KDRT Tinggalkan Trauma Panjang bagi Penyintas
Kekerasan di ranah personal, baik pacaran maupun pernikahan, meninggalkan trauma yang tidak bisa disembuhkan.
Sudah 11 tahun sejak Helga Worotitjan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun trauma yang dihadapinya sulit disembuhkan meski ia sudah bisa mengelola gejalanya.
“Karena bentuk KDRT-nya adalah perselingkuhan, maka gejala trauma yang paling kuat adalah trust issue,” ujar aktivis perempuan tersebut dalam diskusi publik berjudul “Kekerasan Terhadap Pasangan: Belajar dari Pengalaman Penyintas”, yang diadakan oleh Langitterbukaluas Creative & Psychological Services di Jakarta (6/4).
Setelah bercerai dan menjalin hubungan baru, Helga menjadi korban kekerasan dari beberapa pacar yang sangat dominan dan melarangnya berkegiatan.
“Kalau sudah seperti itu, ya harus saya lepas meskipun perpisahannya menyakitkan. Saya perlu waktu berbulan-bulan untuk mengatasinya. Selama tiga bulan, semua trauma yang pernah saya alami ketika mengalami KDRT kembali muncul. Saya mengalami eating dan sleeping disorder. Mau makan sebanyak apapun, nggak jadi lemak sehingga berat badan turun drastis. Bisa tidur selama setengah jam sehari saja udah bagus,” jelasnya.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah privat, dengan korban dan pelaku yang berada dalam relasi perkawinan, kekerabatan, atau relasi intim lainnya, masih menjadi kasus yang paling sering dilaporkan. Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2017 menunjukkan bahwa jumlah kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 71 persen atau 9.637 kasus dari 13.568 kasus yang dilaporkan. Salah satu dampak yang dialami penyintas kekerasan adalah munculnya gejala trauma, yang memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
Chrissy Siahaan, seorang ibu tunggal yang menghadapi pemerkosaan dalam pernikahan, mengatakan bahwa sesuatu yang membahagiakan saja kita tidak bisa lupa, apalagi yang menyakitkan.
“Saya bercerai karena menjadi korban kekerasan dan intinya, saya tak tahan lagi. Saya pernah mengalami pemerkosaan (dalam pernikahan),” ujarnya dalam diskusi.
“Rasa sakit itu tetap ada, tetapi sekarang saya sudah bisa me-manage traumanya. Teman-teman psikolog banyak memberi masukan. Saya memilih untuk tidak menyesali nasib karena saya punya tanggungan empat anak. Saya bisa mengurai emosi dengan menulis dan membaca,” tambahnya.
Banyak perempuan yang memutuskan untuk tidak bercerai dengan alasan anak, namun Chrissy mengatakan tidak adil apabila orang tua menggunakan anak sebagai alasan anak untuk tidak bercerai tetapi tetap “menghidangkan” adegan-adegan kekerasan.
Trauma Sekunder
Mario Carl Joseph, psikolog dan salah satu pendiri Langitterbukaluas Creative & Psychological Services mengatakan, penyintas bukan hanya orang yang menjadi korban, tetapi juga orang yang melihat peristiwa kekerasan atau trauma sekunder.
“Contoh, ada seorang anak yang melihat orang tuanya saling melempar-lempar barang yang ada di dekatnya. Apakah anak itu bukan penyintas? Dia penyintas juga, tetapi tidak mengalami secara langsung,” katanya.
Psikolog Angesty Putri Ageng mengingatkan agar trauma sekunder pada anak diwaspadai, karena anak-anak tidak memiliki ekspresi seluwes orang dewasa.
“Misalnya, seorang anak enggak dipukul, enggak dimaki-maki, tetapi ketika dia sudah mulai mengerti, gejala traumanya muncul. Bukan berarti bahwa karena anak dianggap enggak mengerti, maka enggak akan terjadi apa pun.
Angesty menambahkan, trauma yang dialami seorang anak dapat muncul ketika dewasa (delayed trauma).
“Saya pernah menangani kasus delayed trauma. Ada seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan pacarnya ketika dia masih duduk di bangku SMP. Traumanya baru muncul ketika dia sudah menikah. Kekerasan seksual yang dialaminya itu ada hubungannya dengan area payudara. Ketika dia akan menyusui, dia enggak bisa tidur, berkeringat, tegang, dan cemas,” katanya.
Trauma akibat kekerasan dalam sebuah hubungan sering kali membuat seseorang enggan menjalin relasi baru. Namun, hal itu tidak dialami oleh Helga.
“Saya melihat semua manusia itu sama, tidak mempunyai potensi melakukan kekerasan sampai kita membuktikan bahwa dia melakukannya. Itulah kenaifan saya sampai detik ini. Saya enggak punya prasangka buruk sampai saya mengalaminya sendiri,” katanya.
Mario mengatakan bahwa untuk membina relasi baru, diperlukan kesiapan dari penyintas.
“Kalau kamu siap, lakukan. Kalau belum siap, ya jangan. Kita harus tahu boundaries. Kita harus tahu batasan mana yang boleh, dan mana yang tidak. Ketika hal itu belum bisa dilakukan, sebaiknya ditunda dulu karena sangat berisiko,” katanya.
Angesty menekankan agar penyintas memiliki self control sebelum menjalani relasi baru.
“Kalau seseorang menjadi korban, maka hal yang hilang darinya adalah self control yang diambil oleh pelaku. Kalau sudah punya kontrol terhadap diri sendiri dan sudah bisa mengambil keputusan sendiri dalam hal-hal sederhana, maka itu bisa jadi suatu indikasi kesiapan kita untuk memulai hubungan baru,” ujarnya.
Baca bagaimana RKUHP masih berpotensi mengkriminalisasi kelompok rentan.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa