Issues Safe Space

Dugaan Kekerasan Seksual Bupati Maluku Tenggara: Kita Butuh Aturan Turunan UU TPKS

Perempuan itu diperkosa, dibungkam, dan dikawinkan paksa dengan terduga pelaku, Bupati Maluku Tenggara.

Avatar
  • September 14, 2023
  • 5 min read
  • 866 Views
Dugaan Kekerasan Seksual Bupati Maluku Tenggara: Kita Butuh Aturan Turunan UU TPKS

*Peringatan pemicu: Gambaran kekerasan seksual.

Bupati Maluku Tenggara, MTH tengah tersandung kasus kekerasan seksual. Ia diduga memperkosa perempuan, TSA, 21, yang bekerja di kafe milik istri bupati di Kawasan Air Salobar, Kota Ambon. 

 

 

Disampaikan Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dalam konferensi pers, (12/9), kekerasan seksual awalnya terjadi pada Februari 2023. Tepatnya saat TSA baru tiga bulan bekerja di kafe tersebut.

TSA diminta oleh MTH untuk mengantarkan minuman teh ke kamarnya di lantai 3. Di kamar itu TSA mengalami pelecehan seksual dengan dielus kepala dan tangannya. Pada kali kedua sekitar Juni 2023, TSA kembali mengantarkan teh sesuai permintaan sang bupati. Namun, kali ini ketika tiba di kamar bupati, TSA diperkosa.

Kali ketiga diminta mengantarkan teh, teman-teman kerja yang dicurhati TSA menyarankan untuk merekam percakapan di kamar bupati. Dengan telepon genggamnya, korban merekam percakapan saat pelaku hendak melakukan kekerasan seksual. Rekaman itulah yang kemudian menjadi bukti pelaporan kasusnya pada kepolisian.

Pada 1 September 2023, korban didampingi Othe Patty dari Yayasan Peduli Inayana Maluku yang juga pendamping Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD) Maluku, membuat laporan polisi di Polisi Daerah (Polda) Maluku. 

Korban lalu menjalani visum et repertum dan kasusnya memasuki tahap penyelidikan. Akan tetapi beberapa hari kemudian, (4/9), TSA mencoba bunuh diri dengan meminum obat.

“Korban sudah pernah mau melakukan bunuh diri karena dalam kondisi kebingungan,” kata Othe Patty dikutip dari Konde.co.

Kasus ini sempat ramai, tetapi MTH kemudian memberikan uang pada keluarga korban sebesar Rp1 miliar dan berjanji akan menikahi korban secara siri, padahal MTH mempunyai beberapa istri. Setelah pemberian uang ini, tiba-tiba saja laporan korban dicabut dari Polda Maluku oleh keluarganya. 

Pendamping korban pun menilai pencabutan laporan ini terjadi lantaran korban menerima tekanan dari terduga pelaku. Bahkan para aktivis yang menangani kasus juga mendapatkan teror.

Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani yang hadir dalam konferensi pers mengatakan, pemberian uang kepada keluarga korban dan janji terduga pelaku untuk menikahi siri korban merupakan pemaksaan perkawinan dan tindakan kekerasan.

“Modus menikahi pelapor atau korban oleh terlapor atau pelaku adalah modus yang sangat dikenali sebagai siasat pelaku kekerasan seksual untuk melarikan diri dari tanggung jawab hukum. Begitu dikenalnya sehingga secara eksplisit UU TPKS menyatakan tindakan ini sebagai tindak pemaksaan perkawinan,” kata Andy.

Baca juga: Lagi, Pejabat Remehkan Kasus Pelecehan Seksual: Sudah Saatnya Berubah, Pak, Bu!

Pemeriksaan Terhambat, Turunan UU TPKS Semakin Mendesak

Karena masuk dalam tindak pemaksaan perkawinan, Komnas Perempuan pun mendorong kepolisian melanjutkan pemeriksaan pelaporan kasus awal sekaligus memeriksa informasi adanya pernikahan siri pelapor oleh terlapor. Sayangnya di tengah usaha mendorong keadilan bagi korban, kasus ini justru mandek di tengah jalan.

Menurut laporan Kompas.id, pemeriksaan terhadap terduga pelaku, hingga kini belum bisa dilakukan kepolisian. Hal ini karena terduga merupakan pejabat negara yang pemeriksaannya membutuhkan izin dari Kementerian Dalam Negeri.

Dengan situasi ini, Jaringan Lembaga Pengada Layanan Ina Irawati pun mengatakan kebutuhan aturan turunan UU TPKS menjadi sangat penting. Ini lantaran jika UU sudah disahkan namun aturan turunannya belum ada yakni tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres) maka implementasi undang-undang akan sulit berjalan. 

“Aturan turunan menjadi sangat penting karena dalam kasus ini pelaku merupakan memiliki power cukup besar, sehingga dibutuhkan aturan turunan untuk disegerakan terutama aturan turunan melawan terlapor yang memiliki kekuatan,” kata Ina dalam konferensi pers yang diwartakan oleh Media Indonesia. 

Selain itu menurut Ina aturan turunan UU TPKS menjadi begitu penting diterbitkan lantaran mekanisme perlindungan korban kekerasan seksual di daerah-daerah yang dinilai masih terbatas terutama di wilayah kepulauan. 

“Ini jadi salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang bisa terjadi di daerah lain bahwa aturan turunan dari UU TPKS sangat ditunggu dan perlu dipastikan juga, substansi aturan turunannya dapat merespon situasi kekhususan masyarakat di daerah, situasi pendamping, apalagi saat pelaku merupakan pejabat,” kata Ina.

Baca juga: Mempertanyakan Kesiapan Polisi Tangani Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

UU TPKS sendiri disahkan pada 12 April 2022 dan diundangkan pada 9 Mei 2022. Keberadaannya dianggap sebagai kemajuan hukum yang bisa menjamin keadilan buat korban kekerasan seksual. Hanya saja, aturan itu belum cukup untuk memastikan teknis penegakannya di kementerian, lembaga daerah provinsi, kabupaten/ kota, dan aparat penegak hukum. Karena itulah dibutuhkan aturan turunan.Namun, hingga artikel ini diturunkan, belum ada aturan turunan yang diundangkan–meleset dari target selesai Juni 2023.

Dilansir dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa), ada tujuh aturan turunan UU TPKS yang tengah dirancang. Di antaranya tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) berupa: (1) RPP tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual; (2) RPP tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual; (3) RPP tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual; (4) RPerpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan di Pusat; (5) RPerpres tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak; (6) RPerpres tentang Kebijakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan (7) RPerpres tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *