Environment Issues Opini

10 Alasan Kemenangan Trump Tak Bisa Goyahkan Aksi Iklim Dunia

Dari tekanan dunia hingga ambisi AS kalahkan Cina, alasan-alasan ini membuat kita layak menjaga harapan soal aksi iklim global.

Avatar
  • November 13, 2024
  • 5 min read
  • 232 Views
10 Alasan Kemenangan Trump Tak Bisa Goyahkan Aksi Iklim Dunia

Kamu mungkin mengira, kemenangan Donald Trump di Pemilu Amerika Serikat (AS) bakal jadi pukulan telak untuk masa depan aksi iklim global. Ini mengingat rekam jejaknya yang merupakan Penolak Perubahan Iklim. Ia bahkan berjanji meningkatkan produksi bahan bakar fosil dan menarik AS dari Perjanjian Paris. Ada juga berbagai kesepakatan lainnnya yang meresahkan.

Namun, terlepas dari ulah Trump dan lingkarannya, isu perubahan iklim masih jadi perhatian besar, terutama di antara kaum muda. Baik di AS maupun negara lainnya, dukungan untuk kebijakan iklim masih sangat tinggi. Studi berbasis data 60 ribu orang di lebih dari 60 negara juga menyatakan perhatian seseorang terhadap perubahan iklim masih dianggap enteng.

 

 

Nah, saat ini sebenarnya merupakan waktu yang pas untuk mengingat upaya-upaya melawan krisis iklim—di suatu negara ataupun secara global—jauh lebih besar dari kuasa satu orang. Ini adalah sepuluh alasan mengapa kita harus tetap menjaga harapan.

Baca Juga: Pasca-Penembakan Trump: Siapa Tersangka, Genosida di Gaza, Sampai Pengunduran Diri Joe Biden

1. Transisi Energi Bersih Global Tak Terbendung

Laju transisi menuju energi bersih terus meningkat, dan Trump tak akan mampu membendungnya. Investasi energi bersih telah melampaui bahan bakar fosil, dan hampir mencapai dua kali lipat lebih besar dibandingkan gabungan investasi batu bara, minyak, dan gas Bumi pada 2024. Tren besar ini merupakan catatan sejarah luar biasa yang akan berlanjut, dengan ataupun tanpa kepemimpinan AS.

2. Momentum Energi Bersih AS Berlanjut

Belanja terkait industri energi bersih di era Biden banyak berlokasi di negara bagian yang dikuasai Partai Republik dan daerah pemilihan kongres. Pabrik-pabrik baru untuk membuat baterai dan kendaraan listrik akan terus bermunculan di bawah pemerintahan Trump. Pun, konglomerat Elon Musk—yang kemungkinan akan bergabung dalam pemerintahan Trump—merupakan produsen kendaraan setrum.

Beberapa penyokong pendanaan Trump juga menerima subsidi manufaktur energi bersih dan sebanyak 18 anggota Kongres dari Partai Republik terang-terangan menolak pengurangan pajak energi bersih.

Baca juga: Apa itu COP29: Pendanaan Iklim dan Dampaknya buat Perempuan

3. AS Ambis Kalahkan Dominasi Cina

Kedua partai di Washington menyoroti AS yang tertinggal secara teknologi dari Beijing. Saat ini, Cina mendominasi produksi kendaraan listrik global, baterai, turbin angin, dan panel surya. Ini membuat tekanan terhadap AS untuk menghadang dominasi manufaktur Cina terus berlanjut.

4. Pemerintahan Federal AS Bukanlah Segalanya

Saat berkuasa, Trump membatalkan sejumlah komitmen iklim yang sudah diteken AS, seperti Perjanjian Paris. Namun, banyak negara bagian dan pemerintahan lokal sudah lebih maju dalam kebijakan iklim.

Tren serupa akan berulang dalam periode ini. Misalnya, California—kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia—berencana untuk menghapus jejak karbonnya pada 2045. Bahkan Texas, jantung Partai Republik, juga memimpin transisi menuju energi angin dan surya.

5. Tingginya Semangat Aksi Iklim

Saat Trump menjabat, aksi iklim di AS berhasil mengembangkan proposal kebijakan Green New Deal (Kesepakatan Hijau Baru). Banyak poin-poin dalam proposal ini kemudian dilaksanakan oleh pemerintahan Biden. Adanya reaksi perdana setelah terpilihnya Trump kembali, sudah menunjukkan bahwa kebijakan serupa akan kita lihat di masa depan.

