Politics & Society

Dosen UI Luncurkan SOP Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Setiap universitas seharusnya wajib membuat SOP kasus kekerasan seksual di kampus, menurut Komnas Perempuan.

Avatar
  • November 27, 2019
  • 3 min read
  • 343 Views
Dosen UI Luncurkan SOP Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Menyusul kasus-kasus kekerasan seksual di sejumlah universitas yang muncul ke publik, dua dosen Universitas Indonesia (UI) meluncurkan buku saku prosedur operasional standar (SOP) penanganan kasus kekerasan seksual di kampus.

Buku tersebut antara lain memaparkan definisi kekerasan seksual yang sudah mengacu pada definisi pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), konseling untuk korban, dan tanggung jawab pihak kampus.

 

 

Lidwina Inge dari Fakultas Hukum UI dan Saraswati Putri dari Fakultas Ilmu Budaya UI menyusun buku tersebut karena absennya SOP khusus yang menyulitkan advokasi dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Saraswati mengatakan, buku itu disusun berdasarkan pengalamannya ketika mengadvokasi mahasiswinya, RW, pada 2013 yang diperkosa seorang dosen yang juga seniman terkenal. Kasus tersebut menggemparkan dan menjadi perhatian publik, namun si pelaku tetap lolos dari jerat hukum.

Tidak adanya Standar Operasional Penanganan (SOP) khusus dalam menangani kasus kekerasan seksual membuat Saraswati dan rekan dosen lainnya kesulitan dalam mengadvokasi kasus tersebut.

“Dari kasus di tahun 2013 ini, kami mempelajari bahwa betapa hukum di Indonesia sangat tidak ramah terhadap korban. Dalam proses yang dijalani, si korban ini yang sering kali dituntut untuk membuktikan kasus tersebut,” ujar Saraswati dalam acara peluncuran di UI, Senin (25/11).

Ia mengatakan bahwa Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kemudian mengajak dirinya untuk mengadakan lokakarya mengenai panduan untuk membuat SOP penanganan kasus kekerasan seksual di kampus.

Baca juga: Penyangkalan Kasus Kekerasan Seksual Demi Nama Baik Kampus

“Beberapa kali saya diundang dalam lokakarya tersebut, dan memang di tiap kampus, situasi yang dihadapi berbeda-beda,” ujar Saraswati.

Solidaritas pun semakin banyak bermunculan ketika kasus-kasus kekerasan seksual mengemuka, seperti kasus Agni dari Universitas Gadjah Mada yang muncul ke publik pada 2018 dan kasus di Universitas Sumatera Utara di awal April 2019. Akhirnya Lidwina Inge beserta Saraswati mengusulkan untuk membuat buku SOP kasus kekerasan seksual di kampus.

“Menurut kami, kampanye solidaritas ini harus juga dibarengi dengan tindakan nyata. Jadi kami mengusulkan untuk membuat SOP-nya dan selama enam bulan ini bersama dengan berbagai pihak seperti mahasiswa, LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), dan beberapa organisasi lain, kami menggodok hal ini,” kata Saraswati.

HopeHelps, sebuah organisasi pengadaan layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di kampus UI, menyambut baik buku saku tersebut. Koordinator Program HopeHelps, Wildan Teddy mengatakan, sejak organisasinya berdiri pada 2017, banyak tantangan dalam menangani kasus yang mereka terima antara lain karena budaya menyalahkan korban di dalam lingkungan kampus masih mendominasi baik di antara mahasiswa maupun karyawan.

“Untuk bercerita saja korban sangat sulit mendapatkan tempat yang aman dan kerahasiaannya terjamin. Nah di buku ini, sudah disusun secara komprehensif, salah satunya panduan tentang siapa pihak yang berwenang menerima aduan. Tentu saja kerahasiaannya terjamin,” ujar Wildan dalam acara yang sama.  

Baca juga: Perguruan Tinggi Didesak Punya Aturan Soal Kekerasan Seksual

Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengatakan banyak kasus yang tidak ditindaklanjuti oleh kampus karena pelakunya seorang dosen.

“Terkadang, kasusnya didrop begitu saja karena pelaku orang berpengaruh di kampus. Hal ini dilakukan semata hanya demi akreditasi kampus,” ujar Budi.

Untuk mengatasi hal itu, Budi menyarankan agar semua lembaga pendidikan tinggi memiliki SOP untuk kekerasan seksual sebagai syarat akreditasi kampus.  

“Kita juga perlu mendorong Kementerian Pendidikan untuk merekonstruksi pendidikan seksual komprehensif, dan sadar bahwa hal tersebut merupakan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi,” tambahnya. 

Untuk mengimplementasikan buku panduan ini ke dalam peraturan kampus, saat ini tim penyusun tengah dalam proses mengadvokasi ke pihak rektorat. 

“Saat ini Ibu Inge salah satu penyusun buku panduan ini tengah dalam proses mengadvokasi ke tingkat rektor, agar SOP ini dapat menjadi sebuah peraturan. Semoga ke depannya diikuti dengan didirikannya crisis center dengan resources yang mumpuni” kata Wildan. 


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *