Safe Space

Kasus KDRT Meningkat Namun Rumah Aman Terbatas

Diperlukan lebih banyak rumah aman (shelter) di tengah meningkatnya kasus KDRT di tengah pandemi.

Avatar
  • June 30, 2020
  • 8 min read
  • 1709 Views
Kasus KDRT Meningkat Namun Rumah Aman Terbatas

“Wati” baru berusia 17 tahun, namun gadis Bengkulu itu telah menghadapi serangkaian kekerasan yang keji. Mei lalu, ia melarikan diri ke kediaman seorang temannya setelah menjadi korban perdagangan manusia dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya yang dilakukan oleh ibunya. Selain itu, ia juga mengalami kekerasan seksual dari warga di kampungnya.  

“Mia”, seorang relawan yang aktif dalam isu-isu kekerasan seksual kemudian membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Wati. Ia dan teman-temannya kemudian mencarikan tempat tinggal yang aman untuk sementara. Hal ini sulit karena ketiadaan rumah perlindungan (shelter) maupun rumah aman bagi korban kekerasan di Bengkulu.  

 

 

“Dia diinapkan di rumah temannya teman saya. Saya pun saat itu bisa menengoknya setiap hari,” kata Mia kepada Magdalene melalui telepon.  Ketiadaan shelter di Bengkulu menyulitkan relawan dan korban kasus kekerasan, terutama KDRT, terutama pada masa pandemi virus corona (COVID-19). Belum lagi masalah ketiadaan anggaran.

“Dalam situasi COVID19 ini, kasus KDRT malah bertambah. Orang Dinas takut untuk terjun langsung, apalagi enggak ada anggaran. Para relawan inilah yang blusukan dan bekerja untuk kemanusiaan,” ujar Mia.

“Dulu (sebelum COVID), setidaknya ada pengganti uang transpor dan bensin. Sekarang enggak ada sama sekali. Alhamdulillah, saya punya banyak jaringan yang memberikan support kepada relawan dan korban,” ia menambahkan.

Di tingkat nasional, rumah aman bagi korban kekerasan ada di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), dikelola oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di setiap provinsi. Selain itu, Kementerian Sosial lewat Dinas Sosial juga memiliki shelter. Namun memang tidak semua daerah memiliki rumah-rumah aman tersebut, dan tidak semua rumah aman buka selama pandemi ini.

Ada juga sejumlah lembaga swasta atau non-pemerintah yang memiliki rumah aman dan tetap membuka aksesnya secara terbatas di tengah pandemi. Salah satunya yang dikelola oleh Kongregasi Suster-suster Gembala Baik, yang memiliki kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak.

Baca juga: Mental Kuat, Siap Hadapi Aparat: Menjadi Pendamping Penyintas Kekerasan

Pada awalnya, rumah aman Gembala Baik di Jakarta hanya digunakan untuk menampung para perempuan lajang yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Sekarang, rumah aman yang mengakomodasi kebutuhan mereka dipusatkan di Yogyakarta. Pada tahun 2017, rumah aman ini mulai menerima perempuan dan anak-anak korban KDRT, perdagangan manusia, dan kekerasan seksual.

Demi keselamatan para penghuninya, sejak akhir Maret, rumah aman ini belum kembali menerima peserta program baru.

“Kami harus mengikuti protokol (pencegahan penularan COVID) dari Kongregasi. Kami membatasi akses keluar masuk. Dengan pertimbangan banyak hal dan dengan berat hati, kami menutup shelter untuk peserta program baru,” kata pemimpin unit karya shelter Gembala Baik, Suster M. Theresia Anita, RGS.

Theresia mengatakan, hanya ada satu orang peserta program yang masih tinggal di dalam rumah aman dan dia telah berada di sana selama enam bulan. Kendati demikian, pada Mei lalu, Gembala Baik menerima lima peserta program yang tinggal di luar shelter.

