Election 2024 Issues

Kebebasan Pers dan Berekspresi Terancam Pasca-Pemilu 2024?

Kebebasan pers dan berekspresi jadi salah satu topik hangat jelang Pemilu 2024. LBH Pers bilang situasinya makin buruk.

Avatar
  • January 22, 2024
  • 4 min read
  • 1269 Views
Kebebasan Pers dan Berekspresi Terancam Pasca-Pemilu 2024?

Catatan LBH Pers menyebut serangan terhadap jurnalis, media, dan narasumber pada 2023 meningkat, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2022, jumlah kasus yang tercatat adalah 51 kasus, meningkat jadi 87 kasus pada 2023. Sebanyak 59 persen dalam laporan 2023 merupakan serangan pada jurnalis dan media digital.

Angka ini disampaikan pada Rabu, 10 Januari, dalam laporan berjudul “Nol Besar Perlindungan Negara terhadap Pers”. Dalam pemantauan yang dilakukan sepanjang 1 Januari-30 Desember 2023 itu, LBH Pers mencatat terdapat 126 korban. Terdiri dari 113 wartawan, 11 perusahaan media, dan 2 narasumber. Data ini dikumpulkan dari pengaduan dan laporan yang diterima dari 23 provinsi.

 

 

Dalam catatan ini, lima pelaku serangan terbanyak pada pers adalah: tidak diketahui dengan total 17 kasus di posisi pertama; polisi di posisi kedua dengan 9 kasus; ormas dan ajudan pejabat di posisi ketiga dengan masing-masing 8 kasus; pejabat publik dan preman di posisi keempat dengan masing-masing 7 kasus; dan massa di posisi kelima dengan 6 kasus.

“Keseriusan pemerintah untuk menjamin kemerdekaan pers harus terus didorong,” kata Ade Wahyudin, Direktur LBH Pers, dalam penyampaian laporan tersebut. Pasalnya, LBH Pers juga mencatat dalam periode 2019-2022, ada 9 laporan ke kepolisian yang penanganannya berlarut-larut atau terjadi penundaan yang tidak semestinya.

“Hanya dengan komitmen pemimpin bangsa lah jaminan jaminan perlindungan hukum terhadap jurnalis dan media dapat diwujudkan,” tambah Ade.

Suramnya Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat di Era Jokowi-Ma’ruf

Faktanya, sejumlah riset menunjukkan menurunnya kebebasan berpendapat di era Jokowi-Ma’ruf. 

Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengungkap skor indeks Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia 2023 mengalami penurunan menjadi 3,2 dari sebelumnya 3,3. “Pada Indeks HAM 2023, skor rata-rata untuk seluruh variabel adalah 3,2, yaitu turun 0,1 dari tahun sebelumnya yang berada pada skor 3,3,” kata Setara dalam keterangan tertulis yang dirilis Desember 2023.

Dalam laporan itu, Presiden Joko Widodo dinilai paling buruk dalam melindungi dan memenuhi hak warga atas tanah dan kebebasan berpendapat. “Pemenuhan hak atas tanah dan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak yang paling buruk selama kepemimpinan Jokowi yang hampir menuju satu dekade,” ungkap Setara.

Sejak memimpin di tahun 2019, Jokowi disebut tak pernah berhasil mencapai skor indeks HAM di angka 4. Selama menjabat ia hanya mampu mencapai skor indeks HAM tertinggi di angka 3,3.

Sebelumnya, survei Kompas pada Mei 2023 menyebut, kebebasan berpendapat jadi aspek yang banyak disorot publik. Ketidakpuasan itu banyak disuarakan responden generasi Z (17-26 tahun) dan X (42-55 tahun). Nada serupa juga tergambar dalam catatan The Economist Intelligence Unit dalam Democracy Index 2022. Peringkat demokrasi Indonesia stagnan dan masuk kategori negara dengan demokrasi yang cela (flawed democracy). Negara dalam kategori ini pada umumnya masih memiliki masalah demokrasi mendasar, antara lain rendahnya kebebasan pers dan budaya politik yang antikritik.

Nasib Kebebasan Pers di Tangan Calon Presiden Baru

Kenyataan pahit yang dihadapi pers ini juga sempat jadi pembicaraan di media sosial sejak nama-nama bakal calon presiden (capres) muncul di pertengahan tahun lalu. Namun, dalam dua debat capres yang telah berlangsung, perihal kebebasan berekspresi belum pernah dikupas secara dalam. Isu ini justru sempat dibicarakan dalam Mata Najwa, “3 Bacapres Bicara Gagasan”, September lalu.

Secara ringkas, hanya Anies Baswedan yang menyebut kebebasan berekspresi di Indonesia bermasalah. Sedangkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo berpendapat kebebasan berekspresi di Indonesia sudah lebih baik.

Buat Anies, skor kebebasan berekspresi di Indonesia masih rendah. Ia menilai masyarakat harusnya tak takut mengkritik pemerintah. Ia bahkan sempat menyuarakan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurutnya, kritik publik di Indonesia juga masih sering direspons dengan laporan ke polisi. Dia khawatir suara kritis masyarakat hilang lantaran takut berhadapan dengan penegak hukum. Ia menegaskan bahwa kritik adalah hak setiap warga untuk menyampaikan isi pikiran. “Harusnya pemerintah menjawab kritik, bukan justru membalas dengan laporan ke polisi,” ungkap Anies.

Dalam beberapa debat capres, Anies juga sempat menyampaikan keresahan tentang kebebasan berpendapat ini. 

Dalam acara yang sama, bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto mengaku mendukung kebebasan berpendapat. Ketum Partai Gerindra itu memastikan kebebasan berpendapat penting untuk mengontrol pemerintahan. Sebab, Prabowo mengaku khawatir dengan upaya penyalahgunaan media sosial sebagai tempat berekspresi. 

Prabowo ingin memberi perhatian pada ujaran yang mengarah hal negatif seperti hoaks dan ujaran kebencian. “Intinya yang khawatir adalah nanti platform-platform itu (digunakan) untuk mengujar kebencian, untuk manas-manasin kebencian dan sering (dipenuhi) dengan kebohongan, hoaks dan sebagainya. Menurut saya ini rawan, itu harus diperhatikan,” tutur Prabowo. Mantan Pangkostrad itu menilai, kebebasan berpendapat di era Pemerintah Jokowi lebih baik. Dia memberikan nilai 8 untuk kebebasan berpendapat. Prabowo mengaku sering difitnah, tetapi tidak merespons permasalahan itu.

Hal senada diungkapkan bakal capres dari PDIP, Ganjar Pranowo. Ia memandang kebebasan berpendapat di Indonesia sudah jauh lebih baik. Mantan Gubernur Jawa Tengah itu menyebut skor 7,5 soal kebebasan berekspresi. 

Ganjar memandang kebebasan berpendapat di Indonesia sudah membaik, karena semua masyarakat bisa menyampaikan isi pikiran dan kritik secara langsung atau lewat media sosial, tanpa khawatir diseret ke ranah hukum. “Saya tiap hari di-bully kok, Mbak. Saya menuntut mereka? Tidak. Mereka yang mem-bully saya saat gubernur, saya anggap mereka kasih energi koreksi buat saya. Mereka tidak saya penjarakan kok,” kata Ganjar.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.