Cilok, jajanan khas Sunda berbentuk bola dari tepung tapioka yang direbus dan ditusuk, mungkin identik dengan pedagang gerobak dan lorong-lorong sekolah di Indonesia. Namun di Bristol, Inggris, ia punya panggung baru. Hampir setiap Rabu pukul lima sore, saya membawa cilok ke ruang Language Café di University of Bristol, tempat mahasiswa internasional berkumpul untuk belajar bahasa secara santai dan sukarela.
Language Café merupakan program andalan Student Union, dengan model peer-to-peer learning yang terbuka bagi siapa pun. Bahasa yang ditawarkan cukup banyak—lebih dari sepuluh—dan Bahasa Indonesia termasuk di dalamnya sebagai Less Commonly Taught Language (LCTL).
Mengajar Bahasa Indonesia ini jelas cukup menantang buat saya. Terlebih materi pembelajaran berkualitas tidak sebanyak bahasa besar seperti Mandarin atau Prancis, struktur bahasanya berbeda jauh dari bahasa Inggris, dan peminatnya lebih sedikit.
Peserta kelas saya berasal dari latar yang beragam. Mereka merupakan heritage learners yang ingin kembali lancar berbahasa Indonesia, mahasiswa asing yang tertarik berwisata ke Indonesia, sampai mereka yang penasaran karena pernah melihat video kuliner Indonesia di TikTok.
Dalam kondisi seperti ini, saya butuh cara untuk membuat pengalaman belajar terasa menarik. Gastrodiplomasi menawarkan jawabannya. Jika makanan bisa menjadi alat diplomasi antarnegara, kenapa tidak menggunakannya dalam skala kecil di ruang kelas?
Cilok pun menjadi jembatan sederhana yang mempertemukan bahasa, budaya, dan rasa ingin tahu.
Baca juga: Kentang Rebus, Kopi Pahit, dan Rindu yang Ditanak di Portugal
Cilok sebagai Gastrodiplomasi Mini di Ruang Kelas
Pendekatannya sangat praktis. Saya memulai sesi dengan mengajarkan kosakata dasar seperti “makan”, “beli”, “berapa harganya?”, “saya mau…”, serta angka 1–10. Setelah itu, mahasiswa melakukan role play sederhana melibatkan cilok sebagai objek pembelajaran. Mereka berlatih percakapan singkat:
“Berapa harganya?”
“Saya mau beli tiga.”
“Terima kasih.”
Latihan berulang ini, ditambah rasa penasaran terhadap cilok, membuat mereka cepat mengingat kosakata baru. Di kelas-kelas LCTL, retensi adalah tantangan besar. Namun dengan makanan, bahasa tidak lagi hanya teks. Ia menjadi pengalaman multisensori: Ada aroma, tekstur, emosi, dan interaksi.
Hadiah kecilnya datang di akhir sesi, ketika para mahasiswa mencicipi cilok yang saya buat. Antusiasme mereka bertambah. Pertanyaan-pertanyaan baru muncul: “Apakah cilok sama dengan bakso?”, “Apa itu aci?”, “Kenapa banyak makanan Indonesia pakai sambal?” Dari situlah, diskusi berkembang ke topik budaya dan kebiasaan makan di Indonesia.
Pendekatan seperti ini secara tidak langsung membangun hubungan emosional antara mahasiswa dan bahasa yang sedang mereka pelajari. Heritage learners merasakan kembali kedekatan dengan rumah. Pemula merasakan bahwa bahasa Indonesia tidak mengintimidasi.
Namun tentu, menggabungkan gastronomi dengan pembelajaran tidak selalu mudah.
Tantangan pertama adalah bahan baku. Tepung kanji atau tapioca starch tidak semudah itu ditemukan di Bristol. Saya perlu keluar masuk beberapa toko berbeda dan mencoba beberapa merek sampai menemukan yang cocok untuk membuat adonan cilok yang tidak terlalu lembek atau keras.
Baca juga: Obsesi Orang Sunda pada Aci: Cerita Singkong, Kolonialisme, dan Industri Minyak Sawit
Tantangan kedua adalah alergi dan preferensi makanan. Di Indonesia, cilok sering disajikan dengan saus kacang atau sambal pedas. Namun di Inggris, banyak mahasiswa alergi kacang dan tidak kuat makan pedas. Karena kegiatan diadakan di ruang publik kampus, membawa bahan berbasis kacang tidak mungkin. Maka saya menyesuaikan bumbunya, menggunakan saus alternatif yang aman untuk semua.
Meski begitu, tantangan ini justru memperkaya pengalaman belajar. Mahasiswa jadi memahami bahwa makanan juga berkaitan dengan kesehatan, ketersediaan bahan, hingga konteks budaya setempat.
Pada akhirnya, cilok bukan hanya makanan. Ia bekerja sebagai jembatan untuk membangun dialog antarbudaya, memperkuat retensi kosakata, dan menciptakan pengalaman belajar yang dikenang mahasiswa lebih lama dibandingkan latihan tata bahasa biasa.
Mengintegrasikan gastronomi ke dalam pengajaran bahasa seperti ini menunjukkan satu hal: mempelajari bahasa tidak harus rumit. Kadang ia cukup dimulai dari sesuatu yang akrab, hangat, dan bisa dinikmati bersama.
Rahmat adalah mahasiswa S2 di University of Bristol jurusan M.Sc. Education, penerima beasiswa LPDP, dan orang Sunda yang berasal dari Tasikmalaya yang senang bergelut dalam bidang Pendidikan dan Pariwisata.
Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.
















