Kampus Seharusnya Menjadi Tempat Aman, tapi Nyatanya Tidak
Kekerasan seksual di kampus masih marak, tetapi banyak kasus tak tertangani. Universitas harus aktif mencegah kekerasan, melindungi korban, dan menindak pelaku.

Kampus seharusnya menjadi tempat belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan bagi mahasiswa. Namun, kenyataan yang ada justru berlawanan.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) pada tahun 2022 menunjukkan, jumlah kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan meningkat dalam empat tahun terakhir. Dari data tersebut, tercatat ada 21.221 korban dan mayoritas dari mereka adalah mahasiswa. Hal ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana tanggung jawab universitas dalam melindungi mahasiswa?
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi memberikan harapan baru bagi para korban. Peraturan ini memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan berkeadilan dalam menangani kasus kekerasan seksual di kampus, serta memastikan adanya langkah-langkah preventif yang lebih efektif dan mekanisme perlindungan bagi korban. Namun, efektivitas peraturan ini bergantung pada komitmen universitas dalam menjalankannya.
Baca juga: Inisiatif Mahasiswa di Kampus Secercah Harapan Hapuskan Kekerasan Seksual
Universitas harus melindungi korban, bukan nama baik kampus
Kasus di sebuah universitas di Palembang mencerminkan kegagalan institusi dalam menangani kekerasan seksual. Seorang mahasiswa yang melaporkan pelecehan seksual oleh dosen ke polisi, mengalami pembatalan yudisium secara sepihak oleh pihak dekanat. Bukannya melindungi korban, universitas justru mengambil tindakan yang merugikan masa depannya.
Kasus ini bukanlah kejadian tunggal. Dalam wawancara dengan mahasiswa di fakultas yang sama, ditemukan bahwa kasus pelecehan oleh dosen ini sebenarnya telah berlangsung sejak 2012. Seorang korban lain sempat melaporkan tindakan serupa ke dekanat dengan bukti yang lengkap, tetapi universitas tidak menunjukkan niat untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Baru pada tahun 2021, setelah kasus ini viral, universitas mulai mengambil tindakan.
Menurut Nina Nurmila, professor kajian gender dan Islam dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, banyak insiden kekerasan seksual di kampus yang sengaja disembunyikan demi menjaga citra baik institusi. Fenomena ini diibaratkan seperti gunung es, di mana hanya sedikit kasus yang terungkap, sementara sebagian besar lainnya tetap tersembunyi. Data dari survei Kemendikbud tahun 2020 mencatat bahwa 77 persen dosen mengakui adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Namun, 63 persen dari mereka memilih untuk tidak melaporkan kasus yang terjadi karena khawatir akan dampaknya terhadap nama baik kampus.
Universitas harus menjadi “payung” bagi mahasiswa, tempat yang menjamin keamanan dan perlindungan, terutama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai institusi pendidikan, universitas memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk menciptakan lingkungan yang aman, memastikan kasus kekerasan seksual ditangani dengan adil, serta memberikan dukungan penuh kepada korban. Ini mencakup penyediaan mekanisme pelaporan yang aman, kebijakan perlindungan yang jelas, dan komitmen untuk mencegah segala bentuk intimidasi atau pembalasan terhadap korban.
Dampak kekerasan seksual terhadap korban tidak hanya mencakup trauma emosional, seperti depresi dan gangguan stres pasca trauma (PTSD), tetapi juga dapat mengganggu proses akademik dan kesejahteraan mereka. Dengan memastikan universitas benar-benar berperan sebagai pelindung, kampus dapat menjadi ruang yang aman bagi seluruh mahasiswa. Melaporkan dan menangani kasus kekerasan seksual secara transparan bukan hanya bentuk perlindungan bagi korban, tetapi juga bukti komitmen universitas dalam menjaga integritasnya sebagai institusi pendidikan yang bebas dari kekerasan seksual.
Baca juga: Bagaimana Ciptakan Kampus Aman dari Kekerasan Seksual
Satgas PPKS: Lebih dari sekadar formalitas
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melaporkan hingga 2023, seluruh 125 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia telah membentuk Satuan Tugas Penguatan Karakter (Satgas PPKS). Sementara itu, 109 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) masih dalam proses pembentukan Satgas PPKS, dan 20 PTS telah memiliki satgas yang aktif di kampus mereka.
