Semua Bisa Ambil Peran: Butuh Banyak Tangan untuk Capai Kesetaraan
Pengarusutamaan gender adalah pekerjaan bersama, baik lelaki atau perempuan. Saya ngobrol dengan Sujala Pant dari UNDP Indonesia tentang ini.
Sujala Pant, Deputy Resident Representative United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, mendengar satu pertanyaan kepada ayahnya yang terus diulang-ulang orang. Mengapa ayah tidak pernah berusaha punya anak lelaki setelah memiliki Sujala dan kakak perempuan. Namun biasanya, sang ayah memilih tak menghiraukan pertanyaan macam itu.
“Ketika saya kuliah di luar negeri, orang-orang sering berkata pada ayah, “‘Mengapa menghabiskan begitu banyak uang untuk menyekolahkan putrimu?’ Ayah saat itu meyakini, (menyekolahkan anak) adalah investasi terpenting yang bisa dilakukan,” ungkap Sujala kepada Madgalene di kantor UNDP, Jakarta.
Sebagai individu yang tidak pernah terpapar dengan pandangan diskriminatif, Sujala cukup familier dengan ini. Dia sadar, memiliki keluarga yang memperlakukan anak perempuan dan laki-laki secara setara, adalah keistimewaan yang dibentuk oleh pandangan progresif sang ayah terkait peran gender.
“Sebagai pencari nafkah utama keluarga, bisa saja dia memutuskan untuk memilih pandangan lain. Namun, dia memilih melawan masyarakat dan kesalahpahaman mereka,” jelas Sujala.
“Jadi, meskipun memiliki banyak panutan perempuan, saya menyadari peran yang dimainkan oleh ayah atau kakek. Saya rasa hal itu juga berlaku di tempat kerja. Di kantor-kantor, di mana kamu punya manajer senior atau pimpinan laki-laki, saya pikir komitmen mereka terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan (adalah hal penting). Dengan catatan, mereka perlu mewujudkannya melalui langkah-langkah kecil yang konkret,” imbuhnya.
Baca juga: Pengalamanku Sebagai Perempuan yang ‘Ditempa’ Kurikulum Kita
Pentingnya Pengarusutamaan Perspektif Gender
Pengalaman Sujala menunjukan betapa pentingnya pengarusutamaan perspektif gender, khususnya dalam membuat kebijakan. Tujuannya tentu saja untuk mencegah diskriminasi, menciptakan inisiatif yang memberdayakan semua pihak, hingga membangun budaya inklusif. Dalam hal ini, kesadaran dan pengakuan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan, prioritas, dan tantangan berbeda, adalah hal yang perlu digarisbawahi.
Untuk menjelaskan itu, Sujala mencontohkan penelitian tentang alasan perempuan selalu lebih kedinginan di kantor ketimbang lelaki. Penelitian menemukan, hampir semua gedung perkantoran mengatur suhu pendingin ruangan berdasarkan rata-rata metabolisme laki-laki. Pengaturan ini sudah berlaku bahkan sejak 1960-an dan 1970-an, saat mayoritas pekerja adalah laki-laki. Pengaturan tersebut sayangnya terus dilanggengkan hingga kini. Akibatnya, jutaan perempuan perlu menggunakan baju hangat dan jaket saat bekerja.
“Sebenarnya kita bisa mengubah ini semua jika ada keinginan. Ada fakta bahwa fisiologis perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga kebutuhannya pun bervariasi. Hal ini harus dipahami agar kita bisa menciptakan aksi responsif setelahnya. Inilah yang saya maksud dengan pengarusutamaan,” ujar Sujala.
Contoh lain, tambahnya, perempuan lebih sering mengalami insiden tenggelam dibandingkan laki-laki. Di banyak daerah, perempuan tidak dianjurkan untuk mengambil kelas berenang, atau mengakses tempat publik seperti sungai dan kolam renang. Sehingga, ketika bencana melanda, perempuan akhirnya tidak memiliki refleks dan pengetahuan cukup untuk bertahan hidup dengan berenang. Fakta semacam ini perlu dipertimbangkan dalam pengembangan program penurunan faktor risiko bencana. Sekali lagi, jika kita ingin.
“Jadi, bukan hanya tanggap risiko bencana dari segi teknis saja. Kita perlu menciptakan program belajar berenang bagi perempuan terdampak, agar program tanggap bencana dapat sukses dan berkelanjutan,” jelasnya.
Di UNDP sendiri, pemberdayaan gender dan kesetaraan perempuan adalah prinsip dasar yang menjadi pedoman pelaksanaan program. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan pun pada akhirnya memainkan peran penting.
“Saya pikir dua tiga dekade lalu, kita terbiasa menerjemahkan pemberdayaan sekadar urusan jumlah partisipan perempuan. Jika jumlah perempuan yang terlibat tinggi, maka semakin berdaya mereka. Padahal itu saja tak cukup,” katanya.
Sebab, tutur Sujala, jika kita memiliki banyak perempuan dalam satu ruangan tapi mereka tidak bisa bersuara atau mengeklaim sesuatu, maka partisipasi tersebut takkan berarti. Berangkat dari sinilah, intervensi gender diperlukan. Salah satu jalannya, dengan mendengarkan pengalaman perempuan secara intens.
Baca juga: Kebijakan Pro Kesetaraan Gender Maju di Luar Negeri, Mundur di Dalam Negeri
Bagaimana Kondisi di Indonesia
Di Indonesia, UNDP bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk memprioritaskan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Khususnya dalam rangka pembangunan jangka menengah dan panjang. Fokusnya pun beragam, termasuk menggeser relasi kuasa ekonomi antara laki-laki dan perempuan, membekali perempuan agar memiliki keterampilan dan kapasitas guna berkontribusi secara signifikan, hingga memastikan perempuan menjadi bagian dari pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, terkait perubahan iklim, UNDP telah melatih perempuan untuk menjadi penjaga hutan (forest ranger). Tujuannya guna memerangi proyek perdagangan satwa liar di area perhutanan yang kerap berwajah maskulin.
“Di beberapa daerah, hutan tak cuma punya nilai ekonomi tapi juga sosial dan budaya. Dari yang kami tahu, ketika perempuan merasa jadi bagian upaya melindungi hutan, maka kemungkinan (perlindungan hutan) berhasil bakal lebih besar,” jelas Sujala.
Para perempuan lantas turut berperan dalam transisi menuju sumber energi terbarukan. Ini adalah PR besar mengingat jumlah perempuan di sektor energi terbilang minim, hanya mencapai 5 persen saja. “Transisi energi menciptakan kesempatan. Maksudnya, akan ada banyak investasi bisnis yang memungkinkan adanya sumber energi terbarukan di mana keahlian baru diperlukan di sini. Perempuan bisa merebut ruang di sini.”
Baca juga: Pemberdayaan Perempuan Krusial Bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Tak cuma itu, seluruh masyarakat termasuk perempuan berhak mendapatkan jaminan perlindungan. Di sinilah peran UNDP agar perempuan bisa lebih berdaya dan kontributif. Komitmen mewujudkan agensi dan keberdayaan perempuan dilakukan UNDP dengan membantu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang notabene dinahkodai oleh perempuan. Dalam hal ini, UNDP terus mengembangkan keterampilan bisnis perempuan di UMKM dan memastikan mereka bisa mengakses modal usaha.
Pengarusutamaan gender di UNDP juga berlaku dalam kegiatan operasional. Misalnya, ketika melakukan pengadaan jasa, UNDP memilih peserta tender berdasarkan beberapa kriteria. Di antaranya, memiliki kebijakan yang peka gender dalam menjalan bisnis, perusahaan haruslah dipimpin perempuan, atau punya pekerja perempuan dalam jumlah besar.
Bagi UNDP, mencapai kesetaraan gender dalam sumber daya manusia seperti ini, merupakan hal penting. Saat ini, UNDP Indonesia memiliki perbandingan 45 hingga 55 persen laki-laki dan perempuan di berbagai tingkatan. Namun, perempuan lebih banyak mengisi fungsi dukungan administratif, sedangkan laki-laki sedikit lebih banyak di posisi profesional.
“Kami ingin mengubah hal itu. Jadi ketika merekrut orang untuk posisi profesional, akan ada afirmasi buat pelamar perempuan yang unggul. Demikian juga, dalam kategori layanan umum, kami bakal memastikan laki-laki tidak dikecualikan,“ ujarnya.
Atas kiprahnya dalam pengarusutamaan gender, UNDP Indonesia dianugerahi stempel emas untuk kesetaraan gender. Sebagai informasi, UNDP Indonesia merupakan kantor UNDP pertama di Asia Pasifik yang mendapatkan penghargaan tersebut.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari