Election 2024 Issues

Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu 2024: Bukti Politik Belum Aman bagi Perempuan

Ini daftar kekerasan berbasis gender yang terjadi selama pemilu kemarin.

Avatar
  • July 9, 2024
  • 6 min read
  • 974 Views
Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu 2024: Bukti Politik Belum Aman bagi Perempuan

Di Pemilu Legislatif 2024, Baihajar Tualeka (51) mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Dapil 2 Kecamatan Sirimau, Ambon. Sebagai salah satu strategi kampanye, ia memasang beberapa baliho di Desa Batu Merah, wilayah dapilnya. Selang sehari, baliho-baliho itu ada yang rusak dan hilang tanpa diketahui pelakunya.

Itu bukan satu-satunya intimidasi yang Baihajar alami selama masa kampanye. Warga Sirimau sempat mempertanyakan agama yang dianut Baihajar, lantaran tidak memakai jilbab pada foto kampanye. Bahkan mempersoalkan suku Baihajar, yang asli orang Ambon. Sementara di tempat tinggalnya didominasi oleh Suku Buton sehingga warga lebih memilih caleg yang memiliki kesamaan latar belakang. Meski tidak memahami rekam jejaknya.

 

 

Perihal politik identitas berdampak pada perolehan suara Baihajar. Saat masa kampanye, ia memiliki elektabilitas tinggi. Timnya—perempuan dari berbagai komunitas di Ambon—memperkirakan akan mendapatkan 2000 suara. Sayang, pada akhirnya Baihajar hanya memperoleh 600 suara.

“Menjelang hari pemilihan itu caleg lain main politik uang. Saya enggak mau merendahkan martabat (warga) dan merusak proses demokrasi,” ungkap Baihajar.

Baca Juga: Apa itu Gendertrolling, Kekerasan pada Politisi Perempuan

Para caleg memberikan uang untuk warga miskin, dengan nominal berkisar Rp250 ribu hingga Rp500 ribu. Dari interaksi Baihajar dengan warga, mereka memang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Alhasil, uang bernilai lebih besar dibandingkan suara pilihan mereka—meski sebelumnya sudah diedukasi oleh tim Baihajar supaya tidak menggunakan kampanye hitam dan politik identitas.

Lebih dari itu, perempuan merupakan target utama yang diintimidasi dan dimobilisasi untuk mencoblos surat suara kosong. Menurut Baihajar, mereka didesak oleh suami, saudara, atau anak laki-laki agar menggunakan suaranya untuk caleg tertentu. Kemudian menerima uang dari tim sukses Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang bekerja untuk caleg yang bersangkutan. Situasi ini menunjukkan bahwa perempuan berpenghasilan rendah, rentan mengalami Kekerasan Berbasis Gender (KBG).

“Sepanjang sejarah, Pileg 2024 ini yang terburuk di Indonesia,” katanya.

Situasi yang terjadi di Dapil 2 Kecamatan Sirimau merepresentasikan politik yang identik dengan laki-laki, dan belum memberikan ruang bagi perempuan. Ini tak hanya tercermin lewat persentase keterwakilan perempuan di hasil Pemilu 2019, yang berada di bawah 30 persen

Situasi yang terjadi di Dapil 2 Kecamatan Sirimau merepresentasikan politik yang identik dengan laki-laki, dan belum memberikan ruang bagi perempuan—meski dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan, setidaknya keterwakilan perempuan mencapai 30 persen. Sebab, perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam partisipasinya di dunia politik.

Berdasarkan riset Kalyanamitra, ada beberapa bentuk KBG dalam Pemilu 2024: intimidasi terhadap pembela HAM, diskriminasi terhadap perempuan dan caleg dan petugas pemilu. Kemudian narasi seksis dan ujaran kebencian, kekerasan seksual selama masa kampanye, serta kekerasan dalam ranah privat.

Ada juga beban kerja berlebih penyelenggara pemilu, pemungutan suara yang tidak inklusif, juga intimidasi dan mobilisasi untuk perolehan suara. Sebenarnya, apa yang melatarbelakangi KBG dalam pemilu?

Baca Juga: Kebebasan Pers dan Berekspresi Terancam Pasca-Pemilu 2024?

Dampak Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu 2024

KBG selama Pemilu 2024 tidak hanya terjadi di Ambon. Ia juga tercatat di beberapa daerah lain seperti Makassar dan Banda Aceh.

Saat menghadiri peluncuran riset KBG dalam Pemilu 2024 oleh Kalyanamitra pada Senin, (24/6), Suryani dari Solidaritas Perempuan Anging Mamiri mengatakan, di Makassar, beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS) punya syarat pencoblosan berbeda: Ada yang cukup membawa KTP, ada yang meminta warga membawa Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara—atau formulir C6. Ini berdampak pada perempuan di komunitas pesisir yang sulit mengakses informasi. Karenanya, mereka enggak bisa memilih.

