Kekerasan terhadap Perempuan di NTT: Peningkatan dan Kendala Penanganan
Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia Timur meningkat, namun penanganannya terhambat banyak kendala.
Angka kekerasan terhadap anak dan perempuan masih tinggi di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan jumlah terbanyak adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), disusul kekerasan seksual, menurut data lembaga swadaya masyarakat setempat.
Peneliti Dewi Indah Susanty dan Nur Julqurniati dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, mencatat peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan di wilayah itu, dari 384 kasus pada 2016 menjadi 604 kasus pada 2017. Dari 604 kasus tersebut, 355 di antaranya terjadi di lingkup rumah tangga, termasuk KDRT.
Sayangnya, upaya advokasi dan penanganan kekerasan ini masih menghadapi berbagai tantangan, terutama soal minimnya akses terhadap infrastruktur dan layanan lainnya akibat kondisi geografis dan banyaknya daerah terpencil, mulai dari wilayah pedalaman, kepulauan, sampai pegunungan. Hal ini disampaikan oleh Filiana Tahu, Direktur Yayasan Amnaut Bife Kuan (YABIKU), sebuah organisasi yang berfokus pada isu perempuan dari NTT, dan anggota Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan.
Baca juga: Kasus KDRT Meningkat Namun Rumah Aman Terbatas
Filiana menggambarkan bagaimana sulitnya korban di wilayah pedalaman dan kepulauan untuk mengakses layanan. Misalnya, ketika musim hujan tiba, mereka harus menunggu sampai banjir surut atau menunggu ombak di laut tidak melampaui tinggi kapal penyeberangan yang digunakan.
Menurut Filiana, masih banyak perempuan yang belum mendapatkan pelayanan secara maksimal, terutama pelayanan hukum, medis dan psikologis. Tenaga-tenaga kesehatan dan pendamping lain, juga rumah aman dan panti rehabilitasi, belum tersedia secara merata. Padahal, kebutuhan korban sangat banyak, terutama yang mengalami depresi karena kekerasan berulang, kata Filiana.
“Layanan psikologis sangat minim. Bahkan ada tempat-tempat tertentu yang sama sekali tidak punya psikiater. Ini jadi sulit ketika korban butuh layanan psikologis secara khusus. Visum juga masih berbayar,” ujar Filiana dalam webinar bertajuk “Gerak Bersama Multi Pihak Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan” (26/8).
SDM dan infrastruktur terbatas
Keterbatasan sumber daya manusia di tengah banyaknya kasus kekerasan yang terjadi juga menjadi tantangan tersendiri.
“Bayangkan, jika satu kabupaten terdiri dari 159 desa dan kelurahan, tapi hanya ada empat pendamping dan harus mendampingi proses yang sedang berjalan. Lalu tiba-tiba ada kasus baru di hari yang sama. Kita bisa bayangkan sulitnya pendamping bisa sampai pada korban,” Filiana menambahkan.
“Ada juga bias kepercayaan masyarakat yang besar pada tokoh adat dalam penyelesaian kasus kekerasan, sehingga menyulitkan penanganan kasus yang pelakunya adalah orang-orang berpengaruh, seperti pejabat atau anak pejabat,” ujarnya.
Baca juga: Wabah Corona Langgengkan KDRT, Hambat Penanganan Kasus
Filiana juga menyebutkan hambatan lain seperti mutasi birokrat yang membuat banyak kasus mandek dan tidak terselesaikan sampai final, juga kekerasan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa di kampus-kampus.
Andy Yentriyani, Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan, pandemi memperburuk minimnya infrastruktur dan akses terhadap layanan.
Ia mengatakan, pengalihan berbagai layanan publik dari offline menjadi online menjadi pembatas yang luar biasa bagi akses keadilan korban di Indonesia Timur. Padahal, ketika isu kekerasan terhadap perempuan dijadikan isu arus utama dalam penyusunan agenda pembangunan nasional, isu tersebut tidak boleh hanya dikecilkan pada satu mata agenda khusus. Misalnya, hanya melihat masalah sumber daya perempuan, tapi tidak melihat dan membenahi masalah infrastruktur.
“Ini mirip dengan anak-anak didik di Indonesia yang tidak semuanya bisa belajar online. Sama juga tidak semua korban bisa melaporkan kasusnya secara online. Bukan hanya karena tidak punya gadget, tapi infrastrukturnya juga tidak tersedia. Mereka juga harus mengeluarkan dana tambahan untuk biaya komunikasi,” kata Andy.
Baca juga: Menyelesaikan Kasus KDRT dari Sisi Pelaku
“Tapi di saat bersamaan, pandemi ini membuka ruang baru untuk menjangkau korban melalui proses yang lebih pro-aktif dan pengadilan online yang sangat dimungkinkan, meski bertahun-tahun ini terhambat.”
Adanya peningkatan laporan menunjukkan keberdayaan korban karena merasa percaya untuk melaporkan kasusnya, namun pelaporan ini juga menunjukkan tingkat harapan pada penanganan kasus tersebut. Karenanya, sangat penting agar harapan-harapan ini disikapi sesuai fungsi lembaga yang menanganinya, kata Andy.
“Banyak masyarakat tidak memahami institusi mana punya wewenang yang mana. Misalnya bikin pengaduan ke Komnas Perempuan. Fungsi Komnas Perempuan kan mekanisme koreksi. Pemeriksaan tetap harus terjadi di tingkat kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Bagi yang tidak tahu, ketika kasus macet di tiga institusi itu, yang dimarahin Komnas Perempuan,” ujarnya.
Andy juga menyinggung masalah data yang belum terintegrasi sebagai salah satu hambatan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
“Kita juga perlu pastikan bahwa di tiap tingkat ada data dan pemantauan integrasi di tingkat aparat penegak hukum, termasuk di penyiapan materinya sejak pendidikan dini dan pembinaan kariernya. Ini yang belum tersedia,” kata Andy.