Kenapa Kita Mudah Terpikat dengan Film Studio Ghibli?
Lebih dari 36 tahun, Studio Ghibli mempersembahkan film-film yang mampu membuat hati penontonnya hangat. Tak hanya magis tapi juga menimbulkan perasaan nostalgik.
Minggu lalu saat lelah karena rutinitas kerja, saya memutuskan binge watching dua film favorit besutan Studio Ghibli, My Neighbor Totoro (1998) dan Only Yesterday (1991). Selama menonton kedua film itu, saya merasa hangat layaknya mendapatkan sebuah pelukan dan segelas coklat panas.
Tak hanya perasaan yang hangat, sepanjang film, saya senyam-senyum dan mood terkerek naik. Setelah saya ingat lagi, perasaan inilah yang selalu saya rasakan ketika menonton film-film besutan studio Ghibli, studio animasi kenamaan Jepang.
Apa yang saya rasakan juga ternyata dialami oleh orang lain. Ibu dua anak berumur 39 tahun. “Clara” mengungkapkan bagaimana ia mencintai film-film Ghibli karena menawarkan pelarian dari beratnya menjalani kehidupan dewasa.
“It’s my stress reliever karena film-film Ghibli itu menawarkan escapism ke dalam dunia fantasi yang indah. Kita bisa merasakan emosi bahagia dan perasaan sayang. Perasaan yang mungkin terkubur karena di dunia nyata itu kita menjalani kehidupan orang dewasa yang keras.”
Sama halnya dengan Clara, “Reni” perempuan di umur menjelang akhir 20-annya juga mencintai film-film studio Ghibli. Kecintaannya terhadap film-film studio Ghibli ini hadir karena ia selalu sukses membangkitkan rasa nostalgia.
Baca Juga: Film-film Hayao Miyazaki dan Representasi Kepemimpinan Perempuan
“Film Studio Ghibli bikin saya ingat-ingat soal kesedihan, tapi bukan perasaan sedih yang kaya gitu (nestapa). Pasti ada ya momen di mana kita pernah nonton, baca atau dengerin musik yang menautkan kita pada memori sedih yang enggak mau kita ulang lagi. Namun, film Ghibli tuh beda. Wah perasaan ini, aku pernah ngerasain perasaan kaya gini sebelumnya.”
Indahnya Kehidupan Jauh dari Bayang-Bayang Kematian
Dalam penelitian berjudul “The Utopian “Power to Live”: The Significance of the Miyazaki Phenomenon” (2014), Hiroshi Yamanaka, profesor Universitas Tsukuba menjelaskan mengapa film-film Garapan Studio Ghibli mampu memberikan perasaan hangat nan positif pada penontonya. Alasannya ada dalam satu orang, Hayao Miyazaki animator, sutradara, produser, penulis, penulis, dan seniman manga Jepang yang juga merupakan pendiri Studio Ghibli.
Miyazaki membawa kehangatan dan nilai positif dalam film-film studio Ghibli karena ia adalah pengamat yang baik dan teliti. Ia menyelami detail-detail keseharian hidup manusia dan makhluk hidup di sekitarnya untuk kemudian dituangkan dalam storyboard film-filmnya.
Dari pengamatannya itu, Studio Ghibli menelurkan karya-karya yang mayoritas menekankan pada keindahan kehidupan. Ia merasa film-filmnya perlu menekankan aspek ini karena ia menyadari bagaimana kehidupan di abad ke-21 tidak mudah alias kacau balau.
Dengan segala kebencian, pembantaian, hingga pengrusakan alam yang semakin sering terjadi abad ini, dalam hematnya, orang-orang hidup seperti kehilangan arah dan terbelenggu dalam awan hitam. Inilah alasan ia ingin memperlihatkan kepada penonton, meski hidup kacau, ada hal indah yang bisa ditemui dalam hidup ini.
“Kami menggambarkan kebencian dalam film, tetapi hanya untuk menunjukkan ada hal yang lebih penting untuk kita lihat. Kami menggambarkan kutukan, tetapi hanya untuk menunjukkan sukacita pembebasan.”
Baca Juga: Liar dan Imajinatif: 6 Anime Ghibli yang Wajib Ditonton
Usaha Miyazaki memotret dan menggambarkan keindahan kehidupan dalam karya-karya Studio Ghibli terlihat dari bagaimana ia mengekspresikan kekayaan hidup tanpa berurusan dengan kematian. Singkatnya, ia jarang membahas realitas kematian secara langsung dalam karya-karyanya.
Dia memperhatikan kehidupan secara eksklusif dengan kematian tidak mengganggu fantasi dongengnya. Dalam Ponyo on the Cliff by the Sea (2008) misalnya, dengan unsur fantasi yang begitu kental Miyazaki tetap bisa mengeksplorasi keseruan petualangan Ponyo mencari jati dirinya tanpa membuatnya harus berhadapan dengan situasi hidup dan mati yang begitu mengerikan.
Lebih lanjut dalam penelitian, “Animated Nature: Aesthetics, Ethics, and Empathy in Miyazaki Hayao’s Ecophilosophy” (2015), Pamela Gossin, profesor dari Universitas Texas mengatakan, Studio Ghibli juga berusaha memotret keindahan kehidupan dengan menghadirkan bentuk-bentuk rutinitas karakternya. Dari memasak sarapan dan menyiapkan bekal untuk adik dan ayahnya yang dilakukan oleh Satsuki dalam My Neighbor Totoro (1998) atau melakukan pekerjaan seperti menyapu dan mengepel yang dilakukan oleh Sophie dalam Howl’s Moving Castle (2004). Semuanya digambarkan dengan detail yang indah.
Pada prosesnya, rutinitas yang digambarkan dalam film-film Ghibli hadir sebagai sebuah pengingat tentang keindahan hal-hal kecil dalam hidup kita. Manusia terlalu fokus pada sebuah peristiwa besar dalam hidupnya sampai pada titik mereka kerap luput menyadari hal-hal kecil ini nyatanya memiliki peran dalam memberikan kehidupan manusia sebuah makna. Bahwa rutinitas duniawi sehari-hari tersedia bagi makhluk hidup untuk mereka nikmati dan syukuri keindahannya.
Film Studio Ghibli Hadirkan Karakter Kuat hingga Nostalgia Masa Kecil
Ketika kita menonton film-film Ghibli mungkin ada satu hal yang akan selalu kita rasakan saat menontonnya. ‘Atmosfer’ (Funiki, 雰囲気) dalam film-film Ghibli sangat kental, kita merasa penuh karena kita tidak hanya menonton karakter dalam sebuah animasi. Perasaan penuh yang kerap kita rasakan dalam film-film Ghibli tergambar dalam motivasi Miyazaki untuk membawa kehidupan dalam karakternya.
Baca Juga: Ulasan ‘Belle’: Perempuan yang Terluka, Patah, Bangkit
Dalam wawancara eksklusif bersama NHK World, 10 Years with Hayao Miyazaki misalnya Miyazaki selalu menekankan pada semua staf yang terlibat dalam pembuatan film-film Ghibli untuk tidak hanya menggambar karakter, tapi memberikan mereka nyawa. Karakter yang ada menurutnya adalah manusia, bukan hanya benda mati. Gerakan mereka harus hidup berikut pula dengan motivasi mereka bergerak dan melakukan kegiatan. Oleh karena itu, Miyazaki menggambarkan kerumunan orang lengkap dengan wajah, gerak-gerik, dan raut muka mereka, bukan sebagai figur-figur gelap atau sosok tanpa wajah.
Bersamaan dengan nyawa dalam karakternya, apa yang membuat film-film Studio Ghibli memiliki ‘atmosfer’ yang kental terletak pada motivasi protagonisnya. Dalam disertasi “Chihiro’s journey: Re-imaging the heroic quest in the anime of Miyazaki Hayao” (2013), Deborah Scally, profesor dari universitas Texas menjelaskan bagaimana semua protagonis dalam film-film Ghibli karya Miyazaki dan arahannya selalu menginspirasi aksi.
Mereka tidak pasif, mereka tidak pasrah pada takdir yang digariskan kepada mereka, namun berusaha mengubah takdir untuk dapat menjadi individu yang lebih baik. Fokus film-film Ghibli adalah pada cara protagonis membangkitkan secara internal kekuatan tak terlihat dalam diri mereka sendiri.
Protagonis film-film Ghibli berani mengambil risiko, mereka memotivasi dirinya sendiri, dan menyalakan kembali rasa percaya diri. Dalam hal ini pun penonton dibawa ke sebuah perjalanan bersama protagonis seakan mereka terlibat di dalamnya.
Hal terakhir yang kemudian membuat film-film Ghibli magikal adalah perasaan nostalgia. Dalam “Miyazakiworld: A Life in Art” (2018), Susan J. Napier, profesor dari Universitas Tufts mengatakan nostalgia yang ditawarkan oleh film-film Ghibli tidak hanya nostalgia kanak-kanak tetapi kerinduan akan masa lalu yang hilang ketika kita sudah beranjak dewasa.
“Kami mengembalikan kepada dirimu sesuatu yang telah kamu lupakan,” dengan tagline ini, My Neighbor Totoro misalnya menangkap kembali kepolosan masa kanak-kanak melalui keajaiban dan kegembiraan yang dialami dua anak perempuan Mei dan Satsuki yang bertemu dengan Totoro, sang pemilik hutan. Melalui petualangan Mei dan Satsuki, Studio Ghibli menarik ingatan bawah sadar penonton mereka tentang budaya Asia yang menjunjung tinggi alam dalam hal ini hutan yang sangat berbeda dengan masyarakat modern abad ke-21.
Lalu, dengan Kiki’s Delivery Service (1989), penonton dibawa kembali pada rasa takut seorang anak pada transisi kehidupannya. Secara tidak sadar penonton dewasa dibawa ke dalam gejolak nostalgianya yang kompleks melalui diri Kiki yang mengarungi perjalanan menjadi seorang penyihir.
Baca Juga: Rekomendasi Anime Bertema ‘Magical Girl’ dari Masa ke Masa
Pun, dalam Only Yesterday, penonton dibawa mengarungi kepingan nostalgia Taeko yang mengingat kembali kejadian-kejadian tidak terlupakannya semasa masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Kejadian-kejadian yang pada kenyataannya sangat dekat dengan para penonton utamanya penonton Asia. Mulai dari tabu menstruasi, hobi anak-anak kecil menonton film kartun saat sore setelah pulang sekolah, hingga perintah absolut orang tua Asia yang secara tidak sadar menghancurkan mimpi anaknya sendiri.
Dari berbagai elemen yang berusaha digali dan dihidupkan oleh studio Ghibli, maka tidak mengherankan film-film Garapan studio ini banyak dicintai orang di seluruh dunia.