“Selamat Ya Kamu Sudah Laku”: Menikah Bukan Berarti Membeli Perempuan
Sudah sebaiknya kita meninggalkan cara berpikir lama yang mengibaratkan perempuan seperti barang, saat membicarakan pernikahan.
Semenjak saya remaja hingga kini menikah, saya selalu tidak nyaman ketika ada orang yang bilang, “Wah, udah jadi milik orang aja, ya,” pada perempuan yang baru menikah. Meski tak jarang kalimat itu keluar beserta wejangan seputar pernikahan, tapi orang-orang sepertinya sudah lama terjebak pemikiran usang tentang perempuan sebagai objek atau barang dalam hidup laki-laki.
Pemikiran serupa biasanya juga jadi dasar ucapan seperti, “Doakan semoga aku bisa segera menyusul,” atau, “Wah, kamu sudah laku, aku kapan ya,” muncul. Bagi mereka, pernikahan adalah ajang kompetisi siapa cepat dia hebat. Tapi, yang menjengkelkan, efek kata ‘menyusul’ dan ‘laku’ sering kali lebih buruk buat perempuan.
Baca juga: Patriarki dan Kolonialisme Jadi Penyebab Utama KDRT di Seluruh Dunia
Sebutan ‘Sold Out‘ untuk Perempuan Menikah
Jujur saja, dari pertama kali saya mendengar sebutan ‘sold out‘ yang ditujukan untuk para perempuan yang akan menikah atau sudah menikah ini, saya merasa tidak nyaman dan geram. Rasanya seperti mengibaratkan perempuan menjadi sebuah ‘barang’ yang dengan mudah dialih kepemilikannya (jual dan beli), dan seolah-olah perempuan menjadi pihak yang tidak memiliki otoritas atas dirinya sendiri sehingga hanya laki-laki yang memiliki hak untuk ‘membeli’ perempuan. Mirisnya, sesama perempuanlah yang sering kali melontarkan sebutan ini.
Pernah beberapa kali saya bertanya pada beberapa teman yang berbeda mengenai sebutan tersebut, dan jawaban mereka tak jauh berbeda, hanya seputar beralihnya tanggung jawab yang sebelumnya dibebankan pada ayah dari si perempuan kepada laki-laki (suami) yang meminangnya. Mereka beranggapan jika perempuan yang sudah menikah maka kewajibannya beralih harus taat sepenuhnya kepada suami sebagai bentuk bakti atas tanggung jawab yang akan diberikan oleh suami.
Hal ini tentu tidak lepas kaitannya dengan fakta sejarah yang pernah ada. Seperti yang dipaparkan oleh Ridwan Angga Jaruario, dkk dalam penelitian berjudul Hakikat dan Tujuan Pernikahan di Era Pra-Islam dan Awal Islam. Di sana tertulis, pada masa pra-Islam masyarakat memandang jika kehormatan perempuan dapat diwariskan oleh pihak keluarganya. Di mana pada saat itu, kedudukan perempuan masih dianggap sangat rendah dan dipandang hanya sebagai objek seksual serta alat untuk memperoleh keturunan saja. Hal ini dikarenakan pada masa pra-Islam, masyarakat Arab akan merasa sangat malu dan menganggap hal tersebut sebagai aib bila mereka melahirkan anak perempuan di dalam keluarganya.
Pandangan tersebut kemudian saya pandang berhasil menciptakan anggapan jika perempuan yang berhasil dinikahi dan dipinang oleh laki-laki maka akan mengangkat derajat keluarganya dan tidak menjadi beban. Sedangkan perempuan yang belum juga menikah akan dipandang sebagai aib keluarga.
Baca juga: Buku Sejarah Melenyapkan Perempuan dalam Islam
Tanggung Jawab dan Mahar Tidak Berkaitan dengan Kepemilikan
Dari awal ketika hubungan saya dan pasangan masuk ke tahap yang lebih serius, saya tegaskan kepadanya bahwa saya tidak suka dengan konsep ‘kepemilikan’ seperti yang selama ini orang-orang gambarkan di dalam relasi yang akan kami bina nanti (pernikahan). Saya tegaskan kepadanya bahwa meskipun kami sudah menikah nanti, kami tetap milik diri kami masing-masing.
Tidak ada konsep ‘kepemilikan’ seperti apa yang digambarkan orang-orang dalam relasi suami istri, namun konsep tanggung jawab suami atas istri di dalam Islam sendiri tetap meliputi pemberian nafkah lahir seperti pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Serta nafkah batin seperti cinta, kasih sayang, dan perhatian.
Sejarah mahar dan maskawin melibatkan praktik budaya yang telah ada sejak zaman kuno dan masih dilestarikan dalam berbagai masyarakat di seluruh dunia, terutama di wilayah-wilayah yang menganut tradisi pernikahan berbasis agama atau adat istiadat.
Maskawin juga merupakan praktik yang sudah ada sejak zaman kuno, terutama dalam budaya-budaya yang menganut tradisi pernikahan berbasis agama Islam. Istilah “maskawin” berasal dari bahasa Arab yang berarti “harta yang wajib diberikan” atau “pemberian”. Sejarah maskawin bisa ditelusuri melalui kajian tentang perkembangan hukum Islam dan praktik pernikahan dalam masyarakat Muslim.
Abdul Kohar, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung menjelaskan dalam “Kedudukan dan hikmah Mahar dalam Perkawinan”, jika pemberian mahar kepada wanita bukanlah sebagai harga dari perempuan itu dan bukan pula sebagai pembelian perempuan itu dari orang tuanya, pensyari’atan mahar juga merupakan salah satu syarat yang dapat menghalalkan hubungan suami isteri, yaitu interaksi timbal balik yang disertai landasan kasih sayang.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَاٰ تُوا النِّسَآءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِ نْ طِبْنَ لَـكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْٓـئًـا مَّرِیْٓـئًـا
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 4)
Dalam video bersama anaknya Najwa Shihab, Prof Quraish Shihab menjelaskan bahwa mahar itu perlu yang bernilai materi. Sederhananya karena, “Mahar itu hak istri, tapi bukan harga seorang perempuan,” tegas Prof Quraish.
Baca juga: Normalisasi Pernikahan Sederhana: Cukup di KUA untuk Menekan Biaya, Terbentur Keinginan Orang Tua
Adapun mahar yang diberikan pasangan kepada saya adalah kewajiban dan sebagai bentuk jika pasangan menghormati saya, serta sebagai tanda keseriusannya untuk hidup bersama saya. Hal ini saya paparkan secara tegas pada pasangan karena ingin mematahkan pandangan jika pemberian mahar hanya sebatas bentuk imbalan yang ditujukan kepada wali perempuan yang telah membesarkan dan merawat mempelai perempuan, di mana hal ini kemudian disalahartikan sebagai harga beli seorang perempuan dari walinya sehingga setelah menikah perempuan sepenuhnya milik suami dan perempuan berhak diperlakukan seperti apa pun.
Maka dari hal tersebut kita bisa mengatahui jika pernikahan bukanlah kepemilikan individu atas perempuan. Namun pernikahan adalah sebuah kemitraan di antara dua individu yang saling menghormati, mendukung satu sama lain, serta berbagi tanggung jawab dan kebahagiaan bersama.