“Ada tempat yang kami rasa safe buat mereka dan kami mengontraknya. Penghuninya adalah seorang ibu bersama dua anaknya serta seorang anak perempuan dan ayahnya. Mereka adalah korban human trafficking,” ujarnya.

Sebelum pandemi, peserta program biasanya datang sendiri, dirujuk oleh lembaga mitra seperti LBH atau kepolisian, atau melalui penjangkauan. Mereka juga diberikan keterampilan, pendampingan hukum, psikologis, dan spiritualitas. Namun, akibat COVID-19, tidak banyak program yang dapat dilaksanakan.

“Karena adanya prosedur keselamatan, psikolog belum bisa (datang lagi). Kami menerima konseling by phone. Kami juga menjangkau mereka (yang membutuhkan),  terutama beberapa keluarga yang rentan dan terdampak pandemi COVID,” ujar Suster Theresia.  

Di Yogyakarta, Rifka Annisa Women’s Crisis Center memiliki dua rumah aman yang dikelola sendiri. Shelter drop in, yang berfungsi sebagai rumah singgah, terletak di dalam kantor. Sebelum pandemi, rumah aman ini diakses oleh korban yang berada dalam kondisi darurat, yang kebanyakan meninggalkan rumahnya pada malam hari. Sehari setelah klien datang ke shelter drop in, akan ada konselor yang datang untuk melakukan penilaian apakah dia perlu ditampung di rumah aman utama yang kerahasiaannya sangat dijaga ketat.

Shelter utama ini sifatnya tertutup. Penggunaan alat komunikasi kami batasi. Kami mengontrak sebuah tempat paling lama dua tahun. Kami berpikiran bahwa kalau kami menetap di tempat yang sama, lambat laun publik akan mengetahui (keberadaan shelter),” kata Manajer Divisi Pendampingan Rifka Annisa, Indiah Wahyu Andari.

Sejak pandemi, baik shelter drop in maupun utama ditutup karena lembaga ini belum mempersiapkan protokol pencegahan COVID-19. Alasan lainnya adalah karena mereka memiliki jaringan rumah aman lainnya yang cukup solid.

Baca juga: Berbekal Jas Hujan dan ‘Face Shields’, Layanan Kasus KDRT Terus Berjalan

“Ada klien kasus KDRT yang melapor ke polisi. Dia bukan klien dampingan tetapi dia mengontak kami. Setelah dilakukan penilaian, dia memang membutuhkan shelter sehingga kami mengontak jaringan kami,” kata Indiah. 

“Meskipun akhirnya dia enggak jadi mengakses shelter karena telah menyelesaikan kasusnya di kepolisian, tetapi shelter milik Dinas Sosial ini sempat meminta surat keterangan bebas COVID,” tambahnya.

Pengaduan naik

Selain jumah aman milik Dinas Sosial, ada dua rumah milik pemerintah daerah Yogyakarta yang masih menampung korban, yakni milik Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sleman, dan milik P2TP2A Rekso Dyah Utami Yogyakarta. Kabupaten Bantul menutup rumah amannya, sementara dan dua kabupaten lainnya, Gunung Kidul dan Kulon Progo, belum memiliki rumah aman.

Akibat penutupan rumah aman dan penerapan sistem kerja dari rumah (WFH), sebagian besar konsultasi dilakukan secara jarak jauh melalui WhatsApp, surel, telepon, dan panggilan video. Jika sangat diperlukan, klien dapat berkonsultasi langsung dengan membuat janji terlebih dahulu.

“Pada bulan Juni sudah ada beberapa klien yang membuat janji untuk bertemu langsung, tetapi kami tidak mempublikasikan hal ini. Kami belajar dari pengalaman lembaga lain yang mengumumkan adanya layanan tatap muka dan jumlah klien yang datang justru membludak,” ujar Indiah dari Rifka Annisa.

Selama masa WFH, pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan ke Rifka Annisa meningkat drastis. Berdasarkan data yang dipublikasikan di akun Instagram lembaga ini, pada bulan Januari-Maret ada sekitar 33-41 pengaduan (langsung, melalui hotline, dan surel). Pada bulan April dan Mei, jumlah pengakses layanan (melalui hotline dan surel) naik menjadi 67 dan 98. 

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta tidak memiliki rumah aman tetap yang disewa dalam jangka waktu lama. Namun, selama pandemi, lembaga ini menyewa tempat untuk dijadikan shelter sementara. 

Shelter milik pemerintah daerah mensyaratkan adanya tes bebas COVID, padahal kami harus segera mengamankan korban. Selain itu, yang boleh masuk ke shelter milik pemda hanya mereka yang direkomendasikan oleh P2TP2A,” kata pengacara publik LBH APIK Husna Amin.

Rumah aman ini terpisah dari kantor dan bersifat rahasia, hanya klien dan pendamping korban yang mengetahui lokasinya. Selain itu, pihak keluarga hanya bisa berkomunikasi melalui pendamping korban.

Meskipun tidak meminta surat bebas COVID, LBH APIK tetap menerapkan protokol kesehatan di rumah aman, seperti pengukuran suhu tubuh, kewajiban penggunaan masker, dan menjaga jarak.

Baca juga: Perlindungan Saksi dan Korban KDRT Terhambat Aturan PSBB dan WFH

Pembukaan Kembali

Pandemi COVID-19 belum akan berakhir dalam waktu dekat tetapi perlindungan terhadap korban kekerasan harus tetap dijalankan. Pada Maret lalu, 65 lembaga pemerintah maupun non-pemerintah di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) bertemu untuk membahas mekanisme akses layanan shelter selama pandemi COVID-19.

“Rencananya, ketika klien mengakses layanan (shelter), dia akan diantar ke rumah sakit dulu. Kalau hasil tesnya dia positif, dia akan ditempatkan di shelter rumah sakit. Kalau negatif, dia akan ditempatkan di shelter lembaga layanan,” ujar Indiah.

Karyawan Rifka Annisa akan kembali bekerja di kantor pada bulan Juli dan shelter drop in akan kembali dibuka.

Shelter utama tetap kami tutup. Rencananya kalau klien datang dan butuh shelter, kami antar ke rumah sakit untuk mengikuti tes bebas COVID. Sambil menunggu keluarnya hasil tes, dia akan berada di kamar yang kami fungsikan untuk karantina,” tutur Indiah. 

“Dia hanya boleh berada di sana dan hanya boleh pergi ke kamar mandi serta menggunakan masker. Konselor dan penjaga shelter drop in tidak bersentuhan fisik (dengan klien) serta menggunakan masker dan face shield,” tambahnya.

Sementara itu, rumah aman Gembala Baik sedang membuat protokol baru dan diharapkan  dapat menerima peserta program baru pada bulan Juli. Mengenai pembiayaan, Theresia menuturkan bahwa selama pandemi COVID tidak ada pengurangan anggaran. 

“Kami sudah planning kerja-kerja kami untuk setahun. Dan anggaran tidak berkurang karena kami tetap melayani pendampingan di luar shelter. Untuk biaya operasional memang lebih besar tetapi kami bisa mengaturnya,” kata Theresia.

Dia menambahkan, meskipun selama pandemi donasi uang dari masyarakat berkurang, tetapi sumbangan bahan makanan, misalnya beras dan susu, justru bertambah.

Rifka Annisa tidak mengalami pemotongan anggaran dari donor, tetapi ada pengalihan anggaran untuk memenuhi kebutuhan pencegahan penularan COVID-19, ujar Indiah.

“Kami membeli, misalnya alat pelindung seperti masker dan face shield. Untuk mendukung layanan hotline, kami melakukan pembelian headphone. Pada awal-awal (selama WFH), kami masih menggunakan peralatan milik sendiri yang dilengkapi earphone padahal kami melayani (pengaduan via hotline), dari jam 8 pagi hingga 4 sore,” kata Indiah.

Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.

Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *