Kesetaraan Gender dalam Akses Kerja Untuk Akhiri Kemiskinan Perempuan
Tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih rendah, sementara angka kemiskinan perempuan relatif lebih tinggi.
Diskriminasi upah, preferensi terhadap pekerja laki-laki, kurangnya fasilitas, dan isu kesenjangan gender lainnya membuat perempuan masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap lapangan pekerjaan, yang berujung pada kemiskinan perempuan. Padahal, perempuan memiliki peran sentral dalam mengentaskan kemiskinan yang juga berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Hal tersebut merupakan fokus dari seminar nasional bertajuk “Mengurangi Kemiskinan Perempuan Menuju Ekonomi Indonesia Yang Kuat dan Berkeadilan”, yang diadakan oleh fraksi Partai Demokrat dalam memperingati Hari Perempuan Internasional 2018 pekan lalu di Gedung Nusantara IV DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan.
Menteri Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Broedjonegoro mengatakan angka kemiskinan di Indonesia menurun menjadi 10,19 persen pada 2017 dari 10,86 persen pada 2016, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Namun kita juga harus paham kalau 10,19 persen ini masih setara dengan 26 juta penduduk di Indonesia. Dari 26 juta penduduk itu, kalau kita perhatikan menurut gender, maka tingkat kemiskinan perempuan relatif lebih tinggi hampir di semua tingkatan umur,” ujar Bambang,
Ia menambahkan, kemiskinan perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki terjadi merata tidak terkecuali di semua provinsi.
“Artinya, ini bukan masalah satu atau dua daerah atau masalah budaya di suatu daerah, tapi ini adalah masalah nasional,” tambahnya.
“Yang menarik adalah data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan di bidang pendidikan lebih tinggi daripada laki-laki. Tapi, tingkat partisipasi perempuan di bidang ketenagakerjaan jauh lebih rendah. Artinya lebih banyak perempuan yang bersekolah, tapi sedikit yang bekerja,” ujar Bambang.
Bambang mengatakan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 51 persen, artinya dari semua perempuan usia produktif, hanya 51 persen yang bekerja. Sementara itu, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki 82 persen,
“Berbagai riset mengenai negara maju di dunia menyatakan bahwa yang membuat suatu negara maju adalah tingginya partisipasi angkatan kerja perempuan. Dan partisipasi angkatan kerja yang 51 persen di Indonesia ini belum cukup,” jelas Bambang.
Ia mengatakan, adanya diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan merupakan salah satu alasan partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah.
“Semakin kuatnya diskriminasi ini akan mengurangi minat perempuan untuk aktif di pasar kerja. Harus ada upaya penyetaraan. Tidak melihat pada gender, tapi melihat pada kualifikasi, skill. Jika setiap orang yang memiliki kualifikasi atau skill yang sama, seharusnya upah yang diterima juga sama. Tidak boleh ada diskriminasi upah hanya berdasarkan gender,” ujarnya.
Bambang memaparkan beberapa upaya dan strategi yang dilakukan pemerintah untuk mengakhiri kesenjangan gender dalam akses kerja dan pengentasan kemiskinan perempuan di Indonesia, antara lain memaksimalkan penerapan Kesetaraan Kesempatan Kerja (Equal Employment Opportunity), penyediaan tempat penitipan anak di tempat kerja, dan cuti hamil sesuai kebutuhan pekerja perempuan. Namun, ia juga menggarisbawahi pentingnya menaikkan usia menikah, dan mengurangi preferensi jenis kelamin anak yang dilahirkan.
“Bagaimanapun juga, salah satu masalah terbesar di Indonesia adalah perkawinan usia dini. Perkawinan usia dini banyak menimbulkan masalah, salah satunya kemiskinan,” katanya.
Ia juga mengatakan, apabila lingkungan kerja masih bias terhadap laki-laki, maka mau tidak mau, ketika setiap keluarga ingin punya anak, mereka akan berupaya untuk memiliki anak laki-laki, karena nanti mudah dapat kerja dan upahnya lebih tinggi.
“Kalau perempuan lebih aktif, equal employment opportunity diterapkan secara tegas, maka sebenarnya tidak ada lagi kekhawatiran. Mau punya anak laki-laki atau perempuan, sama saja. Karena pada akhirnya, mereka akan punya kesempatan yang sama di pasar kerja,” jelasnya.
“Kunci dari peningkatan partisipasi kerja perempuan adalah kesetaraan gender. Jadi, meskipun sudah sering diucapkan, tapi yang penting adalah penerapannya. Bagaimana agar kesetaraan gender benar-benar diterapkan di dalam kehidupan kerja di Indonesia,” tambahnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise mengatakan, budaya patriarki di Indonesia menganggap perempuan belum punya kualitas yang sama dengan laki-laki.
“Saya mengajak perempuan Indonesia untuk sadar akan hak-hak kita sebagai perempuan. Posisi perempuan jumlahnya 126 juta, hampir sama dengan laki-laki. Kita adalah aset bagi negara untuk membangun negara,” ujar Yohana.
Yohana menyampaikan, untuk menangani masalah ekonomi dan kemiskinan perempuan di Indonesia, Kementerian PPPA melakukan pemetaan di seluruh Indonesia dan mengadakan industri rumahan untuk perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
“Perempuan-perempuan ini sudah tidak bergantung lagi dengan gaji suaminya. Maka dari itu, kami damping dengan membangun industri rumahan di 21 provinsi di Indonesia, sehingga mereka bisa membangun usaha kecil untuk meningkatkan ekonomi keluarga,” jelasnya.
Firliana Purwanti, Sekretaris Departemen Perencanaan Pembangunan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat, mengatakan bahwa keadilan gender adalah agenda politik yang berkelanjutan dan harus dilakukan terus menerus.
Ia memaparkan, Indonesia sampai hari ini masih menduduki peringkat 84 dari 144 negara, dalam laporan kesenjangan gender oleh World Economic Forum 2017.
“Mengapa harus adil antara laki-laki dan perempuan? Karena percuma kita bangun pertumbuhan ekonomi setinggi-setingginyanya, ketika itu hanya bisa dirasakan setengah penduduk Indonesia, semata-mata karena mereka perempuan. Negara harus adil antara perempuan dan laki-laki agar rakyat sejahtera,” ujarnya.
“Pembuat kebijakan harus menjadikan pengalaman perempuan miskin sebagai dasar pertimbangan pemikiran sebelum menyusun sebuah kebijakan agar kebijakan tidak merugikan perempuan.”