pengalaman ‘Pro Player’ dengan Disabilitas: Bukan Sekadar Bertahan tapi Berpikir
Masalah perspektif
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi mengungkap, masalah penanganan kasus penculikan dan perdagangan anak, lebih dalam dari sekadar orangtua yang melepas tanggung jawab. Prosedur penanganan yang tidak relevan dan perspektif aparat yang tidak berpihak menjadi masalah utama kasus ini terus berulang.
Salah satu kritik Mamik adalah, prosedur penanganan dalam waktu 1 kali 24 jam yang tidak relevan untuk kasus penculikan anak. Waktu tersebut terlalu lama. Sebab, hanya dalam waktu satu sampai tiga jam saja, anak yang diculik mungkin sudah mengalami kondisi yang sangat buruk, seperti penganiayaan atau pembunuhan.
Selain itu, tidak responsifnya polisi dalam menangani kasus penculikan dan perdagangan anak juga merupakan masalah. Polisi, Mamik berkata, seharusnya tidak punya hambatan infrastruktur untuk menelusuri perdagangan anak di media sosial. Maka, walau sindikat juga sudah mempergunakan teknologi, polisi harusnya tetap bisa menangani kasus ini lebih cepat.
“Kasus ini sih saya anggap tidak menjadi prioritas, seharusnya pemerintah menggunakan semua fasilitas internet, IT, yang biayanya dari uang pajak kita yang sangat besar itu, memastikan anak, perempuan, dan kelompok rentan terlindungi,” kata Mamik via pesan singkat, (22/11).
Dia membandingkannya dengan kecepatan aparat dalam menangkap warga sipil yang mengritik pemerintah. Begitu cepat polisi menangkap warga yang dianggap mengganggu stabilitas dan membangkang. Harusnya hal yang sama bisa dilakukan oleh polisi untuk menangani kasus perdagangan anak.
“Kita punya badan siber khusus yang lebih banyak digunakan dan melayani kepentingan penguasa dan melakukan surveillance kepada warga yang mengkritik, ketimbang menunaikan kewajiban negara untuk melindungi anak, perempuan dan kelompok rentan,” pungkasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















