Issues

Polisi dalam Aksi: Pukuli Demonstran, Intimidasi Jurnalis, Semprot Gas Air Mata, Lalu Teriakkan ‘Lagu Kemenangan’

Rangkuman kekerasan aparat polisi saat mengawal demo #KawalPutusanMK di DPR. Kita perlu desak agar brutalitas itu dihentikan.

Avatar
  • August 23, 2024
  • 6 min read
  • 967 Views
Polisi dalam Aksi: Pukuli Demonstran, Intimidasi Jurnalis, Semprot Gas Air Mata, Lalu Teriakkan ‘Lagu Kemenangan’

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sejumlah kasus kekerasan aparat polisi saat demo Kawal Putusan MK di depan Gedung DPR/ MPR RI, (22/8). Dalam keterangan tertulis yang diterima Magdalene, Ketua YLBHI Muhammad Isnur menuturkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap massa aksi. 

Tak cuma itu, polisi juga menahan total 159 demonstran, dari pelajar, mahasiswa, hingga aktivis. Di antara mereka yang ditahan, ada Asisten Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Iqbal Ramadhan dan Direktur Lokataru Delpedro Marhaen. Hingga dini hari tadi, sebanyak 35 demonstran, menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah, sudah dipulangkan. Namun sisanya, 124 orang masih tersebar di Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Barat, dan Polsek Tanjung Duren. 

 

 

Salah satu demonstran dari Jakarta Pusat, “Kamala” berbagai cerita tentang pengalamannya jadi korban kekerasan polisi. Sekira pukul 19.00, ia yang berada di depan Gedung Parlemen, dipukul mundur setelah polisi memuntahkan gas air mata ke arah massa. Ia pun lari menuju Senayan bersama dengan demonstran lainnya.  

Saat menyelamatkan diri, Kamala menyaksikan polisi semakin brutal melakukan kekerasan. “Enggak cuma water cannon dan gas air mata, polisi menaiki motor dan mulai menabraki demonstran membabi-buta. Massa panik, ada yang memanjat fly over Senayan. Tapi polisi masih mengejar. Aku lihat ada demonstran yang sudah jatuh pun masih dipukuli, diseret. Ada yang sesak napas, ada yang kepalanya luka kena hantam,” tuturnya pada Magdalene. 

Beruntung, Kamala bisa menyelamatkan diri usai memasuki pusat perbelanjaan di sekitar Senayan. Namun, ia belum bisa bernapas lega karena bahkan di depan mal pun, polisi masih menyemprotkan water cannon. Lalu tiga aparat membawa pentungan, merazia Kamala dan demonstran lain hingga masuk ke dalam mal. 

Penjaga toko dalam mal yang panik, terpaksa menutup dagangannya lebih cepat, sekitar pukul 19.30 WIB. Meski akhirnya selamat, Kamala tak bisa langsung pulang. Ia bersama demonstran lain, termasuk beberapa jurnalis Magdalene, terjebak di depan area mal, karena jalanan diblokade aparat, lengkap dengan dua unit mobil rantis, mobil water cannon, dan pasukan berkendara motor. Semua kendaraan dilarang melintas di sekitar lokasi selama setengah jam. Kamala baru bisa pulang sekira jam 20.30 WIB. 

Ia menyesalkan tindakan represif aparat. Sebab, sebagai warga negara, ia merasa haknya untuk ikut dalam aksi massa dan menyuarakan pendapat, dijamin oleh konstitusi. “Niatku (ikut aksi) cuma mau memperjuangkan hak sebagai warga negara. Jika kita diam, ke depannya pemerintah akan terus bangun dinastinya. Sampai sini malah direpresi,” ungkapnya. 

Foto oleh: Tommy Triardhikara/Magdalene.co

Baca juga: Sudah Demo dan Marah di Medsos: Apa yang Bisa Kita Lakukan Selanjutnya? 

Jurnalis juga Jadi Korban 

Kamala bukan satu-satunya yang jadi korban kekerasan aparat kepolisian. Tempo menulis, jurnalisnya “H” dipukuli saat sedang merekam aparat TNI dan Polisi, yang diduga menganiaya demonstran yang sudah terkulai dekat lokasi pagar jebol DPR, Jalan Gatot Subroto. H mendengar terduga aparat yang berada di belakangnya, sempat melontarkan kalimat “Matiin aja” terhadap pendemo yang terkulai itu. 

Mendadak tiga aparat memegang H di kanan, kiri, dan depan. Meski sudah menunjukkan surat tugas peliputan, polisi memaksa H menghapus rekamannya, lalu menonjok pipi kanan dan bagian kepala H, serta menendang bagian belakang tubuh H. Ia dilepaskan setelah menghapus rekaman penganiayaan di pos yang berada di komplek DPR. H dilarikan ke RSAL Mintohardjo bersama jurnalis Tempo lainnya, M yang juga dihalang-halangi saat meliput. 

Tak jauh dari lokasi, jurnalis IDN Times yang sedang merekam tindakan kekerasan terduga aparat kepolisian terhadap demonstran, juga direpresi. Seperti H dari Tempo, ia dipaksa menghapus rekaman kekerasan itu oleh dua aparat, satu berseragam, sisanya berpakaian preman. Karena menolak perintah untuk menghapus rekaman, salah satu aparat menantang jurnalis tersebut untuk berkelahi sembari membawa tameng. Beruntung saat itu, ada teman-teman jurnalis di sekitar yang berhasil menariknya dari gerombolan polisi. 

Terpisah, jurnalis Narasi juga diintimidasi polisi saat tengah melakukan peliputan. Dalam video yang diunggah di Instagram resmi Narasi, jurnalis ini didorong paksa sampai jatuh, oleh polisi yang membawa tameng dan pentungan. Sementara di sisinya, rombongan polisi di atas mobil rantis juga tampak mengintimidasi dan menakut-nakuti jurnalis. 

Foto oleh: Tommy Triardhikara/Magdalene.co

Baca Juga: Tak Penuhi Kuorum, Rapat Paripurna DPR Pengesahan RUU Pilkada Batal 

Kecam Brutalitas Aparat Polisi 

Dalam laman resmi Amnesty International Indonesia, Direktur Eksekutif Usman Hamid angkat bicara. “Satu kata, brutal. Pengamanan yang semula kondusif, berujung brutal. Fatalnya, ini bukan pertama kali,” ucapnya. 

Aparat yang brutal tersebut, imbuh Usman, enggan belajar dari sejarah. Bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut HAM, termasuk hak berkumpul damai, hak untuk hidup, tak disiksa, dan diperlakukan secara manusiawi. 

“Mereka bukan kriminal, melainkan cuma warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, mereka tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal,” tutur Usman. 

Kekuatan polisi sendiri sebenarnya cuma bisa dipakai untuk melindungi atau menyelamatkan jiwa petugas maupun demonstran. Hal ini diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009. Di dalamnya disebutkan, pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali. 

Selain Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, tindak kekerasan polisi juga bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Di sana diatur tentang kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan menghargai prinsip praduga tidak bersalah. 

Pun, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas). Bahwa polisi dilarang bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, bahkan memaki-maki pengunjuk rasa. 

Namun yang terjadi, saat tengah mengamankan aksi, polisi tampak memasang wajah arogan dan melanggar semua peraturan di atas. Menurut pantauan jurnalis Magdalene, di (22/8) malam, polisi yang berada di dalam mobil rantis sengaja menakut-nakuti demonstran termasuk jurnalis yang meliput aksi atau sekadar menyalamatkan diri ke arah Senayan. Mereka membawa pentungan, tameng, memukuli, menyeret sejumlah demonstran. Lalu polisi meneriakkan yel-yel bersama sepanjang jalan, setelah “berhasil” memukul mundur massa dengan tindak kekerasan. 

Baca Juga: #PeringatanDarurat: Putusan MK, Penolakan DPR, dan Kejutan Pilkada 2024

“Perilaku aparat yang brutal adalah bukti gagalnya mereka menyadari bahwa siapa pun berhak untuk memprotes melalui unjuk rasa, menggugat, tidak setuju, atau beroposisi. Negara harus mengusut dan menindak semua pelakunya, sampai tuntas. Jangan ada lagi korban yang jatuh,” tambah Usman. 

Sebagai informasi, kekerasan polisi tak cuma ditemukan di Jakarta, tempat tiga aksi terpisah digelar: Gedung DPR/ MPR RI, Istana Negara, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Amnesty International Indonesia mencatat, di Bandung, polisi tertangkap video mengejar dan memukul pengunjuk rasa dengan tongkat dan menginjaknya. 

Di Semarang, masih dikutip dari Amnesty International Indonesia, setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus (UNDIP, Unnes, UIN Walisongo) terpaksa dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata ke arah pengunjuk rasa oleh polisi. Mereka mengalami gejala seperti sesak napas, mual, mata perih, dan beberapa bahkan pingsan. 

Jauh sebelum itu, persisnya pada 2020, Amnesty International memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 kekerasan polisi selama aksi unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja pada 2019. 

Kelompok “Halo, Dek” itu tak sadar, saat melakukan kekerasan, sebenarnya mereka sedang mencoreng arang di wajah sendiri.  

HOTLINE Layanan Bantuan Hukum untuk Peserta Aksi (Sumber: YayasanLBHIndonesia)


#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *