Kejutan di Ujung ‘Twenty-Five Twenty One’
Banyak yang tak suka pada ujung ‘Twenty-Five Twenty One’. Dan saya paham dari mana kemurkaan itu hadir.
(Hati-hati spoiler)
Twenty-Five Twenty One bukan Our Beloved Summer meskipun sekilas keduanya kelihatan punya banyak kesamaan. Posternya sama-sama menggemaskan dan menampilkan muda-mudi yang bahagia dengan warna-warni terang benderang. Sama-sama membawa tema percintaan yang dibungkus dalam drama slice-of-life. Dan yang paling penting, keduanya mengkapitalisasi memori atau nostalgia dalam bercerita.
Namun, setelah menonton episode terakhir Twenty-Five Twenty One, kesamaan itu berakhir. Tidak seperti Our Beloved Summer yang berakhir mengharu biru, Twenty-Five Twenty One punya kesimpulan yang lebih dekat dengan realitas. Saking dekatnya, it hurts so bad, Linda.
Baca juga: Tiga Diskusi Menarik dari Dokumenter The Tinder Swindler
Drama Rivalitas ala Asia
Seperti Kuch Kuch Hota Hai (1998) yang legendaris, Twenty-Five Twenty One dibuka dengan adegan seorang anak yang tenggelam ke masa lalu orang tuanya lewat diary. Si anak yang bernama Kim Min-Chae (Choi Myung-Bin) sedang berkelahi dengan ibunya dan memutuskan kabur ke rumah nenek. Di kamar lama ibunya, Min-Chae menemukan buku itu, dan diam-diam ia larut, kembali ke masa kecil sang ibu.
Na Hee-Do (Kim Tae-Ri) muda ternyata terobsesi pada fencing. Ia ingin menjadi atlet fencing terbaik Korea Selatan, sekaligus mengagumi Ko Yu-Rim (Bona), atlet fencing nasional yang dibanggakan Korsel. Di saat bersamaan, Na Hee-Do ingin jadi rival sekaligus sahabat Ko Yu-Rim.
Obsesinya dengan fencing ini, membawa penonton ke masalah kedua: perseteruan Na Hee-Do dengan ibunya, Shin Jae-Kyung (Seo Jae-Hee). Hee-Do merasa Ibunya tak pernah ada, dan terlalu larut menjalankan profesinya sebagai jurnalis. Sementara sang ibu tak yakin bahwa mimpi Hee-Do menjadi atlet fencing adalah sebuah cita-cita yang harus diperjuangkan. Singkat kata, hubungan keduanya tak baik.
Di sanalah Back Yi-Jin (Nam Joo-Hyuk) hadir. Seorang mantan anak orang kaya yang akhirnya nyepi ke kota tempat Hee-Do tinggal karena bisnis orang tuanya bangkrut. Pertemuan mereka awalnya gemas, seperti kebanyakan drama korea pada umumnya. Hee-Do suka baca komik dan Yi-Jin kebetulan bekerja paruh waktu di perpustakaan langganan Hee-Do. Hubungan profesional mereka berubah jadi lebih personal ketika keduanya mulai saling membutuhkan. Orang-orang bisa saja melihat ini cinta monyet, tapi bagi keduanya hubungan mereka lebih dari sekadar taksir-taksiran. Mereka adalah support system masing-masing.
Baca juga: Seberapa Akurat Inventing Anna dan Kenapa Kita Perlu Tahu?
Ending yang Tak Sesuai Ekspektasi
Sebenarnya dari awal Twenty-Five Twenty One dimulai, saya sudah merasa bahwa ini bukanlah kisah cinta. Ini bukan How I Met Your Mother (contoh series dengan plot nostalgia serupa) yang memberikan kita ujung memuaskan, ketika protagonis utama laki-laki bertemu protagonis perempuan yang tepat. Atau dalam kasus Twenty-Five Twenty One, ada kejutan bahwa bapak Min-Chae adalah Yi-Jin, atau sebuah closure menyenangkan tentang hubungan Hee-Do dan Yi-Jin dewasa diselipkan.
Serial ini lebih tentang wisata masa lalu daripada tentang cinta lama bersemi kembali. Kontras antara Hee-Do dewasa dengan Hee-Do muda menurut saya adalah alasannya.
Banyak yang tak suka konklusi di episode terakhir Twenty-Five Twenty One. Setidaknya begitu respon netizen yang berkeliaran di linimasa saya. Banyak yang teriak, ujungnya tak sesuai ekspektasi mereka dan menuntut ujung yang lebih jelas. Banyak yang ingin Hee-Do dan Yi-Jin berakhir bersama, karena apa gunanya menghabiskan 15 episode meyakinkan kita bahwa mereka saling jatuh cinta, jika hanya untuk mematahkan hati penonton? Saya mengerti kemurkaan ini, tapi Twenty-Five Twenty One bukanlah Our Beloved Summer, yang menggunakan nostalgia untuk membuat karakternya tersadar bahwa mereka masih belum move on. Twenty-Five Twenty One adalah sebuah kapsul waktu. Drama korea ini mengajak kita untuk melihat masa muda Hee-Do yang karut-marut, tapi juga memaknai lagi jadi sebuah pelajaran yang indah.
Salah satu hal yang paling menyenangkan (dan juga mengagumkan) soal Twenty-Five Twenty One adalah bagaimana pembuatnya mengajak penonton untuk mengobservasi hubungan-hubungan Hee-Do dengan orang-orang yang kelak akan menjadi bagian penting dalam hidupnya. Dalam kebanyakan drama korea, karakter utama biasanya punya geng atau pertemanan yang sudah kuat duluan. Sehingga dramanya tidak fokus pada bagaimana hubungan-hubungan ini terbentuk.
Di awal episode, pembuat Twenty-Five Twenty One mengenalkan kita pada Hee-Do yang terlihat cukup mandiri. Dia tidak punya teman dekat yang bisa dianggap menjadi tempat untuk nongkrong bareng. Satu-satunya yang bisa dianggap sahabat bagi Hee-Do saat itu adalah karakter-karakter fiksi dalam komik yang sedang dia baca. Oleh karena itu, menurut saya sangat menarik melihat progress bagaimana Hee-Do akhirnya menemukan orang-orang yang menjadi temannya. Dan yang lebih seru lagi, teman-teman yang ada di sekitar Hee-Do mempunyai origin story dan tujuan yang sangat berbeda-beda.
Kalau Ji Seung-Wan (Lee Joo-Myung) menggunakan kedekatan Hee-Do dan Yi-Jin sebagai awal kedekatan mereka, maka Moon Ji-Woong (Choi Hyun-Wook) menggunakan kedekatan Hee-Do dan Ko Yu-Rim) sebagai awal pondasi hubungan mereka. Kalau Seung-Wan ingin kelihatan eksis di depan Yi-Jin sebagai junior, Ji-Woong menggunakan Hee-Do karena dia ingin menyatakan perasaannya dengan kekasih yang ia suka.
Namun, dari semua pertemanan Hee-Do dengan “geng pantai” ini, tidak ada yang progress-nya lebih menarik daripada hubungan Hee-Do dengan Yu-Rim. Dimulai dengan obsesi dan kekaguman, kemudian diikuti dengan kekecewaan karena ternyata Yu-Rim tidak seperti yang Hee-Do kira, hubungan mereka berlanjut jadi rival. Keduanya bahkan tidak bisa berada di ruangan yang sama meskipun mereka tinggal di asrama yang sama. Tak seperti drama korea sejenis yang cuma menjadikan rivalitas sebagai bumbu, pembuat Twenty-Five Twenty One menarik hubungan mereka ke level yang lebih tinggi: bestie. Episode di mana Hee-Do dan Yu-Rim akhirnya membuang semua perbedaan mereka dan memutuskan bahwa mereka lebih punya banyak kesamaan adalah salah satu episode terbaik dalam Twenty-Five Twenty One.
Baca juga: Turning Red Sebagai Metafora Menstruasi yang Tabu
Luka Bernama Hubungan Ibu dan Anak
Bagian kedua yang meyakinkan saya bahwa Twenty-Five Twenty One bukan sekedar kisah cinta remaja good looking adalah bagaimana pembuat drama ini menggambarkan hubungan Hee-Do dan ibunya yang penuh dengan turbulensi. Secara sekilas, sangat mudah untuk melihat kenapa Hee-Do sangat kesal dengan ibunya. Tidak hanya ibunya absen di rumah, yang dilakukan ibunya hanya mengemukakan kekecewaan. Dia selalu marah-marah. Dan yang paling parah, dia tidak pernah kelihatan untuk memberikan dukungan terhadap mimpi Hee-Do untuk menjadi atlet fencing.
Tapi bahkan dari awal episode penonton sebenarnya sudah diberi tahu bahwa rasa sayang Jae-Kyung terhadap anaknya sebesar itu, meskipun dia tidak menunjukkannya. Dari cara dia ketemu dengan teman lamanya untuk memindahkan Hee-Do dari sekolah lamanya sampai caranya membelikan seragam baru sudah menunjukkan betapa pedulinya Jae-Kyung terhadap putrinya.
Tapi tentu saja ini semua tidak cukup. Bagi kebanyakan anak, terutama yang masih remaja, aksi yang jelas adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan positioning. Hubungan keduanya yang gersang akhirnya kembali tumbuh subur di pertengahan Twenty-Five Twenty One ketika Hee-Do dan Jae-Kyung memutuskan untuk nyekar ke kuburan ayah Hee-Do. Ini adalah salah satu episode terbaik Twenty-Five Twenty One karena tidak hanya penonton akhirnya tahu bagaimana positioning Jae-Kyung selama ini, tapi kita juga akhirnya tahu betapa beratnya Jae-Kyung selama ini memberi support Hee-Do sebagai seorang single mother.
Dan tentu saja Yi-Jin punya peran yang penting dalam masa muda Hee-Do yang begitu kacau tapi begitu indah. Tapi tidak seperti kebanyakan drama korea lain, setiap kali saya menyaksikan adegan Hee-Do dan Yi-Jin sedang gemas-gemasan, saya tidak merasakan euphoria yang meledak-ledak. Saya merasa agak sedikit getir karena saya tahu ini hanya memori indah yang didokumentasikan dengan begitu baik.
Sayang sekali memang, hubungan Hee-Do dan Yi-Jin yang begitu baik dan begitu fungsional (keduanya saling support! Keduanya hampir nggak pernah ada drama!) terpaksa harus berakhir karena keduanya tersadar bahwa berpisah lebih baik. Kedengarannya memang sedih karena kita sebagai penonton menjadi saksi utama bagaimana cinta mereka berkembang menjadi sesuatu yang layak untuk dipertahankan. Tapi kalau dilihat secara teliti, episode-episode terakhir Twenty-Five Twenty One mereka berdua lebih banyak nangisnya daripada senyumnya. Kontras sekali dengan awal-awal ketika mereka bertemu.
Di menit-menit terakhir, Hee-Do dan Yi-Jin mengucapkan rasa sayang mereka. Mereka saling memberi tahu masing-masing bahwa cinta mereka akan menjadi sesuatu yang mereka bawa sampai tua. Tanpa masing-masing, mereka mungkin tidak akan menjadi seperti yang sekarang. Dan menurut saya, ini adalah sebuah akhir yang bagus. Baik Hee-Do dan Yi-Jin tahu benar bahwa mereka lebih sehat jika berpisah. Dan memilih untuk bahagia meskipun akhirnya mereka tidak bisa bersama adalah ending paling layak untuk mengakhiri masa muda Hee-Do yang penuh warna.
Twenty-Five Twenty One dapat disaksikan di Netflix