Kenaikan Tukin 100 Persen di ESDM: Saat APBN 2026 Sudah Terlalu Berat
Di tengah kondisi fiskal yang makin berat, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berencana menaikkan tunjangan kinerja (tukin) pegawai Kementerian ESDM hingga 100 persen. Ia menyebut keputusan itu merupakan bentuk “kepedulian” Presiden Prabowo Subianto terhadap para aparatur negara di sektor energi.
Jika rencana ini direalisasikan, Bahlil akan menjadi penerima tukin tertinggi di lembaganya. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2018, tunjangan kinerja pegawai ESDM berkisar antara Rp2,53 juta hingga Rp33,24 juta per bulan tergantung kelas jabatan.
Baca Juga: 6 Dampak Efisiensi Anggaran Prabowo: PHK Massal hingga Riset yang Mandek
Kebijakan ini juga mendapat lampu hijau dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, meski ia mengaku belum menerima surat resmi dari Presiden.
“Kalau ada perintah dari Presiden, ya kita ikut. Paling nanti diskusi sedikit, misalnya ‘jangan 100 persen kalau anggaran tak cukup’,” ujarnya seperti dikutip Kompas (28/10).
Bahlil beralasan kenaikan tukin ini dimaksudkan untuk memacu kinerja pegawai dan membersihkan praktik ilegal dalam pemberian izin tambang.
“Bagi pejabat yang masih main-main, silakan coba nyali saya. Akan saya rumahkan,” ujarnya, seperti dikutip Kompas.
Namun, alasan “peningkatan motivasi kerja” ini dinilai klise di tengah ekonomi yang sedang lesu. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai kebijakan tersebut tidak berdasar dan justru menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang sudah berat.
Baca Juga: Kenaikan PPN 12 Persen, ini Pedoman Bertahan dan Berjuang dengan Sebaik-baiknya
Tukin bebani APBN 2026
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU APBN 2026 pada 23 September lalu, dengan total belanja negara Rp3.842,7 triliun dan defisit sebesar Rp689,15 triliun. Dalam situasi seperti ini, menurut Siska Barimbing, peneliti FITRA, rencana kenaikan tukin tidak punya dasar rasional.
“Ini kebijakan yang sama sekali tidak sensitif terhadap krisis fiskal. Kenaikan tukin seharusnya didasari indikator kinerja lembaga, bukan sekadar keinginan politik,” ujarnya.
Siska menambahkan, kenaikan tukin akan menyedot anggaran besar di saat banyak sektor publik justru dipangkas. Ia menyoroti pemotongan dana Transfer ke Daerah (TKD) yang dalam RAPBN 2026 hanya dialokasikan Rp693 triliun, atau jauh di bawah kebutuhan pemerintah daerah, terutama di wilayah penghasil tambang.
“Daerah penghasil sangat bergantung pada Dana Bagi Hasil sumber daya alam minerba dan migas. Ironisnya, di saat daerah kehilangan pendapatan, Kementerian ESDM justru meminta kenaikan tukin dua kali lipat,” ujarnya.
FITRA menilai kebijakan ini anomali karena tidak ada bukti bahwa kinerja ESDM mengalami lonjakan signifikan, misalnya dalam target kemandirian energi atau tata kelola pertambangan yang bersih.
“Kenaikan tukin bisa dibenarkan kalau ada capaian kinerja konkret. Kalau tidak, ya hanya menambah beban APBN,” kata Siska.
Jika tetap dipaksakan, kenaikan tukin ESDM akan membuat defisit makin melebar, dan pemerintah mau tak mau harus mengorbankan pos belanja lain atau menambah utang. Padahal, dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026, sebagian besar anggaran sudah terserap untuk program populis seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Cek Kesehatan Gratis, serta proyek besar seperti Cetak Sawah Nasional.
Baca Juga: #RaporMerahPemerintah: Setahun Prabowo-Gibran, Semua Nilai Remedial
Menurut FITRA, prioritas APBN seharusnya adalah pembiayaan pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur publik, dan ketahanan pangan, bukan menaikkan tunjangan pejabat.
“Terlalu banyak anggaran terserap untuk program populis yang tidak berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini justru mengurangi ruang fiskal untuk belanja publik yang lebih esensial,” jelas Siska.
Ia menegaskan, rencana kenaikan tukin ESDM hanya memperlihatkan lemahnya sense of crisis dan absennya empati terhadap kondisi fiskal negara. Di tengah beban APBN yang menumpuk, FITRA menyarankan agar Kementerian ESDM fokus memperbaiki tata kelola izin tambang dan mendorong transisi menuju energi bersih, bukan menaikkan tunjangan.
“Kalau bicara motivasi pegawai, yang paling efektif bukan menaikkan tunjangan, tapi memastikan sistemnya bersih dan target kinerja tercapai,” ujar Siska.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















