Issues Opini Politics & Society

‘Masak Saja Babinya hingga Anjing Menggonggong’: Komunikasi Asbun Pemerintah

Sudah saatnya pemerintah memperbaiki cara berkomunikasi guna membangun kembali kepercayaan publik, stabilitas politik, dan citra di mata rakyat. Peran 'government public relations' jadi vital.

Avatar
  • March 24, 2025
  • 5 min read
  • 1712 Views
‘Masak Saja Babinya hingga Anjing Menggonggong’: Komunikasi Asbun Pemerintah

“Sudah dimasak saja,” ucap Hasan Nasbi, Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi di Kompleks Istana Kepresidenan, (21/3).

Pertanyaan itu terlontar kala jurnalis meminta respons dia soal kiriman kepala babi ke host siniar “Bocor Alus Politik” Francisca Christy Rosana atau Cica.

 

Tak lama berselang, Hasan merilis komentar lebih panjang. Bahwasanya komentar soal memasak babi itu keluar agar perkara teror ke jurnalis jangan dibesar-besarkan. Same vibes dengan komentar Hasan, beredar komentar Presiden Prabowo Subianto yang menyebut kritik rakyat ibarat anjing menggonggong.

Sebagai rakyat, kita sudah berulang kali disuguhi gaya komunikasi pejabat pemerintah macam itu. Dalam rentetan aksi “Indonesia Gelap”, satu aspek yang perlu disoroti adalah pola komunikasi pemerintah. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat strategis untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan transparansi kebijakan, tampaknya belum dimanfaatkan maksimal oleh pemerintah.

Sebaliknya, pemerintah justru merespons dengan pernyataan-pernyataan yang kian memperkeruh ketegangan, menyudutkan pengkritik, dan cenderung represif, yang berpotensi menyulut gerakan perlawanan dan demonstrasi yang lebih besar.

Sudah saatnya pemerintah memperbaiki cara berkomunikasi guna membangun kembali kepercayaan publik, stabilitas politik, dan citra di mata rakyat. Dalam konteks ini, peran government public relations (GPR) menjadi krusial untuk membangun komunikasi di masa krisis.

GPR Redam Eskalasi

GPR bukan sekadar instrumen penyampaian informasi, tetapi juga alat strategis dalam membentuk opini publik dan meredam eskalasi konflik.

Pemerintah yang efektif dalam mengelola krisis cenderung memiliki strategi komunikasi yang terencana, transparan, dan empatik.

Salah satu pendekatan penting dalam GPR adalah komunikasi prakrisis. Sebelum krisis terjadi, pemerintah harus membangun narasi yang jelas mengenai kebijakan yang berpotensi menuai polemik. Misalnya, ketika mahasiswa mulai menunjukkan keresahan terhadap kebijakan tertentu, pemerintah bisa lebih proaktif dengan menjelaskan secara terbuka alasan dan implikasi kebijakan tersebut.

Gagalnya komunikasi prakrisis sering kali menjadi penyebab utama ketidakpuasan publik yang kemudian berujung pada demonstrasi besar-besaran.

Saat krisis terjadi, manajemen informasi menjadi aspek yang tak kalah krusial. Kecepatan dan akurasi informasi yang disampaikan pemerintah menentukan apakah situasi bisa diredam atau justru semakin memanas. Keterlambatan dalam mengelola informasi hanya akan memperburuk situasi dan menurunkan kepercayaan publik.

Di era digital, media sosial menjadi arena utama dalam pertempuran opini publik. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan media konvensional untuk merespons krisis, tetapi harus aktif dalam memantau dan merespons perbincangan di media sosial.

Utamakan Dialog, Bukan Represi

Demonstrasi mahasiswa, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, seharusnya dihadapi dengan pendekatan dialog dan komunikasi terbuka, bukan represi. Sejarah telah membuktikan bahwa penggunaan kekuatan berlebihan terhadap demonstran hanya akan memperparah ketegangan dan memperpanjang konflik politik.

Dalam banyak kasus, respons represif terhadap demonstrasi justru menimbulkan efek jangka panjang berupa menurunnya legitimasi pemerintah.

Penanganan yang kurang bijak—seperti tindakan represif terhadap demonstrasi mahasiswa di berbagai negara—menunjukkan bahwa kekerasan aparat sering kali justru memperburuk citra pemerintah.

Studi tentang respons pemerintah terhadap demonstrasi di berbagai negara menunjukkan bahwa represi yang berlebihan dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, bahkan dalam sistem demokratis sekali pun.

Sebaliknya, pendekatan berbasis komunikasi yang lebih terbuka, seperti model komunikasi berbasi dialog di Inggris, menunjukkan bahwa komunikasi langsung antara aparat dan demonstran bisa meredakan ketegangan. Model komunikasi semacam inimengedepankan interaksi aktif antara kepolisian dan masyarakat dalam mengelola aksi protes.

Strategi ini melibatkan petugas kepolisian yang terlatih secara khusus untuk menjalin komunikasi yang kooperatif dengan para demonstran, sehingga eskalasi konflik dapat dicegah sejak dini. Dengan membangun saluran komunikasi yang transparan dan terbuka, petugas kepolisian dapat memahami tuntutan demonstran dan menegosiasikan solusi yang lebih konstruktif.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sudah mengambil langkah yang seharusnya dengan menemui massa mahasiswa yang melakukan demonstrasi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, pada 20 Februari lalu.

Pendekatan ini tidak hanya mengurangi kemungkinan bentrokan fisik tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Selain itu, pendekatan berbasis dialog juga mencakup penggunaan mediator independen dan pengamat untuk memastikan bahwa proses komunikasi berjalan secara adil dan tidak berpihak.

Perlu Respons Empatik, Bukan Elitis

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana agar respons pemerintah terhadap kritik publik tidak bersifat elitis dan kurang empatik.

Dalam teori komunikasi krisis, pemerintah seharusnya mengadopsi strategi yang dapat meredam kepanikan publik dan membangun kembali kepercayaan.

Namun, pola komunikasi pemerintah di Indonesia—yang memperlihatkan pola komunikasi yang elitis, tidak empatik, dan defensif terhadap kritik publik—justru sering memprovokasi reaksi lebih luas.

Dalam fenomena tagar viral #KaburAjaDulu, misalnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer justru merespons dengan pernyataan “Mau pergi, ya silakan saja. Kalau memang tidak ingin kembali, juga tidak masalah.” Ini jelas bentuk pernyataan pejabat publik yang sangat tidak peka terhadap keresahan rakyat.

Sementara terhadap tagar #IndonesiaGelap yang digunakan masyarakat di media sosial untuk memprotes pemerintah, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menepisnya dan justru menyatakan “Jadi kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia. Jadi kita jangan terus mengklaim sana-sini.” Respons Luhut ini terkesan menyalahkan rakyat dan mengabaikan keresahan masyarakat.

Sudahlah gagal mengantisipasi dampak sosial yang timbul, pemerintah juga gagal mengomunikasikan kebijakan secara efektif kepada publik.

Tantangan Kembalikan Kepercayaan Publik

Tantangan terbesar dalam komunikasi krisis pemerintah bukan hanya bagaimana meredam demonstrasi, tetapi juga bagaimana mengembalikan kepercayaan publik pascakrisis.

Transparansi dan empati harus menjadi prinsip utama dalam komunikasi publik pemerintah. Komunikasi krisis bukan sekadar menjelaskan kebijakan, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah mendengar dan memahami kegelisahan rakyat.

Dengan strategi GPR berbasis transparansi, partisipasi, dan komunikasi yang responsif, demonstrasi bukan lagi menjadi ancaman bagi stabilitas negara, melainkan kesempatan untuk memperkuat demokrasi melalui dialog yang konstruktif.

Yohanes Widodo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, peminat media dan jurnalisme, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality
Avatar
About Author

Yohanes Widodo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *