Politics & Society

Aliansi Nasional: RKUHP Masih Berpotensi Kriminalisasi Kelompok Rentan

Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak penundaan pembahasan RKUHP hingga berakhirnya pemilihan legislatif dan presiden.

Avatar
  • January 8, 2019
  • 5 min read
  • 653 Views
Aliansi Nasional: RKUHP Masih Berpotensi Kriminalisasi Kelompok Rentan

Setelah gagal disahkan pada 2018, Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (biasa disebut RKUHP) yang kontroversial dinyatakan akan diselesaikan oleh Panitia Kerja (Panja) RKUHP di Dewan Perwakilan Rakyat pada 2019 ini.

Asrul Sani, anggota Komisi III DPR yang membawahi bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan, mengatakan bahwa RKUHP sudah masuk dalam tahap pembahasan tingkat pertama.

 

 

“RKUHP sebenarnya sudah kita tekadkan akan kita selesaikan. Jadi tidak perlu disebut lagi. Kita akan selesaikan di 2019,” ujar Asrul, seperti dikutip Hukumonline.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengatakan bahwa tahun 2019 akan menjadi perjuangan yang nyata bagi mereka karena masih adanya pasal-pasal yang tak mengakomodasi golongan tertentu. Selain itu, 2019 adalah tahun politik dengan berlangsungnya Pemilihan Umum sehingga kelompok rentan berpeluang menjadi korban pertarungan politik, menurut Aliansi tersebut, yang beranggotakan organisasi-organisasi yang memiliki perhatian terhadap reformasi hukum pidana.

RKUHP menimbulkan keprihatinan banyak pihak tahun lalu karena dianggap memiliki berpotensi melanggar nilai-nilai hak asasi manusia, yang mencakup hak perempuan dan anak, hak sipil politik, kebebasan pers dan media, hak atas lingkungan dan sumber daya alam, serta kebebasan beragama.

Ryan Korbarri, Ketua Badan Pengurus Harian Arus Pelangi, mengatakan bahwa salah satu kelompok yang berpeluang menjadi korban adalah kelompok minoritas seksual dan gender, termasuk lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

“Arus Pelangi bergabung dalam pembahasan pasal-pasal perzinahan. Kami juga berjuang untuk menolak pasal yang berisi frasa ‘pencabulan sesama jenis’. Kami mengumpulkan ahli-ahli dan berusaha memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pasal ini dapat mengkriminalisasi kawan – kawan dengan orientasi seksual yang berbeda,” ujarnya pada konferensi pers “Kaleidoskop Pembahasan RKUHP Selama 2018 dan Proyeksinya di Tahun Politik: Perppu Bukan Solusi” di Jakarta, akhir Desember lalu.

Frasa pencabulan sesama jenis sempat muncul di Pasal 495 RKUHP. Dalam perkembangannya, pada akhir Mei lalu, pemerintah mengusulkan penghapusan frasa “sesama jenis”. Dengan demikian, dalam draft terakhir, pasal pencabulan mengatur  mengenai larangan perbuatan cabul baik yang dilakukan oleh orang yang sama maupun berbeda jenis kelamin.

Meskipun demikian, Ryan menganggap bahwa potensi kriminalisasi terhadap minoritas seksual dan gender tetap ada, terlebih lagi dengan sentimen (anti-LGBT) yang kembali meningkat pada tahun ini.

Selain pasal-pasal yang menyasar kelompok minoritas seksual dan gender, pasal-pasal yang mengatur kontrasepsi juga menjadi perhatian Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Pasal yang memidanakan promosi alat kontrasepsi di RKUHP diadopsi dari Pasal 534 KUHP (larangan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan). Namun ketentuan pasal itu telah dikesampingkan oleh Surat Jaksa Agung pada tahun 1978 untuk kepentingan Program Keluarga Berencana.

Riska Carolina, perwakilan Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman (Kitasama) menganggap bahwa rencana pemberlakuan kembali pasal tersebut agak aneh, dan akan berdampak pada kader-kader keluarga berencana, pelayanan kesehatan yang ada di daerah, dan konselor remaja.

“Saya tidak mengerti esensi dari pemerintah dan DPR yang sama sekali tak mengubah draft pasal kontrasepsi ini, padahal kontrasepsi sangat diperlukan mengingat angka kematian ibu, angka kelahiran yang cukup tinggi, dan pernikahan anak yang cukup tinggi,” ujarnya.

“Bagi kader-kader KB, pasal ini sangat berdampak. Kalau akan ada sertifikasi bagi mereka, siapakah yang akan mengaturnya kemudian? Apakah akan ada kementerian yang ditunjuk untuk memberikan sertifikasi kader KB? Ini juga belum ada peraturannya, jadi kalau ada pasal pidananya lebih dulu, saya khawatir akan ada kriminalisasi berupa denda kepada orang yang menunjukkan alat kontrasepsi.”

Konsep living law dan permasalahannya

Ada salah satu pasal yang tidak berkaitan dengan kontrasepsi dan tindak pidana kesusilaan tetapi akan berdampak bukan hanya terhadap minoritas seksual melainkan juga masyarakat adat. Dalam Pasal 2 RKUHP, dikatakan bahwa seseorang dapat dipidana dengan “aturan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan”.

Riska mengaitkan pasal mengenai living law itu dengan kemunculan peraturan-peraturan daerah diskriminatif.

“Jangan sampai ketika disahkan, RKUHP menjadi pembenaran dari perda-perda diskriminatif yang sudah ada. Hal itulah yang akan kami kawal lagi dan kami upayakan advokasinya di tahun 2019 nanti,” tuturnya. 

Riska menambahkan, berdasarkan data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ada 460 perda diskriminatif terkait perempuan dan 45 perda yang mendiskriminasi kelompok minoritas seksual. Ia menekankan pentingnya melakukan advokasi hingga ke daerah karena masyarakat di daerah menjadi salah satu pihak yang paling terdampak jika RKUHP disahkan.

“Kami masih membicarakan bagaimana strategi untuk menghalau agar perda-perda diskriminatif ini tidak semakin banyak di tahun 2019. Pihak yang akan melakukan aksi terkait perda-perda diskriminatif adalah masyarakat sipil di daerah. Jadi, kami juga harus meningkatkan pemahaman teman-teman di daerah. Masyarakat sipil di daerah-lah yang harus mengajukan uji materi. Ini adalah tugas dari teman teman di Aliansi Nasional untuk menjangkau teman-teman yang ada di daerah,” katanya.

Sekar Banjaran Aji, staf advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), menambahkan bahwa Aceh menjadi wujud nyata dari sebuah daerah punya kekuasaan luar biasa. Ia tidak ingin apabila nantinya pasal dua mengenai living law diterapkan seperti apa yang telah dilakukan Aceh dengan Qanun Jinayat.

Aliansi juga mendesak penundaan pembahasan RKUHP hingga berakhirnya Pemilu Legislatif dan Presiden. Dalam rilis yang dikeluarkan, mereka menekankan bahwa seharusnya pemerintah dan DPR berfokus untuk memastikan proses penyusunan RKUHP diwarnai proses yang demokratis. Jika dilihat dari kaleidoskop, separuh dari pembahasan RUU ini merupakan pembahasan tertutup antara tim pemerintah yang hasilnya tidak dipublikasi.

“Sikap kami, Aliansi, adalah meminta pemerintah dan DPR untuk menghentikan dan menunda dulu pembahasan sampai (selesainya) Pileg dan Pilpres 2019. Kami sangat khawatir nantinya pada fase tahun politik, teman-teman dari kelompok minoritas apa malah akan dijadikan bahan pertarungan politik, salah satunya pertarungan dalam pembahasan  RKUHP ini,” ujar Sekar.



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *