Ketika Kekerasan Jadi Tiket Naik Jabatan: Membaca Gaitok dan Mook dalam ‘The White Lotus Season 3’
Apa yang kamu bawa pulang dari kisah Gaitok dan Mook dalam White Lotus?

Setelah episode final The White Lotus Season 3 tayang minggu ini, percakapan daring meledak membahas twist cerita, karakter favorit, hingga performa para aktornya.
Salah satu plotline yang banyak menuai kekecewaan adalah subplot Gaitok (Tayme Thapthimthong) dan Mook (Lalisa Manoban alias Lisa dari BLACKPINK). Dianggap lambat, tak berkembang, bahkan “gitu doang,” kisah mereka terkesan minor jika dibandingkan dengan keruwetan drama para tamu hotel yang kaya-raya.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, relasi antara Gaitok dan Mook justru menyimpan kedalaman tematik, khas dari Mike White—sunyi, tapi mengguncang.
Mike White, yang juga menulis dan menyutradarai seluruh seri ini, dikenal karena kemampuan menulis yang berlapis. Ia menciptakan karakter dan situasi yang tampak biasa—bahkan nyaris remeh—tapi menyimpan ironi, pertentangan nilai, dan pencarian eksistensial yang tajam. Ia tidak pernah menggurui, tapi menawarkan ruang refleksi yang subtil bagi penonton yang bersedia membaca lebih dalam. Plot Gaitok dan Mook adalah salah satu contohnya.
Baca juga: Alasan Plot Whodunit ‘White Lotus 2’ Beda dan Gay Twitter Terobsesi Series Ini
Bukan Kisah Patah Hati Biasa, Ada Idealisme yang Ditabrakan
Sebelum adegan kencan pertama mereka di ruas jalan yang ramai penjaja makanan terjadi, Gaitok memandang Mook sebagai sosok ideal: Cantik, pintar, dan potensial menjadi jalan keluar dari hidupnya yang repetitif sebagai staf hotel kelas bawah. Namun, idealisasi ini segera runtuh ketika Mook, di tengah obrolan saat kencan pertama itu, menunjukkan bahwa nilai yang ia pegang bukan spiritualitas atau kedamaian, melainkan status dan ambisi.
Adegan kencan pertama mereka yang tenang itu pelan-pelan berubah menjadi medan tarik ulur nilai. Ketika Mook mempertanyakan mengapa Gaitok tidak punya keinginan untuk ‘maju’, ia sejatinya sedang menolak gaya hidup non-kekerasan dan non-kompetitif yang menjadi dasar Buddhisme Theravada—dan yang selama ini jadi fondasi hidup Gaitok.
Ini bukan hanya kisah patah hati biasa. Dalam diamnya, Gaitok merepresentasikan perjuangan besar yang hadir di sepanjang serial ini: Bisakah seseorang bertahan dalam nilai-nilai spiritual seperti ketidakmelekatan (detachment), ketika seluruh dunia di sekitarnya telah dijajah oleh kapitalisme global?
Baca juga: ‘The White Lotus’: Satir Menggigit dari si Kaya dan Miskin
Victoria Ratliff (Parker Posey), misalnya, bahkan secara eksplisit berdoa agar anaknya, Piper (Sarah Catherine Hook) tidak ‘terlepas’ dari dunia material. Piper yang dikisahkan tengah berada dalam perjalanan spiritual mencari ‘pencerahan’, justru ditampilkan sebagai pribadi yang terasing dari kenyataan dan menolak mengakui privilesenya. Dalam dunia The White Lotus, pencarian spiritual Barat sering kali menjadi bentuk eksotisme dan pelarian semu.
Di sisi lain, Gaitok, yang hidup dalam budaya Buddhis sejak lahir, justru disudutkan karena kesetiaannya pada prinsip ahimsa (anti-kekerasan).
Dalam satu adegan penting, Mook mengkritiknya karena tidak ambisius dan terlalu ‘lembek’. Di momen itu, Gaitok tidak hanya ‘kehilangan’ seseorang yang ia kagumi, tetapi juga dipaksa mempertanyakan keberadaannya: Apakah menjadi orang baik berarti harus tetap miskin dan tak berdaya? Jika ia menolak kekerasan, apakah itu berarti ia takkan pernah naik jabatan?
Momen ini mengingatkan saya pada kutipan Zora Neale Hurston dalam Their Eyes Were Watching God, “Something fell off the shelf inside her.” Tanpa pilihan akting yang besar, kita bisa melihat sesuatu yang runtuh dari sorot mata Gaitok: Ilusi, cinta, dan mungkin juga harapan.
(Spoiler setelah ini – hentikan membaca jika kamu belum menonton episode terakhir.)
Baca juga: Review ‘Triangle of Sadness’: Mengolok-olok Orang Kaya Lewat Humor Östlund
Gaitok dan Kekalahan Spiritualnya
Yang membuat akhir dari arc Gaitok begitu ironis adalah bahwa ia akhirnya “naik jabatan” setelah melakukan tindakan kekerasan—membunuh seseorang atas perintah atasannya. Mook pun tersenyum bangga padanya, seolah pencapaian itu sah secara moral. Gaitok telah “berhasil,” tetapi dengan mengorbankan nilai yang selama ini ia pegang teguh. Ini adalah akhir yang pahit: Keberhasilan yang mengandaikan kekalahan spiritual.
Menarik pula melihat perjalanan senjata yang digunakan Gaitok. Sebelumnya ia berpindah tangan ke Tim Ratliff (Jason Isaacs), karakter pria Amerika yang juga berada di ujung jurang: Menghadapi skandal finansial yang bisa menghancurkan hidup dan keluarganya.
Tim adalah simbol kapitalisme Amerika: Penuh insting predator, tapi tidak siap menghadapi akibatnya.
Dalam satu adegan penuh tensi, Tim dan Gaitok seolah bertukar takdir melalui pistol itu. Satunya harus memutuskan, apakah ia masih bisa diselamatkan, sementara yang lain harus memutuskan apakah ia rela mengotori tangan demi bertahan hidup.
Mike White mengeksplor tema-tema tersebut tanpa menggunakan plot twist bombastis. Ia mempercayakan makna pada momen-momen sunyi dan ekspresi yang tertahan.
Arc Gaitok dan Mook justru jadi salah satu yang paling menyentuh, karena bekerja dengan subtilitas dan kesenyapan—terutama jika dibandingkan dengan karakter-karakter lain yang cenderung keras dan nyaring. Jangan salah sangka, karakter-karakter yang loud itu juga menurut saya sangat menghibur, dan yang tak jarang membuat serial White Lotus begitu populer dan dicintai.
Namun, Gaitok adalah satu dari sedikit karakter yang benar-benar merasakan dunia di sekelilingnya, dan yang berjuang untuk tidak kehilangan dirinya sendiri. Beberapa dari kita mungkin memendam, atau mungkin telah melewati, hal yang sama.