Satgas PPKS beperan penting dalam menjalankan kebijakan yang jelas dan tegas terkait tindakan kekerasan seksual. Namun, untuk meningkatkan efektivitasnya, satgas ini perlu meningkatkan kesadaran dan keterlibatan seluruh anggota komunitas perguruan tinggi. Salah satu langkah utama yang perlu dilakukan adalah memberikan pelatihan dan penyuluhan intensif kepada mahasiswa, dosen, dan staf universitas mengenai pencegahan serta prosedur pelaporan kekerasan seksual. Pelatihan ini dapat mencakup pengenalan tanda-tanda kekerasan seksual, prosedur pelaporan kasus, serta peran dan tanggung jawab masing-masing anggota komunitas dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Selain itu, universitas harus memastikan bahwa layanan konseling dan bantuan hukum bagi korban tersedia dan mudah diakses. Hal ini melibatkan peningkatan jumlah tenaga konselor yang terlatih dan tersertifikasi serta peningkatan kerja sama dengan lembaga atau organisasi yang menyediakan layanan tersebut. Selain itu, Satgas PPKS perlu aktif mengawasi implementasi kebijakan kampus terkait kekerasan seksual, serta memastikan bahwa prosedur penanganan kasus dijalankan dengan adil dan konsisten.
Satgas PPKS perlu memperkuat keterlibatan mahasiswa dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Ini dapat dilakukan dengan mendorong pembentukan lebih banyak organisasi mahasiswa yang fokus pada advokasi dan dukungan bagi korban kekerasan seksual. Dengan melibatkan mahasiswa secara aktif, Satgas PPKS dapat memperluas jangkauan dan efektivitas upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak Satgas PPKS yang hanya berfungsi sebagai unit simbolis tanpa peran nyata. Jika tidak ada pengawasan ketat dan dukungan dari universitas, Satgas ini tidak akan efektif dalam melindungi korban maupun menindak pelaku.
Baca juga: Dosen UI Luncurkan SOP Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus
Menegakkan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan seksual
Selain melindungi korban, universitas juga harus tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual. Sayangnya, banyak kasus di mana sanksi yang diberikan masih terlalu ringan atau bahkan tidak diberlakukan sama sekali. Ketidakjelasan dalam mendefinisikan kekerasan seksual, seperti apakah tindakan tersebut dilakukan dengan “persetujuan” atau tidak, sering kali menjadi alasan bagi universitas untuk menunda atau menghindari penegakan sanksi. Hal ini membuat pelaku merasa bebas dari konsekuensi dan dapat mengulangi perbuatannya terhadap korban lain.
Salah satu contoh tindakan tegas datang dari sebuah universitas di Yogyakarta yang pada tahun 2021 memberhentikan seorang mahasiswa karena terbukti melakukan kekerasan seksual, meskipun mahasiswa tersebut memiliki prestasi akademik yang baik. Sebelumnya, universitas yang sama juga memberhentikan seorang dosen pada tahun 2016 akibat pelecehan seksual terhadap mahasiswinya.
Namun, meskipun ada beberapa universitas yang berani mengambil sikap tegas, masih banyak kasus yang tidak terungkap atau tidak mendapatkan penanganan serius. Akun media sosial anonim seperti @unsri_cabul muncul sebagai bentuk perlawanan mahasiswa terhadap ketidakadilan dalam kasus kekerasan seksual di kampus.
Kekerasan seksual di kampus merupakan ancaman nyata yang membutuhkan tindakan serius dari universitas. Institusi pendidikan harus memastikan lingkungan yang aman dengan menjalankan kebijakan yang transparan, memperkuat peran Satgas PPKS, serta memberikan perlindungan maksimal bagi korban.
Universitas yang gagal bertindak tegas terhadap kekerasan seksual justru mempertaruhkan integritasnya sendiri. Hanya dengan komitmen nyata dalam pencegahan dan penanganan kasus, kampus dapat benar-benar menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa.
Naurah Lisnarini adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
