December 14, 2025
Environment Issues

Dari Arus Sungai ke Hidup: Kisah Kemandirian Energi Dusun Kedungrong, Kulon Progo  

Warga dusun Kedungrong adalah contoh bagaimana kemandirian energi bisa didorong lewat usaha kolektif warga dalam membangun PLMTH.

  • December 14, 2025
  • 11 min read
  • 146 Views
Dari Arus Sungai ke Hidup: Kisah Kemandirian Energi Dusun Kedungrong, Kulon Progo  

Sebagai orang kota, saya selalu hidup dengan bayang-bayang tagihan listrik tiap bulan. Sebisa mungkin saya berhemat. Saya enggak pernah menyalakan peralatan elektronik berdaya tinggi bersamaan. Lampu hanya menyala ketika benar-benar dibutuhkan. Setiap hendak mandi atau meninggalkan kamar cukup lama, saya akan menoleh dua kali, memastikan semua saklar sudah ditekan mati.

Kebiasaan ini saya pertahankan sejak kecil, sejak mempelajarinya dari orang tua juga buku-buku pelajaran di sekolah. Karena itu, ketika saya menginjakkan kaki di rumah Yuni, 47, warga Dusun Kedungrong, Desa Purwoharjo, Kulon Progo, rasa kaget langsung menyergap.

Siang itu, akhir Oktober, saya bersama beberapa rekan jurnalis singgah di rumahnya yang sederhana. Begitu melangkah masuk, mata saya nyaris menyipit. Lampu menyala di hampir setiap sudut ruangan, terang benderang, seperti sedang ada acara kumpul-kumpul warga.

“Saya sengaja nyalain semuanya karena enak kalau padang,” kata Srihastuti Yuni Wahyuningsih sambil terkekeh. “Kalau redup itu bunek,” tambahnya, menjelaskan cahaya temaram justru membuat kepalanya pusing.

Belum habis rasa heran saya, Yuni juga menyalakan penanak nasi dan lampu penghangat untuk anak-anak ayam yang ia ternakkan bersama suaminya. Dalam hati, saya refleks menghitung-hitung: Berapa besar tagihan listrik yang harus ia bayar tiap bulan?

Dugaan saya runtuh seketika ketika Yuni bercerita setiap 35 hari, ia hanya perlu membayar iuran listrik Rp12 ribu—jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli secangkir kopi di kota-kota besar.

Bu Yuni, memperlihatkan saklar PLN dan PLMTH (Foto: Jasmine Floretta/Magdalene)

Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia  

Kemandirian Energi Berkat PLTMH

Rendahnya biaya listrik rumah tangga Yuni tidak lepas dari kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Kedungrong. Pembangkit berukuran sekitar 3 x 3 meter ini dikelola secara swadaya oleh warga setempat yang berjumlah 54 kepala keluarga. PLTMH memanfaatkan aliran air dari Bendungan Ancol di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, yang membendung Sungai Progo.

Dari Bendungan Ancol, aliran air dibagi ke dua saluran irigasi. Satu mengalir ke arah timur dan masuk ke jaringan Selokan Mataram di Kabupaten Sleman. Sementara satu lainnya mengalir ke barat mengikuti Selokan Kalibawang di wilayah Kulon Progo. Di jalur barat inilah PLTMH Kedungrong menghasilkan daya sekitar 18 kilowatt—cukup untuk menopang kebutuhan listrik warga dusun, sekaligus memberi alternatif selain pasokan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Kemandirian energi di Kedungrong tidak hadir secara instan. Upaya ini sudah dirintis sejak 2009, ketika sekelompok mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gadjah Mada (UGM) datang dengan gagasan memanfaatkan aliran deras Sungai Progo untuk pembangkit listrik mikrohidro skala kecil.

Saat itu, daya yang dihasilkan masih sangat terbatas, hanya mampu menerangi beberapa titik jalan pada malam hari. Meski demikian, gagasan tersebut menumbuhkan kesadaran baru di kalangan warga: Listrik tidak harus selalu bergantung sepenuhnya pada jaringan PLN.

“Dulu pas bergantung pada PLN saja suka mati, apalagi kalau hujan. Pasti itu listrik mati dan bisa berjam-jam atau setengah hari,” ujar Suprihatin, 51, Kepala Dusun Kedungrong.

Seiring waktu, diskusi informal berkembang menjadi musyawarah resmi yang melibatkan perangkat desa dan warga. Sebuah proposal kemudian disusun dan diajukan ke pemerintah kabupaten, dengan harapan mendapat dukungan untuk membangun pembangkit mikrohidro yang lebih permanen.

Prosesnya tidak singkat. Usulan warga sempat terkatung-katung dalam birokrasi dan menunggu kepastian pendanaan selama bertahun-tahun. Baru pada 2012, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO) menyetujui bantuan sekitar Rp250 juta. Dari dana inilah fondasi PLTMH Kedungrong akhirnya dibangun.

Pengoperasian awal dilakukan secara bertahap, dimulai dari lima kepala keluarga sebagai tahap uji coba. Seiring waktu, seluruh warga dusun akhirnya terhubung dan menikmati listrik dari pembangkit tersebut.

Kini, listrik mandiri itu telah menjadi bagian dari keseharian warga. Di hampir setiap rumah, dua saklar listrik terpasang berdampingan: satu terhubung ke PLTMH, satu lagi ke jaringan PLN. Sistem ini memberi keleluasaan bagi warga untuk memilih sumber energi sesuai kebutuhan.

Ada kalanya aliran PLTMH digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun saat mesin harus dimatikan—misalnya untuk pembersihan sampah di saluran air—warga beralih sementara ke listrik PLN.

“Enak sekarang. Kalau mau (pilih aliran listrik) PLMTH atau PLN tinggal tekan saklar saja,” ujar Yuni sambil memperagakan langsung sistem tersebut di rumahnya.

Tekan Biaya Pengeluaran dan Menggerakkan Usaha Warga

Kemandirian energi ini perlahan mengubah cara warga Kedungrong mengatur pengeluaran rumah tangga. Jika sebelumnya satu keluarga bisa menghabiskan lebih dari Rp100 ribu per bulan untuk listrik, kini angkanya bisa ditekan hingga hampir sepertiganya, tanpa mengorbankan kenyamanan.

Dana yang sebelumnya dialokasikan untuk membayar tagihan listrik kini dialihkan untuk kebutuhan lain: belanja dapur, biaya sekolah anak, atau keperluan rumah tangga yang lebih mendesak.

Dampaknya juga terasa pada sektor usaha kecil. Suparman, 49, pemilik bengkel di dusun tersebut, merasakan perubahan signifikan sejak listrik dari PLTMH mengalir stabil. Bengkel yang ia jalankan sejak 2006 itu sebelumnya sangat bergantung pada peralatan manual.

“Hampir semua saya kerjakan manual dulu. Mengikir, menggosok, semuanya pakai tenaga,” ujarnya.

Pekerjaan yang memakan waktu berjam-jam kini bisa diselesaikan lebih cepat setelah ia beralih menggunakan peralatan listrik. Gerinda, tuner, dan berbagai alat bantu lain membuat proses kerja lebih efisien dan presisi.

“Kalau dulu mau menghaluskan saja harus pakai kikir atau amplas, bisa berhari-hari. Sekarang sudah ada gerinda, ada tuner untuk memperlebar atau menghaluskan komponen mesin. Semuanya pakai listrik, jadi pekerjaan jauh lebih ringan,” katanya sambil tertawa kecil.

Sebelum ada PLTMH, Suparman mengaku pernah membayar tagihan listrik hingga Rp190 ribu dalam sebulan—angka tertinggi yang pernah ia alami. Kondisi itu memaksanya membatasi penggunaan alat, bahkan menyimpan kompresor dan alat las karena dianggap terlalu boros.

Setelah beralih ke PLTMH, sebagian besar peralatan bengkel dialihkan ke listrik mikrohidro. Kini, tagihan listrik PLN-nya jarang melampaui Rp70 ribu per bulan.

“Sekarang rata-rata saya bayar PLN cuma Rp40 ribu sampai Rp50 ribu, karena hampir semua alat sudah saya pindah ke PLTMH,” ujarnya.

Hal serupa dirasakan Supriyadi, 45, pengusaha mebel. Sebelum PLTMH beroperasi, ia masih mengandalkan gergaji manual untuk memotong dan membentuk kayu. Sejak listrik mikrohidro tersedia, ia merakit sendiri alat pemotong listrik yang memangkas waktu pengerjaan hingga satu minggu.

“Dulu itu Rp60 ribu atau Rp70 ribu. Itu minimalnya. Sekarang paling banyak Rp50 ribu,” katanya.

Sementara itu, Suprihatin, 51, pelaku usaha jasa jahit, juga merasakan dampak langsung. Sebelumnya ia hanya menggunakan mesin jahit manual yang berat dan memakan waktu. Kehadiran PLTMH memberinya keberanian untuk beralih ke mesin jahit listrik.

“Bedanya kerasa banget, Mbak. Yang dulu dikerjakan lama, kesel juga karena manual, sekarang bisa selesai separonya waktu,” ujarnya.

Selain menjahit, ia kini lebih leluasa menerima pesanan parutan kelapa menggunakan alat listrik, tanpa dibayangi kekhawatiran soal lonjakan tagihan. Bagi warga Kedungrong, listrik mikrohidro bukan hanya soal terang, tetapi tentang efisiensi, keberlanjutan, dan ruang baru untuk meningkatkan penghidupan.

Supriyati, pelaku UMKM jasa jahit yang kini bisa menggunakan mesin jahit listrik berkat PLMTH (Foto: Jasmine Floretta/Magdalene)

Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung  

Gotong Royong Pengelolaan PLMTH 

Di tengah manfaat yang kian terasa dari kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), satu hal lain justru semakin menonjol di Kedungrong. Adalah cara warga merawat pembangkit itu bersama-sama. Mereka tidak bergantung pada pihak luar, melainkan mengandalkan solidaritas dan pengetahuan kolektif.

Dalam urusan pemeliharaan, nama Rejo Andoyo, 55, kerap disebut pertama. Bekal pendidikan di Sekolah Teknik Menengah membuatnya cukup sigap membaca persoalan teknis. Atas dasar itu, warga sepakat menunjuknya sebagai penanggung jawab perawatan PLTMH.

Dalam keseharian, Rejo lebih akrab dengan cangkul dan ladang ketimbang kabel atau turbin. Namun baginya, berpindah dari sawah ke rumah pembangkit bukan beban. Ia memandangnya sebagai bagian dari tanggung jawab bersama agar listrik mandiri di Kedungrong tetap menyala.

Rejo secara rutin memeriksa kondisi turbin, pipa, generator, hingga panel distribusi listrik. Setiap pekan, ia juga memberi satu gelas oli pada bearing mesin. Perawatan dilakukan dengan telaten untuk mencegah gangguan teknis yang bisa menghentikan produksi energi.

Selain mesin, keberlangsungan PLTMH sangat bergantung pada kebersihan aliran air. Turbin hanya bisa berputar optimal jika arus tidak terhalang. Karena itu, warga Kedungrong rutin bergotong royong membersihkan saluran air.

Menurut Rejo, sampah menjadi tantangan paling sering muncul. Ranting, dedaunan, plastik, hingga bangkai yang terbawa arus kerap menyumbat saluran. Warga harus turun membersihkan satu hingga dua hari sekali. Jika terlambat, tumpukan sampah bisa menghentikan putaran turbin.

“Kalau ada penyumbatan, kita harus matiin mesin dulu. Itu kan jadi ngaruh ke warga karena begitu mesin mati, otomatis listrik ke rumah-rumah juga ikut padam,” jelas Rejo.

Pemanas kandang pertenakan ayam Toto yang dialiri listrik PLMTH (Foto: Jasmine Floretta/Magdalene)

Minimnya Keterlibatan Perempuan 

Namun, di balik kerja teknis yang menuntut ketelitian dan tenaga itu, ada masalah minimnya keterlibatan perempuan dalam pengelolaan PLTMH. Padahal, merekalah yang paling merasakan dampak langsung dari keberlanjutan listrik mikrohidro ini—mulai dari urusan rumah tangga hingga menjalankan usaha kecil yang bergantung pada pasokan daya stabil.

Secara administratif, struktur pengurus inti PLTMH Kedungrong—ketua, sekretaris, hingga bendahara—seluruhnya diisi laki-laki. Perempuan hanya tercatat dua orang dalam kepengurusan Komunitas Mikrohidro Terpadu Kulon Progo, yakni Kistiyah sebagai koordinator ekonomi kreatif dan Dewi Rukmiani yang menangani urusan konsumen dan tarif. Namun, menurut Sumberini, 56, warga Kedungrong, susunan ini belum sepenuhnya mencerminkan peran perempuan di lapangan.

Ia menjelaskan, selama ini perempuan kerap hadir di posisi pinggir. Keterlibatan mereka lebih sering berhenti pada tugas-tugas yang dianggap sebagai perpanjangan peran domestik dan perawatan. Perempuan menyiapkan hidangan saat rapat, menarik iuran, atau membantu ketika diminta, tetapi jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan teknis maupun strategis.

“Harapannya, anak-anak muda akan meneruskan dan banyak anak muda perempuan (dalam struktur kepengurusan). Tapi mungkin kita tidak bisa ngecul (melepaskan) mereka secara langsung. Jadi misalnya ketua I (orang tua) lalu ketua II baru yang anak mudanya,” jelasnya.

Minimnya pelibatan perempuan dalam pengelolaan PLTMH Kedungrong juga disoroti Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian. Ia menyebut sektor energi memang dikenal dengan rendahnya representasi perempuan. Data Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menunjukkan partisipasi perempuan di sektor energi hanya sekitar 9 persen pada 2023.

Menurut Beyrra, hambatan struktural kerap berakar pada norma sosial dan bias gender yang telah mengakar lama. Perempuan sering dianggap tidak cocok untuk pekerjaan teknis dan operasional, sehingga sejak awal tidak diberi kesempatan yang setara, baik dalam proses perekrutan maupun promosi.

“Ketika kita berbicara soal teknis, soal mesin, perempuan dianggap tidak bisa atau tidak mampu memegang alat teknik. Itu kan stigma yang dibangun bertahun-tahun. Padahal sebenarnya mampu dan tidaknya itu bukan berdasarkan gender,” sebut Beyrra.

Ia menambahkan, lingkungan kerja sektor energi yang masih maskulin serta minimnya dukungan—mulai dari fasilitas hingga ruang pembelajaran teknis—turut memperlebar kesenjangan tersebut. Dampaknya, perempuan bukan hanya kurang hadir dalam posisi teknis, tetapi juga tersisih dari proses pengambilan keputusan dalam transisi energi, padahal kebijakan energi sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Suparman, pemilik bengkel di dusun Kedungrong yang terbantu semenjak adanya PLMTH (Foto: Jasmine Floretta/Magdalene)

Baca juga: Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah

Energi Harus Berkeadilan 

Sudah waktunya jargon energi berkeadilan secara nyata dipraktikan sebut Beyrra. Berkeadilan, dalam konteks ini, berarti kebijakan dan praktik energi selalu mempertimbangkan aspek gender. Partisipasi perempuan memang penting, tetapi bukan satu-satunya prasyarat. Ada komponen lain yang tak kalah krusial, mulai dari akses atas informasi, pengakuan terhadap ruang hidup perempuan, hingga keterlibatan aktif mereka dalam pengelolaan.

Soal ruang hidup, Beyrra memberi contoh yang kerap luput dibahas. Selama ini, alasan yang paling sering dipakai untuk menyingkirkan perempuan dari sektor energi adalah peran gender mereka. Perempuan dianggap sudah terlalu sibuk dengan kerja perawatan—mengurus rumah dan anak—sehingga dinilai tak punya waktu untuk terlibat. Menurut Beyrra, anggapan ini keliru.

Setelah pekerjaan domestik selesai, waktu yang tersisa bagi perempuan biasanya hanya dapat dimanfaatkan di sekitar rumah. “Energi terbarukan itu kan enggak mungkin mereka garap kalau lokasinya jauh, misalnya di tengah sawah,” ujarnya. Karena itu, perempuan baru bisa terlibat penuh ketika proyek energi berada dekat dengan lingkungan domestik, ruang yang mereka kenal dan kuasai. Kedekatan ini menjadi prasyarat penting sebelum keterlibatan yang lebih aktif bisa didorong.

Namun, kedekatan saja tidak cukup. Perempuan juga perlu didorong untuk mengambil peran yang lebih strategis. “Perempuan bisa sekali didorong ambil peran edukasi karena selama ini pengetahuan itu terlalu terpusat pada laki-laki. Perempuan tahu loh caranya bekerja sama ketika ngomongin tentang pemanfaatan energi. Mereka juga bisa diajak untuk memegang hal-hal strategis dalam pengelolaan,” kata Beyrra.

Pandangan ini menemukan relevansinya di Kedungrong. Keberlanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) tidak hanya bergantung pada beningnya aliran air yang memutar turbin setiap hari, tetapi juga pada kesadaran kolektif bahwa energi desa akan lebih kokoh jika semua warga diberi ruang yang setara untuk terlibat.

Jika selama ini perempuan lebih sering berada di tepian, saatnya ruang itu diperluas. Kemandirian energi tidak cukup dibangun dari keterampilan teknis semata. Ia membutuhkan sudut pandang yang beragam agar benar-benar berkelanjutan. Ketika kesempatan dibuka bagi semua, bukan mustahil usaha kolektif yang menerangi dusun ini akan terus hidup hingga generasi-generasi berikutnya.

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.