6. Kemitraan Iklim Global

Sekalipun Trump memenuhi janjinya untuk hengkang dari Perjanjian Paris (lagi), ia hanya akan meninggalkan ruangan yang membentuk masa depan.

AS pun sudah angkat kaki dari beberapa kesepakatan iklim global sebelumnya, seperti penolakan Protokol Kyoto pada 2001. Namun, negara-negara lain justru memacu aksi iklim masing-masing. Tak mustahil tren serupa akan berulang.

7. Tatanan Dunia yang Berbasis Aturan

Saat suatu negara mundur dari kesepakatan yang sudah disetujui setelah negosiasi beberapa dekade, negara-negara yang bertanggung jawab harus bekerja sama untuk menggenjot kemitraan global. Seperti halnya aspek perdagangan dan keamanan, tatanan kemitraan iklim global juga memiliki tatanan senada.

Menteri Luar Negeri Australia—sebagai negara berkekuatan menengah—Penny Wong, baru-baru ini menjelaskan, keinginan negaranya:

Dalam dunia yang menyelesaikan perselisihan dengan komitmen dan negosiasi dengan berbasiskan aturan (dan) norma… Kami tidak menginginkan dunia yang menyelesaikan sengketa dengan kekuasaan semata.

8. Diplomasi Australia Penting

Australia berencana turut menjadi tuan rumah konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa bersama negara-negara kepulauan di Pasifik pada 2026. Ini pun muncul sebagai rencana yang disukai. Menjadi tuan rumah COP 31 akan menjadi kesempatan bagi Australia untuk menjadi penyalur era aksi iklim internasional, sekalipun AS di bawah kepemimpinan Trump sudah mundur dari Perjanjian Paris.

Menjadi tuan rumah juga membantu meneguhkan posisi Australia di Pasifik dan membantu negara-negara jiran dalam menghadapi ancaman iklim.

Baca Juga: 5 Kabar Baik Terbaru tentang Lingkungan yang Harus Kamu Tahu 

9. Transisi Energi Australia Kian Cepat

Sekitar 40 persen dari jaringan listrik nasional utama Australia dihasilkan dari energi terbarukan. Angka ini kemungkinan akan meningkat hingga 80 persen pada 2030.

Beberapa negara bagian bergerak lebih cepat. Sebagai contoh, Australia Selatan menargetkan 100 persen energi terbarukan pada 2027.

Orang Australia juga menyukai energi bersih di rumah. Satu dari tiga rumah tangga telah memasang panel surya di atap, menjadikan Australia pemimpin dunia dalam adopsi teknologi ini. Masa jabatan Trump di Gedung Putih tidak dapat menghentikan momentum tersebut.

10. Trump Tak Bisa Ubah Sains Perubahan Iklim

Sains sudah tegas: Pembakaran batu bara, minyak, dan gas memicu perubahan iklim dan meningkatkan risiko bencana yang membahayakan masyarakat. Di Australia, kebakaran hutan Black Summer terjadi pada 2019-2020 dan banjir luar biasa di Lismore pada 2022.

Kerusakan ini juga terjadi di seluruh dunia. Pada Oktober 2024, dua badai kembar di AS—yang diperkuat oleh pemanasan lautan—menciptakan kerugian senilai lebih dari US$100 miliar (Rp1.560 triliun). Ratusan orang juga meninggal ketika hujan setahun turun dalam satu hari di Spanyol bulan lalu.

Pada hari-hari suram—misalnya saat terpilihnya si penyangkal perubahan iklim ke Gedung Putih—kita mungkin merasa manusia tidak akan mampu menghadapi tantangan terbesar Bumi.

Namun, ada banyak alasan untuk berharap. Mayoritas dari kita mendukung kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam banyak kasus, momentum ini nyaris tak terbendung.

Wesley Morgan, Research Associate, Institute for Climate Risk and Response, UNSW Sydney dan Ben Newell, Professor of Cognitive Psychology and Director of the UNSW Institute for Climate Risk and Response, UNSW Sydney.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Wesley Morgan dan Ben Newell

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *