Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam
Hasil musyawarah Kongres Ulama Perempuan pertama berfokus pada isu kekerasan seksual, pernikahan anak dan perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial dalam upaya menjawab tantangan zaman bagi perempuan.
Semangat Senandung selawat Musawah mengiringi pembukaan acara peluncuran dokumen proses dan hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Hotel Millenium, Tanah Abang. Selawat ini memiliki arti tentang kesetaraan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Setelah senandung selawat, akademisi Muslim Dr. Maria Ulfah Anshor selaku panitia acara peluncuran ini mengucapkan terima kasih pada seluruh pihak atas kontribusi dan dukungan terhadap KUPI yang pada akhirnya menghasilkan tiga musyawarah keagamaan dan beberapa rekomendasi umum.
“Ini merupakan bentuk rekognisi atas eksistensi keulamaan perempuan yang selama ini, mohon maaf, terpinggirkan karena paradigma dan sudut pandang yang berbeda. KUPI juga akan menjadi bagian untuk akan konsisten memperluas spektrum dedikasi dan kontribusi ulama perempuan bagi pembangunan Indonesia,” ujar Maria, yang mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) di Temanggung, Jawa Tengah.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) baru pertama kali diselenggarakan pada 25-27 April 2017 lalu di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy, Cirebon. Diikuti paling tidak oleh 1280 orang yang terdiri dari ulama perempuan, aktivis dan akademisi, kongres ini menjadi wadah untuk gerakan sosial tempat membangun pengetahuan, berbagi ilmu dan pengalaman serta meneguhkan nilai keislaman, kemanusiaan, dan juga kebangsaan.
Musyawarah keagamaan ini dibuat berdasarkan empat pilar sumber pengetahuan yaitu teks keagamaan seperti al-Quran, hadits, dan pendapat ulama; Undang-Undang Dasar 1945; instrumen internasional hak asasi manusia yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia, dan instrumen terakhir yang membuat hasil musyawarah keagamaan KUPI menjadi hal yang memperkaya dari metode sebelumnya dari organisasi keagamaan lain, yaitu sudut pandang pengalaman perempuan.
“Lewat pendekatan ini diharapkan rumusan-rumusan yang dirumuskan keulamaan perempuan kompatibel dan mampu menjawab tantangan zaman terkait dengan perempuan,” ujar salah satu komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kyai Imam Nakha’i.
Beberapa hasil yang dikeluarkan oleh KUPI antara lain tiga musyawarah keagamaan. Musyawarah keagamaan yang pertama terkait dengan kekerasan seksual, dimana KUPI mengharamkan segala bentuk kekerasan seksual dan mewajibkan pemerintah beserta masyarakat memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual. Jika pihak-pihak tersebut malah justru melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual, maka telah terjadi kejahatan ganda dan mutlak dimintai pertanggungjawaban hukuman lebih berat dan berlipat.
Musyawarah keagamaan yang kedua terkait dengan pernikahan anak. KUPI menyatakan bahwa mencegah pernikahan anak adalah wajib, karena pernikahan anak lebih banyak mendatangkan hal negatif daripada hal positifnya. Semua pihak, seperti orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah harus menjadi garda terdepan untuk mencegah pernikahan anak. Jika pernikahan anak sudah terjadi, maka pihak-pihak ini harus memastikan adanya perlindungan hak-hak anak. Dalam kasus pernikahan anak, karena hasil dari musyawarah keagamaan KUPI ini, akhirnya pemerintah dari Departemen Keagamaan saat ini tengah menggarap Peraturan Presiden untuk menaikkan usia pernikahan anak dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Dan hasil musyawarah keagamaan yang terakhir adalah mengenai perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial. KUPI menyatakan bahwa hukum melakukan perusakan alam yang berakibat pada ketimpangan relasi sosial atas nama apa pun termasuk atas nama pembangunan adalah haram secara mutlak. Semua proses dan hasil dari kongres ulama perempuan ini dibukukan dan dapat diakses secara mudah melalui laman mubaadalah.com, Dokumen Resmi Proses dan Hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Tidak hanya meluncurkan proses dan hasil dari kongres, beberapa orang juga memberi saran dan rekomendasi untuk masa depan KUPI. Salah satu yang memberi rekomendasi untuk KUPI adalah Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, salah satu tokoh Nahdhatul Ulama (NU) yang menyarankan supaya informasi keluar terkait dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia lebih diperhatikan agar semua pihak mengetahui bahwa kongres ini ada. Ia juga menambahkan berkat KUPI, para ulama perempuan tidak merasa mereka sendiri lagi dan dapat berpartisipasi dalam keorganisasian ulama perempuan. Dan beberapa rekomendasi peserta juga menyampaikan harapan mereka pada KUPI agar KUPI akan terus mengeluarkan musyawarah agama yang lebih berpihak pada perempuan, dan juga keterlibatan perempuan ulama dalam menghasilkan musyawarah keagamaan lebih diperbanyak lagi.
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina, Badriyah Fayumi menyampaikan optimismenya terkait dengan kesadaran publik dalam menghasilkan ulama perempuan akan meningkat dengan adanya KUPI.
“Harapan kita ke depan sangat luar biasa, dan bisa kita lihat antusiasme para ulama perempuan, sarjana, doktor, perempuan ulama, ustadzah, menunjukkan kualitas dan kuantitas dari 50 tahun yang lalu,” ujarnya.
Baca artikel Elma tentang gangguan kesehatan mental dan perempuan.