UU TNI Sah, RIP Reformasi (1998-2025)
Kenapa pengesahan UU TNI yang memperluas kekuasaan militer, dikaitkan dengan kematian Reformasi?

Aksi Kamisan ke-856 pada (20/3) disebut-sebut paling tragis sepanjang sejarah. Menyadur Retorika, hal ini terjadi lantaran di hari yang sama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengesahkan Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-Undang. Pengesahan RUU TNI, yang bertepatan dengan Aksi Kamisan, dianggap menginjak-injak mayat mereka yang gugur saat memperjuangkan demokrasi 27 tahun lalu.
Pencetus Aksi Kamisan Maria Catarina Sumarsih, ibu Benardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang jadi korban Semanggi 1 angkat suara soal ini. Kata dia, seharusnya pemerintah dan TNI berefleksi alih-alih melebarkan sayap kekuasaan. Ada banyak sisa kejahatan sebelum Orde Reformasi yang belum diselesaikan sampai hari ini.
“Baik pihak DPR RI dan pemerintah maupun kepolisian, hendaknya introspeksi diri bahwa telah terjadi ketidakadilan atas tindak kejahatan TNI di masa lalu, yang hingga saat ini belum dipertanggungjawabkan oleh negara,” terang Sumarsih saat ditemui di Konferensi Pers penolakan RUU TNI (17/3) di Jakarta.
Baca juga: Misteri Surat Sakti Supersemar yang Lahirkan Orde Baru
Mengapa Reformasi Dianggap Mati?
Lekatnya memori Orde Baru dengan Dwifungsi TNI atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) praktis bikin masyarakat marah. Pasalnya, menyitir Tempo, dalam UU TNI tersebut, tertulis beberapa pasal yang memungkinkan TNI kembali menduduki jabatan sipil, seperti yang terjadi di masa Soeharto. Hal ini dinilai menghidupkan kembali Dwifungsi TNI.
Reformasi 1988 sendiri tercatat sebagai momentum awal penumpasan Dwifungsi ABRI ala Orde Baru. Masih dari media yang sama disebutkan, penghilangan Dwifungsi ABRI adalah satu dari lima tuntutan lain dari mahasiswa di era tersebut. Dari momen ini, restorasi dalam tubuh TNI jadi satu hal yang harus disegerakan.
Dari catatan Tempo, selama Dwifungsi ABRI berjalan, terjadi berbagai penyimpangan politik dan sosial oleh aparat militer maupun Soeharto sendiri. Ini dilatarbelakangi dari semakin banyaknya perwira aktif TNI yang menduduki posisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di tingkat provinsi.
Enggak cuma itu, memori soal Dwifungsi ABRI juga lekat dengan kekerasan yang kerap terjadi pada warga sipil. Salah satunya yang menimpa Marsinah, buruh perempuan dari Sidoarjo, Jawa Timur. Kompas.com mencatat represi besar yang diterima Marsinah dan kelompok buruh selama Dwifungsi ABRI. gGra-gara memperjuangkan kenaikan upah, cuti hamil, cuti haid, dan upah lembur, Marsinah harus meregang nyawa usai disiksa dan dibunuh dengan senjata api. Hasil forensik bahkan menunjukan, Marsinah sempat diperkosa sebelum dibunuh.
Baca juga: Jokowi dan Citra Keluarga Harmonis: Warisan Kolonialisme dan Orde Baru
Mundurnya Reformasi pada Tubuh TNI
Jauh sebelum akhirnya disahkan kembali pada (20/3), upaya menghilangkan Dwifungsi dari alat pertahanan negara ini sebenarnya sudah masif dilakukan. Pasca-Reformasi 1988 dan turunnya Soeharto, upaya mengembalikan TNI ke fitrahnya bahkan dilakukan sampai masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia ke-4.
Dari catatan Tempo, restorasi di TNI diawali dari seminar Angkatan Darat pada 22-24 September 1998, dengan tema “ABRI di Abad XXI”. Pada pertemuan tersebut, dihasilkan pemikiran untuk melakukan reformasi, dan mengembalikan TNI sebagai lembaga pertahanan negara.
Agus Widjojo, pensiunan TNI berpangkat letnan jendral yang andil dalam penghapusan doktrin Dwifungsi TNI pasca-Reformasi bilang, tidak mudah mengupayakan reformasi TNI kala itu. Prosesnya alot. Agus bahkan mengaku “dikeroyok” lantaran melawan arus.
“Kelompok yang ingin melakukan reformasi, yang ingin menebalkan TNI sebagai tentara profesional di dalam sistem politik demokratis itu melawan arus. Sebagian besar perwira TNI masih tertambat pada mindset dwifungsi, menganggap tentara itu sebagai pahlawan satu-satunya yang bisa menjaga keutuhan negara dan keselamatan rakyat. Saya dikeroyok pada saat itu,” terang Agus kepada BBC Indonesia, (19/3).
Mengomentari revisi UU TNI, masih dari media yang sama, Agus yang kini menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina mengatakan, itu kontradiktif dengan semangat Reformasi kala itu.
Baca juga: 20 Tahun Pasca-Reformasi: Diskriminasi Sistemis dan Dihidupkan Lagi Kebijakan Orde Baru
“Reformasi TNI tahun 2000-an itu sulit karena harus melawan arus. Sekarang revisi yang terjadi itu mengikuti arus, untuk kembali ke masa lalu, menuju sesuatu yang sudah diperbaiki melalui reformasi TNI. Artinya, reformasi TNI dengan proses revisi itu memang kontradiktif dan berlawanan,” terang Agus.
Sebagai catatan, pemisahan tugas TNI dari jabatan sipil sebelumnya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU tersebut dituliskan, TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis atau kegiatan politik yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan sipil. TNI diposisikan sebagai alat negara yang fokus pada tugas pertahanan dan tidak memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahan sipil.
Namun, hari ini, aturan tersebut berubah. Anggota aktif TNI bisa menempati setidaknya 16 posisi jabatan di dalam lembaga atau instansi sipil.