Foto: Aurelia Gracia

Sedangkan di Banda Aceh, Riswati dari Flower Aceh menyampaikan, perempuan yang melakukan pekerjaan selain mengurus rumah tangga justru dikhawatirkan tidak bisa menjadi pemimpin yang layak.

Yang mungkin tak terlihat, KBG selama Pemilu 2024 juga menimbulkan sejumlah dampak—fisik, psikis, sosial, ekonomi, dan politik. Contohnya trauma akibat ancaman dan diskriminasi. Atau pengeluaran biaya yang besar demi keperluan kampanye.

Hal itu diamini oleh Baihajar, yang merasa dirugikan secara materi karena balihonya hilang dan dirusak. “Pesan yang mau disampaikan ke masyarakat juga nggak sampe,” ucapnya.

Situasi ini menunjukkan, KBG dalam Pemilu 2024 tak luput dari faktor politik, sosial, dan negara—sebagaimana disebutkan Kalyanamitra lewat studi yang sama.

Pada konteks politik, misalnya, kandidat mengintimidasi pemilih dan petugas penyelenggara pemilu dengan menggunakan politik uang. Atau tidak adanya pendidikan politik dari internal partai, bagi kandidat perempuan—seperti dialami Baihajar saat melalui proses rekrutmen.

Dari faktor sosial, di antaranya berupa penyebarluasan narasi seksis dan ujaran kebencian terhadap kandidat, atau ancaman terhadap kelompok rentan dari lingkungan sosial.

Sedangkan negara ditunjukkan lewat beberapa pengabaian terhadap KBG. Contohnya aparat dan pejabat negara yang bertindak sebagai simpatisan partai, serta tidak adanya mekanisme pencegahan dan penanganan KBG.

Secara lebih luas, KBG juga menyebabkan sedikitnya jumlah perempuan dan kelompok rentan yang terpilih—sehingga minim representasi maupun visibilitasnya. Belum lagi stereotip bahwa perempuan tidak cukup kompeten sebagai pejabat publik. Akibatnya, perspektif dan kebutuhan khusus kelompok rentan dikesampingkan dari kebijakan dan penyelenggaraan pemilu.

Baca Juga: Tak Hanya Fisik: Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Privat

Mengatasi KBG dalam Pemilu

Kalyanamitra merekomendasikan beberapa hal untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dalam Pemilu. Pertama, meningkatkan kesadaran publik tentang bentuk KBG yang dihadapi perempuan dalam politik. Kedua, pentingnya kebijakan perlindungan dari negara, dengan menegakkan mekanisme pelaporan yang aman dan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan.

Sebenarnya, Juni lalu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komnas Perempuan melakukan Nota Kesepahaman, tentang Pencegahan dan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu. Mengutip siaran pers di situs Komnas Perempuan, tujuannya adalah menciptakan Pemilu yang inklusif, adil, dan bermartabat—termasuk dalam tata kerja institusi.

Termasuk dengan meningkatkan kapasitas penyelenggara pemilu, memantau KBG yang terjadi selama pemilu, pilkada, dan di lingkungan bawaslu. Kemudian mengedukasi masyarakat tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam politik dan bahaya KBG, serta mengadvokasi kebijakan dan peraturan supaya pencegahan, penanganan, pemulihan korban KBG lebih kuat.

Menurut Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Nota Kesepahaman itu akan disosialisasikan dan diterapkan oleh Bawaslu tingkat kabupaten, kota, dan provinsi. Diikuti dengan menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

Demi mengetahui lebih lanjut mengenai implementasinya, Magdalene berusaha mewawancarai Bawaslu Pusat dan Jakarta. Tetapi tidak direspons.

Ketiga, Kalyanamitra menjelaskan perlunya sosial dan budaya. Selain menghargai keterlibatan perempuan dalam politik, tujuannya untuk mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender.

Keempat, penguatan kapasitas perempuan dengan mengadakan pelatihan kepemimpinan dan dukungan jaringan. Kelima, gerakan kolektif dari berbagai organisasi dan kelompok masyarakat sipil. Ini dilakukan oleh Baihajar selama kampanye, bersama komunitas mengedukasi warga untuk memilih caleg yang berkualitas dan berintegritas. Dan menghindari kampanye hitam.

“Masyarakat harus paham, ketika politik uang terus dilakukan, berarti memberikan ruang untuk politisi korupsi,” terangnya.

Keenam, lembaga pengawas melakukan pemantauan dengan transparan agar KBG ditindaklanjuti dengan adil. Ketujuh, menegakkan hukum untuk memberikan perlindungan memadai bagi perempuan dan kelompok rentan. Kedelapan, media merepresentasikan perempuan dalam politik secara adil dan positif, serta melaporkan KBG dengan bertanggung jawab.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *