Kebiri Kimiawi Bukan Cara Melindungi Anak dari Kekerasan Seksual
Hukuman kebiri kimiawi sulit diterapkan dan belum terbukti ampuh menekan angka kekerasan seksual pada anak.
Pertengahan Agustus lalu, Pengadilan Negeri Mojokerto di Jawa Timur menjatuhkan hukuman penjara 12 tahun, denda Rp100 juta subsider enam bulan penjara, dan kebiri kimiawi kepada MA, terdakwa kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Pengadilan Tinggi Surabaya menolak pengajuan banding oleh MA dan menguatkan putusan PN Mojokerto tersebut. Putusan ini membuat MA menjadi orang pertama yang dijatuhi hukuman kebiri kimiawi di Indonesia.
Hukuman kebiri kimiawi yang diterima MA memunculkan kembali perdebatan tentang urgensi dan manfaat hukuman kebiri kimiawi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak. Pada 2016, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Sosial mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) mengenai kebiri dengan alasan bahwa hukuman yang ada saat itu tidak membuat jera, dan jumlah korban kekerasan seksual pada anak semakin tinggi. Padahal tidak ada data yang kuat untuk mendukung dua argumen lembaga ini. Walaupun ditolak oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), akademisi perlindungan anak, penggiat hak asasi manusia, dan reformis hukum pidana, Presiden Joko Widodo memilih sepakat dengan KPAI dan Kemensos untuk mengesahkan kebiri kimiawi melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016.
Kebijakan berbasis emosi
Pemberitaan media sering menyulut emosi masyarakat yang akhirnya memunculkan persepsi yang bias soal marak dan brutalnya kekerasan seksual. Demi mendapatkan rasa aman, masyarakat mendorong pemerintah memberlakukan aturan tegas untuk menindak pelaku kekerasan seksual. Hal inilah yang dibuktikan oleh peneliti Erin B. Comartin dkk dari Amerika Serikat dalam artikel mereka yang berjudul “Sanctions for Sex Offenders: Fear and Public Policy”.
Dari hasil survei terhadap 703 responden di Michigan, AS, mereka menemukan dukungan masyarakat terhadap hukuman yang keras bagi pelaku kejahatan seksual lebih didorong oleh rasa takut masyarakat, yang sayangnya sering kali berasal dari pemberitaan sensasional media dan informasi yang salah. Mereka juga menggarisbawahi hal penting, bahwa “penelitian menunjukkan hukuman yang keras bertujuan untuk membuat masyarakat merasa aman, daripada untuk merehabilitasi pelaku.” Hukuman yang keras ini terbukti mengisolasi pelaku dari masyarakat, yang kemudian mendorong mereka melakukan pengulangan tindak pidana kekerasan seksual.
Dalam konteks Indonesia, Perppu Kebiri adalah contoh paling tepat untuk menggambarkan situasi yang dijelaskan oleh Comartin dkk di atas. Jika mundur ke belakang, desakan untuk mengesahkan Perppu Kebiri semakin kencang ketika kasus pemerkosaan seorang anak perempuan bernama YY di Bengkulu muncul di media pada April 2016. Masyarakat panik dan emosional dengan kasus tersebut. Kemampuan Pemerintah untuk melindungi anak dari kekerasan seksual dipertanyakan. Cara paling mudah bagi pemerintah untuk menenangkan emosi masyarakat dalam situasi ini adalah mengeluarkan peraturan dengan hukuman yang berat. Walaupun sampai detik ini belum ada studi di Indonesia yang menyatakan bahwa hukuman berat bisa mengurangi angka kekerasan seksual pada anak.
Perppu Kebiri juga menunjukkan bahwa kebijakan yang dibangun pemerintah untuk mengurangi kekerasan seksual terhadap anak hanya fokus pemberian hukuman terhadap pelaku, namun lupa menjamin korban dan masyarakat pulih setelah kejadian. Kasus pemerkosaan anak di Bengkulu tadi bisa menjadi contoh untuk situasi ini. Negara memang telah menghukum para pelaku, namun mengabaikan hal yang paling penting, yaitu pemulihan keluarga korban agar bisa hidup aman setelah kasusnya selesai.
Baca juga: Aktivis: DPR Anggap Remeh RUU PKS
Kebiri kimiawi sulit dilaksanakan
Ikatan Dokter Indonesia sudah menyatakan menolak untuk menjadi eksekutor kebiri kimiawi pada pelaku kekerasan seksual karena bertentangan dengan kode etik profesi dokter. IDI juga memperkirakan bahwa pemerintah perlu mengeluarkan biaya sebesar Rp40 juta untuk melakukan kebiri kimiawi pada satu orang pelaku. Biaya sebesar itu untuk menghukum seseorang tentunya sebuah pemborosan. Selain itu, IDI juga tidak mempunyai standar kompetensi untuk melakukan pengebirian, padahal dalam menjalankan praktik kedokteran, seorang dokter harus menguasai standar kompetensi yang berlaku.
Daripada mengesahkan hukuman kebiri kimiawi yang sulit diterapkan dan belum terbukti ampuh menekan angka kekerasan seksual pada anak, pemerintah seharusnya bisa mulai membenahi sistem perlindungan anak yang fokus pada pemulihan korban, bukan hanya memenuhi emosi masyarakat dengan mengeluarkan hukuman yang berat bagi pelaku.
Ada beberapa aspek yang harus dilakukan pemerintah agar sistem perlindungan anak dari kekerasan seksual benar-benar bekerja. Aspek pertama adalah kualitas data. Pemerintah perlu memperbaiki kualitas data untuk mengenali karakteristik korban, pelaku, kasus, dan lainnya, termasuk menyediakan basis data yang cukup untuk bisa mendukung dilakukannya analisis dalam pengambilan kebijakan.
Aspek kedua adalah sumber daya manusia. Kualitas dan ketersediaan penyidik perempuan di setiap kepolisian sektor (polsek) perlu ditingkatkan. Saat ini jumlah polisi perempuan kurang dari 10 persen dari jumlah polisi yang ada di Indonesia, dan sebagian besar polisi perempuan mengisi peran administrasi dalam sistem kerja kepolisian. Selain penyidik perempuan, pendamping dan pekerja sosial juga perlu dibekali dengan keterampilan untuk mewawancarai dan mendampingi saksi, korban, atau pelaku anak dan orang-orang berkebutuhan khusus. Pemerintah juga perlu membangun sistem pelatihan jaksa, pengacara, dan hakim untuk membaca, memahami, dan menggunakan informasi berbasis data forensik.
Aspek ketiga adalah sarana dan akses. Setiap puskesmas perlu menyediakan rape kit dan petugas kesehatan yang ditempatkan di sana harus dilatih untuk bisa menggunakannya. Langkah ini perlu diikuti dengan menyediakan konselor kasus pemerkosaan/kekerasan seksual di setiap puskesmas. Pemerintah juga harus menjamin akses korban pemerkosaan terhadap morning after pill/abortion pill dan aborsi aman yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Hal lain yang perlu dijamin oleh pemerintah adalah akses anak pada fasilitas dan layanan pemeriksaan dan penanganan penyakit menular seksual. Untuk pencegahan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas dan ketersediaan informasi dan layanan kesehatan reproduksi komprehensif yang berkualitas, tidak diskriminatif, dan sesuai umur dan perkembangan anak. Pemerintah juga harus meningkatkan kualitas dan ketersediaan mekanisme rujukan yang menjamin kebaikan fisik, psikologis, dan perlindungan korban dan saksi, serta pendampingan hukum untuk anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual.
Apa yang bisa masyarakat lakukan? Memastikan anak terlindungi dari kekerasan seksual adalah tanggung jawab kita semua. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah berpikir kritis menyikapi kasus kekerasan yang menimpa anak. Marah dan kesal adalah respons manusiawi, namun kekesalan kita perlu dibarengi dengan tindakan bijak, misalnya dengan tidak menyebarkan informasi pribadi korban dan tidak menyebarkan informasi palsu yang berpotensi memunculkan kepanikan pada banyak orang.
Untuk beberapa orang yang dekat dengan anak seperti guru, tenaga kesehatan, dan pekerja sosial, harus bisa melakukan deteksi dini terhadap tindakan kekerasan seksual melalui kewajiban melaporkan (mandatory reporting) kepada pihak berwajib.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin